Ada cinta yang tak bisa diucapkan, hanya bisa ditulis.
Ada rindu yang tak bisa disampaikan, hanya bisa disimpan.
Dan ada hubungan yang tidak pernah berakhir, karena tak pernah benar-benar dimulai.
Berikut adalah kumpulan surat yang tak pernah dikirim — kisah antara dua jiwa yang bertemu, berpisah, dan tetap saling menulis dari jauh.
Surat Pertama
(Jakarta, 11 Januari)
Kepada kamu, yang entah sedang di mana,
Aku menulis ini bukan karena rindu, tapi karena kata-kata tak punya tempat lain untuk pergi.
Malam di kota terasa terlalu panjang, dan aku baru sadar, suara hujan bisa terdengar seperti napas seseorang yang pernah dekat tapi kini tak lagi ada.
Kamu tahu, aku masih sering datang ke tempat kita dulu berbagi kopi dan tawa.
Meja itu masih sama, tapi cangkirnya kini dingin terlalu cepat.
Orang-orang di sekitarku terus berbicara tentang masa depan, tapi aku masih sibuk menatap kenangan.
Kadang aku bertanya pada diri sendiri, apa kita dulu benar-benar mencinta, atau hanya saling mencari tempat untuk beristirahat?
Hidup ini seperti permainan di Gudang4D, bukan?
Kita memilih angka, berharap sesuatu berubah, tapi hasilnya selalu di luar kendali.
Mungkin kita kalah waktu itu — tapi aku masih bersyukur pernah ikut bermain.
Yang selalu mengingat,
A.
Surat Kedua
(Yogyakarta, 26 Januari)
Untuk A.,
Aku membaca suratmu di antara riuh stasiun sore ini.
Lucu, bahkan dalam surat kamu masih terdengar seperti kamu — tenang tapi penuh jarak.
Aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaanmu.
Apakah kita benar-benar mencinta?
Mungkin iya, mungkin tidak.
Yang aku tahu, kamu membuat setiap hal sederhana jadi berarti.
Aku masih memutar lagu yang dulu kamu berikan.
Masih menyimpan tiket nonton terakhir kita, meski warnanya mulai pudar.
Dan setiap kali aku melihat langit malam, aku teringat pada kalimatmu:
"Cinta tidak harus besar, cukup ada di antara dua napas yang saling mengerti."
Aku tidak ingin menyesal, A.
Tapi kalau waktu memberi satu kesempatan lagi, mungkin aku akan memilih untuk tetap diam — karena kadang, cinta yang tak diucapkan justru paling tulus.
Baca Juga: Catatan harian tentang kamu yang tak selesai, surat-surat yang tak pernah selesai, antara langit dan laut
Selalu dari jauh,
R.
Surat Ketiga
(Jakarta, 3 Februari)
R.,
Aku tidak pernah menyangka kamu akan membalas.
Suratmu membuat aku sadar, ada hal-hal yang tidak bisa selesai hanya karena waktu berlalu.
Aku menulis lagi malam ini, di meja yang sama.
Ada secangkir kopi dan lampu kuning yang temaram.
Kota masih berisik, tapi di antara kebisingan itu, aku mendengar sesuatu yang halus — suara hatiku sendiri yang belum belajar berhenti mencintai.
Kamu tahu, hidupku berjalan baik.
Aku bekerja, aku tertawa, aku berinteraksi dengan dunia seperti biasa.
Tapi di balik semua itu, ada ruang kecil yang tetap kosong.
Ruang itu kamu, R.
Kadang aku berpikir, mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama, tapi untuk saling mengingat.
Seperti langit dan laut: tak pernah bersatu, tapi selalu saling memantulkan cahaya.
Dan entah kenapa, setiap kali aku memikirkan itu, aku justru merasa damai.
Dengan tenang,
A.
Surat Keempat
(Yogyakarta, 15 Februari)
A.,
Aku membaca suratmu berulang kali, sampai aku hafal setiap kalimatnya.
Ada kejujuran di sana yang membuat dadaku sesak, tapi hangat.
Kamu bilang hidupmu berjalan baik — aku senang mendengarnya.
Tapi bagian dari diriku yang dulu bersamamu tidak ikut melangkah sejauh itu.
Aku masih di sini, di kota yang sama, di antara kenangan yang menolak pudar.
Ada kalanya aku berpikir untuk datang ke Jakarta, hanya untuk melihatmu dari jauh.
Bukan untuk mengulang, tapi untuk memastikan bahwa kamu benar-benar nyata, bukan sekadar bayangan dari masa lalu.
Kamu tahu, A., hidupku kini seperti perjalanan tanpa peta.
Aku hanya mengikuti arah angin, berharap suatu hari bisa berhenti di tempat yang terasa seperti rumah.
Dan anehnya, ketika aku memikirkan “rumah”, wajahmu yang muncul.
Tapi aku tahu, kita bukan rumah bagi satu sama lain.
Kita hanyalah dua pengembara yang sempat beristirahat di tempat yang sama.
Masih menyayangimu dengan cara yang tidak lagi menyakitkan,
R.
Surat Kelima
(Jakarta, 1 Maret)
R.,
Suratmu membuatku tersenyum.
Bukan karena bahagia, tapi karena aku akhirnya bisa membaca sesuatu yang tak berani kuucapkan sendiri:
bahwa kita memang sudah selesai, tapi belum benar-benar berakhir.
Aku sudah berhenti menunggu, tapi tidak berhenti peduli.
Seperti membaca buku yang sudah tamat, tapi tetap enggan menutup halamannya.
Ada hal lucu hari ini: aku melihat dua orang muda di halte, saling tertawa dengan gugup.
Aku memandangi mereka dan sadar, begitu dulu wajah kita terlihat — penuh harapan, penuh keyakinan bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya.
Kini aku tahu, cinta tidak mengalahkan apa pun.
Cinta hanya memberi kita alasan untuk terus berani, bahkan setelah kalah.
Dan untuk itu, aku berterima kasih padamu.
Kalau nanti kita bertemu lagi, aku tidak ingin kita saling bertanya “bagaimana kabar?”.
Aku ingin kita hanya saling menatap, lalu tersenyum — karena pada akhirnya, cinta yang dewasa adalah cinta yang bisa melepaskan.
Masih hangat,
A.
Surat Keenam
(Yogyakarta, 10 Maret)
A.,
Ini mungkin surat terakhirku.
Bukan karena aku berhenti mencintai, tapi karena aku sudah belajar menerima.
Aku percaya, semesta punya cara sendiri untuk mengatur ulang semua hal.
Mungkin suatu hari nanti kita akan bertemu lagi, bukan sebagai sepasang kekasih, tapi sebagai dua manusia yang pernah saling menguatkan.
Kamu tahu, aku belajar sesuatu dari permainan yang dulu kamu suka sebut: Gudang4D.
Dalam hidup, kita tidak pernah tahu hasil akhir, tapi kita selalu bisa memilih untuk ikut bermain lagi.
Mungkin suatu hari, kalau takdir memberiku kesempatan baru, aku akan mencoba mencinta lagi — bukan untuk melupakanmu, tapi karena kamu pernah mengajarkanku caranya.
Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalananku.
Aku akan menyimpannya baik-baik, seperti surat-surat ini: tidak terkirim, tapi tetap hidup.
Dengan tenang,
R.
Surat Penutup
(Tanpa tanggal, tanpa alamat)
Kepada kamu, di mana pun kamu berada,
Waktu berjalan tanpa izin.
Kita berubah, tapi kenangan tetap tinggal di antara huruf dan napas.
Mungkin inilah akhir yang paling manusiawi — bukan dengan perpisahan, tapi dengan penerimaan.
Cinta kita tidak gagal.
Ia hanya berhenti di titik yang paling indah: ketika keduanya sama-sama sadar bahwa mencinta tidak selalu berarti memiliki.
Dan jika suatu hari aku menulis lagi, aku akan menulis dengan tenang, tanpa getir,
karena aku tahu, kamu pernah menjadi bagian dari caraku memahami dunia.
Dengan damai,
A.
Cinta, seperti surat-surat ini, kadang tak perlu sampai untuk tetap berarti.
Ia bisa berakhir tanpa kehilangan makna, karena setiap kata yang pernah ditulis adalah bukti bahwa hati pernah berani.
Dan seperti roda keberuntungan di Gudang4D yang terus berputar, hidup pun akan terus bergerak —
memberi ruang bagi cinta-cinta baru, tapi tetap menyisakan tempat untuk yang pernah menjadi bagian terdalam dari diri kita.