"Kala Senja di Ujung Jalan: Cinta yang Tak Pernah Selesai"

1. Prolog: Saat Waktu Tak Lagi Sama

Ada cinta yang tumbuh perlahan, seperti bunga liar di tepi jalan—tak diundang tapi indah apa adanya. Begitu pula kisah antara Raka dan Mira. Mereka bukan pasangan yang sempurna, tapi setiap detik bersamanya terasa seperti musik yang tidak ingin berhenti.

Namun waktu, seperti biasa, punya caranya sendiri untuk menguji manusia. Kadang ia memisahkan bukan karena benci, melainkan untuk mengajarkan arti kehilangan.


2. Awal dari Sebuah Tatapan

Delapan tahun lalu, Mira adalah mahasiswi baru yang penuh semangat. Rambutnya selalu diikat rapi, langkahnya cepat, dan suaranya ringan seperti angin pagi. Di kampus, dia dikenal pintar dan ramah—seseorang yang dengan mudah menarik perhatian.

Raka, sebaliknya, adalah tipe yang pendiam. Seorang fotografer muda yang lebih sering berbicara lewat lensa daripada kata-kata. Mereka pertama kali bertemu di acara seni kampus, ketika Raka diminta mendokumentasikan kegiatan dan tanpa sengaja memotret Mira saat sedang tertawa.

“Foto ini... kamu cantik banget,” ucap Raka waktu itu, polos dan jujur.
Mira tersipu. “Kamu fotografer atau pujangga, sih?”

Dari tawa kecil itu, semuanya dimulai.


3. Cinta yang Tumbuh di Antara Waktu

Mereka tak pernah merencanakan hubungan itu. Tidak ada pengakuan dramatis, tidak ada janji sehidup semati. Cinta datang dalam bentuk sederhana—teman yang selalu ada di saat susah, pesan “sudah makan belum,” atau secangkir kopi hangat yang muncul di meja perpustakaan saat Mira begadang.

Raka mencintai ketenangan Mira, dan Mira mencintai dunia sederhana Raka. Bersama, mereka seperti dua orang yang menemukan rumahnya di tengah hiruk pikuk dunia.

Namun kehidupan setelah kampus mengubah segalanya. Raka mendapat tawaran kerja di luar negeri, sementara Mira diterima sebagai dosen muda di universitas yang sama.

“Aku gak tahu kita bisa bertahan atau enggak,” kata Mira saat mereka duduk di taman kampus pada malam terakhir Raka di Indonesia.
“Coba dulu, ya? Aku bakal balik, Mira. Aku janji,” ucap Raka sambil menggenggam tangannya.

Janji itu menjadi satu-satunya pegangan mereka—hingga waktu memutuskan sebaliknya.


4. Lima Tahun Tanpa Kabar

Jarak memang menguji segalanya. Awalnya mereka masih rajin bertukar kabar, menulis pesan panjang setiap malam. Tapi lama-kelamaan, kesibukan dan perbedaan waktu membuat komunikasi mereka semakin jarang.

Pesan yang dulu dibalas dalam hitungan menit kini berganti menjadi hari. Telepon yang dulu penuh tawa berubah menjadi percakapan singkat penuh jeda.

Hingga akhirnya, tanpa perpisahan yang jelas, hubungan itu berakhir dalam diam.

Raka terus bekerja dan berpindah negara demi kariernya. Sementara Mira, meski mencoba melanjutkan hidup, selalu gagal benar-benar melupakan lelaki dengan kamera di tangannya itu.


5. Pertemuan di Ujung Senja

Lima tahun kemudian, Raka kembali ke Indonesia untuk sebuah pameran foto bertema “Waktu yang Hilang.”
Di salah satu ruangan galeri itu, terpajang puluhan foto yang menggambarkan perjalanan hidup seseorang: lanskap kota asing, wajah-wajah asing, tapi ada satu foto yang berbeda—foto seorang perempuan yang sedang menatap jendela, diambil dari belakang.

Mira datang ke pameran itu tanpa tahu siapa fotografernya. Saat melihat foto itu, langkahnya terhenti. Ia mengenali dirinya sendiri—pose, tempat, bahkan baju yang ia kenakan di tahun terakhir kuliah.

“Foto itu waktu kamu nunggu hujan reda,” suara lembut menyapanya dari belakang.
Ia menoleh. Raka berdiri di sana, dengan senyum yang masih sama seperti dulu.

“Raka...”
“Hai, Mira.”

Seketika semua kenangan yang pernah mereka kubur, hidup kembali.


6. Antara Masa Lalu dan Kenyataan

Setelah pameran itu, mereka duduk di kafe kecil di seberang jalan. Tak ada kata-kata manis, hanya percakapan jujur tentang hidup dan waktu.

Raka mengakui bahwa selama ini ia terlalu sibuk mengejar dunia, hingga lupa pada satu hal yang paling berharga—cinta yang ia tinggalkan.
“Aku pikir waktu bisa bikin kita lupa. Tapi setiap kali aku ambil kamera, yang aku lihat cuma kamu,” katanya dengan mata teduh.

Mira menatapnya lama.
“Kita udah tumbuh jadi orang yang beda, Ka. Tapi anehnya, rasanya masih sama.”

Kadang cinta memang begitu. Ia tidak mati, hanya tertidur menunggu saat yang tepat untuk kembali.


7. Cinta Kedua yang Lebih Tenang

Raka memutuskan untuk tinggal di Indonesia. Ia membuka studio kecil di kota tempat Mira mengajar. Tak ada pengumuman besar, tak ada drama, tapi perlahan mereka mulai sering bertemu lagi.

Mira datang membawa buku dan cerita mahasiswa, Raka membawa kamera dan cerita perjalanan. Mereka tertawa seperti dulu, tapi kali ini lebih dewasa—lebih tahu bahwa cinta bukan tentang kata-kata, tapi tentang kehadiran.

Suatu sore, di bawah langit jingga, Raka memotret Mira yang sedang menulis di taman.
“Masih suka jadi subjek foto aku?”
Mira tersenyum. “Selama kamu masih lihat aku dengan cara yang sama.”

Klik.
Satu jepretan lagi, satu kenangan baru yang lahir di antara mereka.


8. Epilog: Cinta yang Tak Pernah Usai

Hidup bukan tentang mencari seseorang yang sempurna, melainkan menemukan seseorang yang tetap ingin bertahan meski sudah tahu semua kekuranganmu.

Raka dan Mira bukan lagi dua anak muda yang mudah cemburu dan takut kehilangan. Mereka dua jiwa yang pernah berpisah, tapi tak pernah benar-benar selesai. Kini, mereka berjalan berdampingan lagi—tanpa janji, tapi dengan niat yang sama: untuk tidak menyerah lagi pada waktu.

Kadang, cinta sejati bukan tentang bagaimana kisah dimulai, tapi bagaimana dua orang mau kembali menulisnya dari awal dengan hati yang lebih tenang.


Refleksi Penulis

Cinta seperti senja—indah karena ia tahu dirinya akan berakhir, tapi justru karena itu, setiap detiknya berharga.
Begitu pula kisah Raka dan Mira, yang mengajarkan kita bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya, melainkan jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang makna mencintai.

Dan seperti Gudang4D yang selalu menawarkan keberuntungan bagi mereka yang berani mencoba lagi, cinta pun memberi peluang kedua bagi hati yang mau membuka diri kembali.
Karena siapa tahu, kebahagiaan yang selama ini dicari… ternyata sudah menunggu di ujung jalan, di bawah langit senja yang sama.

on October 15, 2025 by pecinta handal |