"Surat-Surat yang Tak Pernah Selesai"

Kisah dua hati yang terhubung oleh jarak dan huruf-huruf yang tak pernah benar-benar selesai dikirim.


[1] Surat Pertama – Dari Rani untuk Dimas

Subjek: Sebelum Kamu Pergi

Hai,

Aku masih belum terbiasa menulis untuk seseorang yang akan pergi sejauh itu.
Katamu, jarak bukan alasan untuk berhenti. Kataku, jarak adalah ujian yang bahkan waktu pun takut hadapi.

Aku menulis ini di meja kecil di kamar, di antara aroma hujan dan kopi yang mulai dingin.
Semoga kamu masih ingat, aku selalu menulis dengan huruf miring setiap kali gugup.
Dan malam ini, setiap huruf seperti gemetar.

Kalau pesawatmu berangkat besok pagi, semoga angin di atas sana membawa sedikit rindu ini bersamamu.

— Rani


[2] Chat Log – 3 Bulan Kemudian

[10:11 PM] Dimas:
Rani, aku baru selesai shift. Maaf telat kabar.
Hari ini hujan di sini. Katanya kalau dua tempat hujan di waktu yang sama, itu artinya langit sedang saling rindu.

[10:14 PM] Rani:
Atau langit sedang menangis karena kita cuma bisa saling kirim pesan.

[10:16 PM] Dimas:
Kita masih di langit yang sama, kan? Itu cukup buatku.

[10:17 PM] Rani:
Iya, cukup... tapi tidak sama.

(Pesan terakhir itu dibaca 2 menit kemudian, tapi tidak dibalas sampai esoknya.)


[3] Catatan Harian Rani – 7 Bulan Berlalu

“Ada rindu yang tumbuh seperti tanaman liar—aku tidak menyiraminya, tapi ia tetap hidup.
Kadang aku benci pada kenangan, karena mereka punya waktu sendiri untuk datang.

Dimas masih kirim email setiap minggu.
Tapi kata-katanya makin singkat.
Dulu setiap baris terasa seperti pelukan; sekarang seperti laporan kerja.

Aku takut, bukan kehilangan dia, tapi kehilangan diriku yang dulu berani menunggu.”


[4] Email Tak Terkirim – Dari Dimas

Subjek: Kalau Kau Masih Membaca Ini

Rani,

Ada kalimat yang ingin kukirim tapi selalu terhapus sebelum terkirim.

Aku masih memotret langit setiap pagi, berharap awannya sama dengan yang kau lihat.
Tapi dunia di sini terlalu cepat, terlalu asing. Aku mulai lupa caranya mendengar suaramu di kepala.

Aku janji akan pulang. Tapi aku juga tahu, kadang janji hanyalah bentuk halus dari penundaan.

— Dimas

(Draf disimpan, tak pernah dikirim.)

Baca Juga: pertempuran dewa nordik dan keberuntungan besar di gudang4d, dunia penuh warna dan kemenangan manis di gudang4d, kekuatan alam dan kemenangan megah di gudang4d


[5] Pesan Suara dari Rani

“Hai... aku dengar kabar kamu dapat promosi. Hebat ya?
Aku bangga, sungguh. Tapi entah kenapa, setiap kali kamu naik, aku merasa semakin jauh.

Aku mencoba sibuk—kerja, baca buku, ikut kursus bahasa, tapi tetap saja...
Semua hal terasa hampa tanpa ‘kita’.

Mungkin benar kata orang: jarak tidak membunuh cinta, tapi membuatnya berubah bentuk.

Aku ingin bilang aku baik-baik saja, tapi mungkin tidak. Dan itu juga gak apa-apa, kan?”


[6] Email Terakhir – Setahun Kemudian

Subjek: Terima Kasih, Dimas

Sore ini aku memutuskan berhenti menunggu.
Bukan karena aku berhenti mencintaimu, tapi karena aku ingin mencintai diriku juga.

Kamu pernah bilang, cinta sejati tidak selalu harus bersama.
Aku baru paham sekarang.

Aku menulis ini dari kafe tempat kita dulu merancang semua rencana yang tak pernah jadi kenyataan.
Kursi kita masih sama, tapi aku tidak sendiri lagi—aku duduk bersama kedewasaan yang lahir dari kehilangan.

Kalau suatu hari kamu membaca ini, jangan sedih.
Kita tidak gagal, kita hanya sampai di batas takdir masing-masing.

Semoga kamu bahagia, di langit mana pun kamu berdiri.

— Rani


[7] Epilog – Lima Tahun Kemudian

Sebuah pameran seni diadakan di Jakarta.
Di salah satu dinding, terpajang serangkaian foto: langit di berbagai kota, disusun berurutan dari fajar hingga malam.
Judulnya: “Letters in the Sky.”

Karya itu dibuat oleh Dimas Pradipta.
Dalam wawancara singkat, ia berkata pelan:

“Setiap foto ini adalah surat.
Bukan untuk dikirim, tapi untuk dikenang.

Ada orang yang pernah kucintai lewat tulisan.
Dan mungkin, cinta yang tak tersampaikan itulah yang membuat karya ini hidup.”

Di antara pengunjung yang lewat, ada seorang wanita yang berdiri lama di depan foto terakhir—langit jingga dengan siluet seorang perempuan di bawahnya.
Ia tersenyum, menatapnya lama, lalu berbisik:

“Akhirnya kamu pulang juga, walau hanya lewat cahaya.”


Refleksi: Ketika Cinta Hidup Lewat Kata-Kata

Beberapa cinta tidak mati, hanya berubah bentuk menjadi kalimat, musik, atau foto.
Mereka hidup di ruang antara “telah pergi” dan “masih di hati.”

Rani dan Dimas mengajarkan kita bahwa cinta sejati tidak selalu butuh pelukan; kadang cukup dengan keberanian untuk jujur pada perasaan, meski jarak memisahkan.

Dan seperti Gudang4D, tempat di mana peluang datang dari arah yang tak terduga, cinta pun begitu—ia muncul lewat hal yang sederhana:
sebuah surat, notifikasi pesan, atau foto langit yang sama-sama kita lihat dari dua tempat berbeda.


on October 15, 2025 by pecinta handal |