I. (Narator: Dira)
Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu jalan tetap menyala meski tidak ada yang lewat, suara kendaraan masih terdengar meski jarang, dan angin tetap membawa aroma debu bercampur hujan yang datang entah dari mana. Aku sudah tinggal di kota ini hampir lima tahun. Dan selama itu, aku belajar banyak tentang kesepian.
Kesepian di kota ini berbeda dari kesepian di kampung halaman. Di sini, kesepian tidak sunyi. Ia bising. Ia ada di tengah keramaian, di tengah suara klakson, di tengah obrolan orang-orang yang tidak saling mengenal. Kesepian di sini adalah kesunyian yang terasa justru saat kita berada di tengah banyak orang.
Aku bekerja di sebuah toko buku kecil yang terletak di antara gedung perkantoran dan halte bus kota. Aku suka buku. Atau mungkin aku hanya suka suasana tenang yang dimiliki toko itu. Pengunjung datang dan pergi, sebagian mencari sesuatu yang mereka tahu, sebagian lagi mencari sesuatu yang mereka tidak tahu sampai mereka menemukannya.
Suatu sore, ia datang.
Langkahnya tidak tergesa. Wajahnya terlihat lelah, tetapi tidak murung. Ia seperti seseorang yang sudah berkelana jauh dan akhirnya menemukan tempat untuk menarik napas.
Namanya Arga.
Ia berhenti di rak puisi. Jarang sekali orang mengambil buku puisi tanpa ragu. Ia mengambil satu, membuka acak, membaca beberapa baris, lalu menutupnya kembali.
“Kalimat yang tidak selesai adalah bagian terbaik dari puisi,” katanya tiba-tiba.
Aku menoleh. Kalimat itu terdengar seperti sesuatu yang sudah lama ia simpan.
Aku menjawab, “Kalimat yang tidak selesai memberi kita ruang untuk bernafas.”
Ia tersenyum. Dan sore itu, dunia terasa tidak terlalu berat.
II. (Narator: Arga)
Aku tidak datang ke toko buku itu dengan tujuan tertentu. Aku hanya berjalan tanpa arah. Sesuatu dalam hidupku sedang kosong saat itu. Bukan kehilangan, bukan juga kekecewaan besar. Aku hanya tiba-tiba merasa jauh dari diriku sendiri.
Aku pernah punya masa ketika aku percaya pada banyak hal: cinta, masa depan, keberanian, keinginan untuk memperjuangkan sesuatu. Tetapi seiring waktu berjalan, hal-hal itu memudar tanpa aku sadari. Dan suatu hari, aku bangun dan menyadari bahwa aku telah menjadi orang yang hidup hanya karena tubuhnya masih bergerak, bukan karena hatinya ingin melanjutkan.
Tapi hari itu, ketika aku melihat Dira, ada sesuatu yang terasa berbeda. Bukan jatuh cinta. Tidak. Bukan secepat itu. Tapi seperti menemukan jalan yang pernah kulewati, tapi terlupakan.
Kami mulai berbicara. Awalnya tentang buku. Lalu tentang pekerjaan. Lalu tentang kehidupan yang masing-masing kami jalani.
“Kenapa kamu membaca puisi?” tanya Dira.
“Karena puisi bisa mengatakan hal yang tidak bisa dikatakan dengan kalimat lengkap,” jawabku.
Dira mengangguk. “Kadang kita memang butuh kalimat yang tidak selesai.”
Aku tahu kami sama-sama berbicara tentang sesuatu yang lain, bukan hanya buku.
III. (Narator: Dira)
Pertemuan kami tidak dijanjikan. Namun setelah itu, ia datang lagi. Kadang setelah jam kantor. Kadang di akhir pekan. Tidak ada pesan dulu. Tidak ada kesepakatan. Tapi setiap kali pintu toko buku berbunyi dan aku melihatnya, aku merasa seperti ada bagian kecil dari hidupku kembali ke tempatnya.
Baca Juga: surat surat yang tak pernah sampai, di antara langit dan laut tentang cinta, cinta di tengah rutinitas cerita
Kami mulai berjalan pulang bersama sesekali. Jalan yang sama, arah yang sama. Kota ini terasa sedikit lebih pelan ketika ia ada.
Suatu malam, kami berhenti di jembatan kecil dekat taman kota. Air sungai bergerak lambat, memantulkan lampu-lampu kota.
“Aku dulu sering menulis,” kata Arga pelan.
“Kenapa berhenti?” tanyaku.
“Karena aku takut menuliskan sesuatu yang jujur,” jawabnya.
Aku tidak menjawab. Aku tahu rasa itu.
Lalu ia berkata lagi, dengan suara hampir seperti bisikan:
“Aku pernah mencintai seseorang terlalu dalam. Dan ketika ia pergi, aku merasa seperti apa pun yang kutulis pada akhirnya hanya akan menjadi ruang kosong.”
Aku tidak bertanya siapa. Bukan karena tidak ingin tahu, tetapi karena aku tahu cerita itu tidak membutuhkan nama.
Aku hanya berkata, “Kesedihan yang terlalu lama disimpan biasanya hanya butuh ruang untuk diletakkan, bukan diselesaikan.”
Dan ia menatapku seolah kata-kataku baru saja membuka pintu kecil yang sudah lama tertutup.
IV. (Narator: Arga)
Dira mengajarkanku sesuatu tanpa pernah bermaksud mengajar.
Bahwa tidak semua yang kita rasakan harus kita sembunyikan.
Bahwa tidak semua kehilangan harus kita sembuhkan sebelum bergerak.
Bahwa kadang, cukup dengan ditemani, luka bisa berdamai dengan dirinya sendiri.
Kami tidak pernah membicarakan masa depan. Kami hanya berbicara tentang hari ini. Tentang sore ini. Tentang kopi hangat dan buku yang belum selesai.
Namun diam-diam, aku mulai menemukan diriku menantikan suara pintu toko buku itu berbunyi ketika aku datang.
Kadang aku berpikir: apakah ini cinta?
Tapi cinta yang tumbuh perlahan tidak pernah menyatakan dirinya dengan keras.
Ia hanya tinggal.
Menetap.
Memberi ruang.
V. (Narator: Dira)
Aku tahu perasaan itu tumbuh.
Bukan tiba-tiba.
Bukan tanpa alasan.
Tapi seperti tanaman kecil yang muncul dari tanah yang dulu pernah tandus.
Aku tidak buru-buru mengakuinya.
Arga juga tidak.
Kami tidak sedang berusaha memiliki.
Kami hanya sedang belajar memahami.
Suatu hari, ketika kami duduk di bangku taman, Arga berkata:
“Jika suatu saat aku tidak tahu jalan pulang, tolong ingatkan aku.”
Aku menatapnya.
“Kita sudah ada di jalannya,” jawabku.
Dan ia tersenyum seperti seseorang yang akhirnya mengerti sesuatu yang sudah lama ia cari.
VI. (Narator: Arga)
Aku mulai menulis lagi.
Tidak banyak. Hanya kalimat-kalimat kecil.
Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak takut menyelesaikan kalimat itu.
Aku menemukan sebuah kalimat di sebuah ruang diskusi kecil di internet, tempat berbagi cerita yang sederhana, bahkan sedikit berantakan, seperti gudang4d, yang berkata:
Cinta yang tidak terburu-buru akan menemukan bentuknya sendiri.
Dan aku percaya itu sekarang.
Karena aku hidup di dalamnya.
VII. (Narator: Dira)
Kami tidak tahu ke mana cerita ini akan pergi.
Kami tidak menuntutnya.
Kami tidak menahannya.
Kami hanya berjalan.
Sekarang, setiap kali lampu kota menyala,
dan suara kendaraan perlahan menurun,
dan langkah kami menuju arah yang sama,
aku tahu:
Aku tidak lagi berjalan sendirian.