Sebuah kisah cinta yang menantang restu dan waktu.
SCENE 1 – PANTAI, SENJA HARI
Langit sore berwarna oranye keemasan. Ombak menepi perlahan.
Seorang gadis berdiri di tepi pasir, rambutnya menari tertiup angin.
Namanya Laras.
Di tangannya tergenggam surat yang sudah lusuh di ujungnya.
Tulisannya pudar, tapi ia masih hafal setiap katanya.
“Kalau suatu hari dunia menolak kita, temui aku di sini — di antara langit dan laut.”
— Ardan
Air matanya jatuh, bukan karena sedih, tapi karena rindu yang belum sembuh.
SCENE 2 – FLASHBACK (TIGA TAHUN LALU)
Lokasi: Rumah Keluarga Laras
Suasana makan malam hening.
Ayah Laras, seorang pengusaha keras kepala, menatap putrinya dengan dingin.
Ayah:
“Laras, aku dengar kamu masih sering bertemu dengan anak nelayan itu?”
Laras:
“Namanya Ardan, Yah. Dan dia bukan cuma anak nelayan. Dia pekerja keras. Dia jujur.”
Ayah:
“Jujur tidak cukup! Dunia ini butuh orang yang punya posisi, bukan hanya niat!”
Laras menunduk. Ibu mencoba menenangkan, tapi percuma.
Ayah sudah memutuskan: cinta mereka dilarang.
SCENE 3 – PELABUHAN MALAM HARI
Ardan berdiri di dermaga, membawa tas kecil dan kamera tua.
Ia menatap laut yang gelap, menunggu seseorang.
Laras datang berlari, dengan napas tersengal.
“Aku gak bisa lama. Ayah udah tahu aku ke sini.”
Baca Juga: petualangan emas di dunia inca bersama gudang4d, cinta dan keberuntungan di wahana ajaib gudang4d, kekuatan cinta dan keberuntungan ajaib di gudang4d
Ardan tersenyum pahit.
“Aku tahu. Tapi aku juga tahu, aku gak bisa berhenti mencintaimu.”
Mereka berpelukan, dengan laut dan angin sebagai saksi.
Laras menangis di dadanya.
“Apa kita bisa bertahan, Dan?”
“Kalau cinta ini nyata, dunia gak akan bisa melawannya.”
Dan malam itu, mereka berjanji: akan bertemu lagi suatu hari nanti — di pantai itu, saat senja.
SCENE 4 – WAKTU BERLALU
Tiga tahun kemudian.
Ardan merantau ke kota, bekerja sebagai fotografer lepas.
Ia memenangkan penghargaan untuk foto berjudul “Langit yang Menunggu Laut.”
Namun, di balik kesuksesannya, hatinya tetap kosong.
Setiap kali melihat pantai dalam lensa, ia hanya melihat bayangan Laras — gadis yang masih ia cintai.
Sementara Laras dipaksa bertunangan dengan lelaki pilihan keluarga.
Senyumnya palsu di setiap acara, matanya kosong di setiap foto.
SCENE 5 – MALAM SEBELUM PERNIKAHAN
Laras duduk di kamarnya, mengenakan kebaya putih.
Di luar, semua orang sibuk menyiapkan pesta besar.
Ia menatap kalender, melihat tanggal hari esok — hari pernikahannya.
Tapi yang terpikir bukan tunangannya, melainkan janji di pantai itu.
Ia mengambil ponsel dan mengetik pesan:
“Besok, sebelum aku jadi milik orang lain, aku akan datang ke pantai itu.
Kalau kau masih ingat, temui aku. Sekali saja.”
SCENE 6 – PANTAI, KEESOKAN PAGI
Langit mendung. Ombak besar.
Laras tiba lebih dulu, mengenakan gaun putih sederhana.
Waktu berjalan perlahan.
Detik demi detik terasa seperti seabad.
Tak ada Ardan.
Hujan mulai turun. Ia menatap laut, tubuhnya gemetar.
Mungkin cinta mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersatu.
Tapi tiba-tiba…
suara motor tua terdengar dari kejauhan.
Seorang lelaki datang dengan jaket lusuh dan kamera tergantung di lehernya.
Itu Ardan.
SCENE 7 – REUNI DALAM HUJAN
Mereka berdiri berhadapan di tengah hujan.
Tak ada kata-kata, hanya air mata.
Laras melangkah maju, Ardan menggenggam tangannya.
Ardan:
“Maaf aku terlambat. Tapi aku gak pernah berhenti datang ke sini setiap tahun.”
Laras:
“Kenapa gak kabarin aku?”
Ardan:
“Aku pikir kamu udah bahagia. Tapi setiap kali aku motret langit, aku selalu ingat... laut ini nunggu kamu.”
Laras menatapnya.
“Aku gak bisa menikah, Dan. Aku gak bisa hidup tanpa bagian diriku yang ini—yang bersamamu.”
Ardan menariknya dalam pelukan.
Hujan semakin deras, tapi di antara air yang jatuh, ada kehangatan yang tak pernah padam.
SCENE 8 – KEBEBASAN
Beberapa jam kemudian, Laras meninggalkan rumah tanpa pamit.
Ayahnya marah besar, tapi ia tidak peduli.
Ia memilih laut daripada pesta.
Ia memilih cinta daripada gengsi.
Mereka pergi bersama — ke kota lain, hidup sederhana, tapi penuh tawa.
Kadang Laras bekerja di toko kecil, sementara Ardan menjual hasil fotonya.
Mereka tak punya banyak, tapi mereka punya satu sama lain.
Dan di dunia yang sering menilai dari harta, mereka belajar bahwa bahagia bisa sesederhana berdua di pinggir laut.
SCENE 9 – EPILOG, BEBERAPA TAHUN KEMUDIAN
Sebuah galeri seni diadakan di kota besar.
Judulnya: “Between Sky and Sea — Antara Langit dan Laut.”
Fotografernya: Ardan & Laras.
Salah satu foto yang paling menarik perhatian pengunjung adalah potret dua siluet yang saling berpelukan di tengah hujan di tepi pantai.
Di bawah foto itu, ada kutipan:
“Restu bukan dari dunia, tapi dari hati yang berani melawan dunia.”
Laras menatap foto itu dan tersenyum pada Ardan.
“Akhirnya, kita benar-benar satu karya.”
Ardan menggenggam tangannya.
“Dan ini baru permulaan.”
SCENE 10 – MONOLOG PENUTUP
Suara narator (Laras):
“Cinta bukan tentang siapa yang menang melawan waktu, tapi siapa yang berani tetap bertahan di bawah badai.
Kami pernah dilarang, pernah hilang arah, tapi cinta selalu menemukan jalannya.
Karena ketika dua jiwa sudah ditakdirkan bertemu, tidak ada kekuatan yang bisa memisahkan mereka—bahkan restu yang hilang sekalipun.”
CATATAN REFLEKTIF
Cinta mereka mungkin sederhana, tapi keberanian mereka luar biasa.
Mereka mengajarkan bahwa restu terbesar datang dari hati sendiri, bukan dari dunia yang menilai.
Dan seperti Gudang4D, hidup juga punya banyak kemungkinan.
Kadang keberuntungan bukan soal angka, tapi tentang keberanian mengambil langkah—meski semua orang berkata tidak mungkin.
Cinta pun begitu.
Ia akan selalu menemukan caranya untuk menang, selama kita berani memperjuangkannya.