"Sebuah Janji di Balik Kopi"

Kisah Tentang Mencintai, Melepaskan, dan Menemukan Kembali Diri Sendiri


1. Pagi Itu yang Tak Lagi Sama

Aku duduk di meja pojok kafe, tempat favorit yang dulu selalu kupilih setiap kali menunggu dia.
Dua cangkir kopi hitam masih mengepulkan aroma pahit-manis di udara, seperti kenangan yang enggan pergi.

Aku menatap kursi di seberang—kosong.
Entah mengapa, setelah dua tahun berlalu, aku masih datang ke sini setiap hari Sabtu.
Mungkin aku tidak menunggu siapa-siapa lagi. Mungkin aku hanya menunggu diriku sendiri, yang dulu pernah bahagia di sini.

Namanya Rendra.
Pria dengan senyum yang mampu membuat seluruh dunia terasa lebih ringan.
Dia datang ke hidupku seperti hujan di musim kemarau: tiba-tiba, lembut, tapi meninggalkan jejak yang dalam.


2. Awal dari Sebuah Tawa

Kami bertemu di kafe ini, dua tahun lalu.
Aku baru saja kehilangan pekerjaan dan sedang mencari ketenangan. Sementara dia—barista baru yang masih belajar membuat latte art tapi penuh semangat.

"Pesan apa, Kak?" katanya waktu itu.
"Kopi hitam, tanpa gula."
"Berarti Kakak suka yang pahit?"
Aku mengangguk.
Dia tersenyum, “Katanya, yang suka kopi pahit itu orangnya penyabar. Tapi hati-hati, jangan sampai terbiasa sama pahitnya hidup.”

Aku tertawa—dan mungkin di situlah semuanya mulai.


3. Cinta yang Tumbuh di Antara Aroma Kopi

Rendra berbeda.
Dia bukan tipe pria romantis yang sering memberi bunga atau menulis puisi.
Tapi setiap kali aku datang ke kafe, cangkir kopiku sudah menunggu di meja, dengan buih kecil membentuk simbol hati yang sederhana.

“Cinta itu kayak kopi, ya,” katanya suatu sore.
“Kalau terlalu manis, bikin eneg. Tapi kalau terlalu pahit, gak semua orang kuat minum.”

Aku tak menjawab waktu itu. Aku hanya menatapnya, dan diam-diam berharap waktu berhenti di sana.

Hari-hari berikutnya, kami makin dekat. Tak ada status, tak ada janji, tapi ada kenyamanan yang hanya bisa dirasakan, bukan dijelaskan.

Baca Juga: keberuntungan empat naga di gudang4d, kilauan kekayaan dan kemewahan di gudang4d, pasukan romawi dan kejayaan emas di gudang4d


4. Ketika Dunia Mulai Berubah

Rendra punya mimpi besar: membuka kafe sendiri di luar kota.
Sementara aku baru mulai bekerja lagi di sebuah perusahaan yang menuntut banyak waktu dan tenaga.

Kami mulai jarang bertemu.
Pesan singkat jadi makin pendek, panggilan makin jarang.
Tapi setiap kali aku datang ke kafe, cangkir kopi itu masih ada. Selalu.

Sampai suatu hari, aku datang lebih cepat dari biasanya.
Dan kulihat dia duduk di pojok, bersama seorang perempuan.
Mereka tertawa—dengan tawa yang sama seperti dulu ia berikan padaku.

Aku tidak marah. Tidak juga menangis.
Aku hanya duduk diam di luar kafe, menatap dari balik kaca, dan menyadari sesuatu:
Kadang, cinta tidak berakhir karena pengkhianatan.
Kadang, cinta berakhir karena waktunya memang sudah selesai.


5. Perpisahan Tanpa Kata

Seminggu kemudian, aku kembali ke kafe itu untuk terakhir kalinya.
Rendra menyapaku dengan wajah canggung.
“Kopinya seperti biasa?”
Aku tersenyum tipis. “Enggak, hari ini aku pesan teh. Aku udah cukup dengan kopi.”

Dia menunduk, seperti mengerti maknanya.
Kami bicara sebentar, tentang cuaca, tentang pekerjaan, tentang hal-hal yang sebenarnya tak penting sama sekali.
Hingga akhirnya aku berdiri dan berkata pelan,
“Terima kasih, Ren. Untuk semuanya. Untuk tawa, dan juga pahitnya.”

Dia tidak menjawab, hanya menatapku dengan mata yang tak lagi sama.
Dan di situlah aku tahu, perpisahan tidak selalu butuh alasan—kadang cukup dengan pengertian.


6. Dua Tahun Kemudian

Kini aku bekerja di kota lain, dengan kehidupan yang baru.
Aku tidak lagi menunggu pesan darinya, tidak lagi menandai tanggal-tanggal yang dulu penting.

Tapi setiap pagi, aku masih minum kopi hitam tanpa gula.
Bukan karena aku suka rasa pahitnya, tapi karena di setiap tegukan, ada kenangan kecil tentang seseorang yang pernah membuatku merasa hidup.

Terkadang aku berpikir, apa Rendra juga masih mengingatku?
Atau mungkin, dia sudah bahagia dengan dunianya sendiri—dengan seseorang yang menemaninya menata mimpi yang dulu hanya bisa ia ceritakan padaku.


7. Sebuah Pesan Tak Terduga

Suatu pagi, saat aku membuka email, ada satu pesan baru.
Pengirimnya: Rendra.

“Hai. Aku buka kafe baru di Bandung.
Kalau kamu sempat lewat, mampirlah.
Kopimu masih sama, aku ingat rasanya.”

Aku membaca pesan itu berkali-kali. Tidak ada kata cinta, tidak ada ajakan untuk kembali.
Hanya satu kalimat sederhana yang entah kenapa membuat dadaku hangat.

Mungkin, cinta yang tulus memang tidak butuh kepemilikan.
Ia cukup ada—sebagai ingatan manis yang tidak pernah benar-benar hilang.


8. Epilog: Antara Cinta dan Waktu

Kini aku tahu, mencintai bukan berarti harus memiliki.
Kadang, mencintai adalah melepaskan dengan senyum, dan bersyukur karena pernah merasakannya.

Rendra mengajarkanku bahwa setiap orang yang datang membawa makna.
Ada yang datang untuk tinggal, ada yang datang untuk mengajarkan bagaimana cara berani lagi.

Dan aku? Aku memilih untuk tetap mencintai, meski dalam diam.
Karena tidak semua cerita cinta harus berakhir dengan kata selamanya.
Beberapa cukup diingat, dan itu pun sudah cukup indah.


Refleksi: Tentang Menemukan Kembali Arti Bahagia

Cinta, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang menemani kita sampai akhir.
Cinta adalah tentang siapa yang membuat kita mengenal diri sendiri lebih baik.

Dalam perjalanan hidup, kita akan kehilangan banyak hal—termasuk orang yang dulu kita kira akan bersama selamanya.
Namun setiap kehilangan selalu membawa pelajaran, bahwa kebahagiaan bukan sesuatu yang dicari di luar diri, melainkan yang kita tumbuhkan dari dalam.

Sama seperti Gudang4D, tempat di mana peluang dan keberuntungan bisa muncul dari hal-hal tak terduga, cinta pun sering hadir saat kita tak mencarinya.
Kadang lewat tawa kecil, secangkir kopi, atau bahkan perpisahan yang tenang.

Dan ketika kita sudah cukup kuat untuk menerima semuanya—bahwa cinta datang, tinggal, dan pergi—maka saat itulah kita benar-benar belajar mencintai… bukan orang lain, tapi diri sendiri.


on October 15, 2025 by pecinta handal |