Kita Bertemu Lagi di Kota yang Sama

Bab 1 — Kembali

Stasiun kota itu tidak banyak berubah sejak terakhir kali aku melihatnya. Papan nama besar di pintu masuk masih sama, warnanya sedikit pudar karena usia. Bau logam dan suara kereta yang datang-pergi masih memenuhi udara. Dan langkah kaki orang-orang yang tergesa masih terdengar seperti detak jantung kota itu sendiri.

Aku, Raya, kembali setelah sembilan tahun.

Sembilan tahun cukup lama untuk melupakan banyak hal, tapi ternyata waktu tidak cukup kuat untuk menghapus semuanya.

Aku kembali untuk alasan sederhana: pekerjaan baru. Itu alasan yang masuk akal. Mudah dijelaskan. Mudah diterima.

Tapi sebenarnya, ada alasan lain. Alasannya bermula bertahun-tahun lalu, pada masa ketika aku masih memakai seragam sekolah dan percaya bahwa dunia ini tidak sulit dipahami.

Nama alasannya adalah Reno.

Kami tumbuh di jalan yang sama. Kami melewati musim panas saat sungai surut dan musim hujan saat halaman rumah berubah jadi lumpur. Kami berbagi banyak hal: sepeda pertama, lagu favorit pertama, sampai mimpi pertama tentang dunia di luar kota kecil ini.

Baca Juga: surat yang tak pernah kukirim tentang, dalam diam yang sama cinta yang kembali, setelah hujan reda cinta yang belajar

Tapi waktu berjalan. Kami tumbuh. Dan aku pergi.

Tanpa banyak kata.

Dan hari ini, aku kembali dengan membawa sesuatu yang dulu tidak kumiliki: rasa yang terpaksa kupendam terlalu lama.


Bab 2 — Pertemuan

Kafe di seberang taman masih buka. Dulu kafe itu hanya tempat minum es teh di siang hari, kini terlihat lebih rapi. Lebih modern. Tetapi sesuatu membuatku yakin aku akan menemukannya di sana.

Dan benar saja.

Reno duduk di sudut, menatap buku seperti dulu. Tubuhnya lebih tegap, wajahnya lebih dewasa, tetapi sorot matanya masih sama. Tenang. Hangat. Seperti ruang yang tidak pernah menghukum siapa pun yang datang.

Aku mendekat.

“Reno.”

Ia menoleh pelan. Tatapannya seperti seseorang yang mengenal suara itu sejak lama, tetapi butuh waktu setengah detik untuk memastikan bahwa itu benar-benar nyata.

“Raya?”

Aku tersenyum. Ia tersenyum. Tidak ada kejutan dramatis. Tidak ada pelukan tergesa. Hanya sebuah senyum yang menyimpan seluruh masa lalu yang tidak pernah pergi.

“Aku pikir kamu tidak akan pernah kembali,” katanya.

“Aku pikir begitu juga,” jawabku.

Kami tertawa pelan. Bukan tawa karena lucu, tapi karena kami tidak tahu harus memulai dari mana.


Bab 3 — Percakapan yang Tertunda

Malam itu kami berjalan di taman. Lampu-lampu taman memantulkan cahaya lembut di atas jalan setapak. Angin bergerak pelan. Sesekali kami berhenti tanpa alasan.

“Bagaimana hidupmu di kota lain?” tanyanya.

“Rame. Penuh jadwal. Penuh suara,” jawabku. “Tapi entah kenapa tetap terasa sepi.”

Ia mengangguk pelan. “Aku bisa mengerti.”

Aku memandangnya. “Dan kamu? Apa yang berubah darimu?”

Reno menendang kerikil kecil di depannya. “Tidak banyak. Aku tinggal di sini. Mengajar. Menulis sedikit. Menjaga rumah.”

Sederhana. Seperti dia. Seperti dulu.

Kami duduk di bangku taman.

Ada jeda panjang sebelum kami berbicara lagi. Tapi jeda itu tidak menyakitkan. Itu jeda yang memberi ruang bagi hati untuk mengejar napas.

“Aku sering membaca cerita-cerita pendek di internet,” ucapnya tiba-tiba. “Tentang cinta, kehilangan, pulang, dan semua hal yang tidak pernah selesai. Kadang aku menemukannya di tempat-tempat yang tidak terduga. Bahkan di ruang-ruang berbagi cerita seperti gudang4d. Lucu ya, beberapa orang menuliskan hidup mereka dan menyerahkannya pada dunia, berharap seseorang akan mengerti.”

Aku menoleh pelan.

“Dan kamu menulis?” tanyaku.

Ia tersenyum samar. “Tidak semuanya perlu diketahui dunia.”

Kalimat itu terasa akrab. Seperti sesuatu yang dulu pernah tinggal di antara kami.


Bab 4 — Masa Lalu yang Tidak Hilang

“Kau tahu,” Reno berkata pelan, “ketika kamu pergi dulu, aku tidak marah.”

Aku menunduk. “Aku tahu.”

“Aku hanya... ingin mengerti,” lanjutnya.

“Aku juga ingin mengerti,” jawabku.

Ia menatapku. “Kenapa kamu pergi tanpa pamit?”

Aku menarik napas pelan.

“Aku takut, Ren.”

Reno menunggu.

“Aku takut kalau aku tetap tinggal, aku akan terlalu mencintaimu. Dan aku tidak tahu bagaimana menghadapi itu waktu itu.”

Reno terdiam. Lalu tersenyum pelan.

“Kita dulu terlalu muda,” katanya. “Dan sekarang?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, tidak meminta jawaban cepat.

Aku menatap langit. “Sekarang aku sudah tidak takut mencintai sesuatu.”

“Tapi?” Ia menebak.

“Tapi aku takut datang terlambat.”

Angin berhenti sejenak. Seolah dunia menunggu.

Reno memejamkan mata, lalu membuka kembali.

“Raya. Tidak ada cinta yang datang terlambat. Yang terlambat adalah keberanian kita untuk mengakuinya.”

Aku tidak tahu apakah kalimat itu menyembuhkan atau menyentuh luka yang selama ini kubiarkan tidur.

Mungkin keduanya sekaligus.


Bab 5 — Pulang yang Baru

Kami berjalan pulang tanpa banyak kata.

Di depan rumah tempat kami dulu bermain, ia berhenti.

“Kalau kamu tinggal di sini lagi,” katanya, “jangan pergi tanpa bilang apa pun.”

Aku menatapnya. Lurus.

“Kalau aku tinggal,” jawabku, “kali ini aku ingin tinggal karena aku memilihnya. Bukan karena aku tidak punya tempat lain.”

Reno tidak bertanya apa aku memilihnya atau tidak.

Karena ia tahu jawabannya sedang tumbuh pelan.

Dan cinta yang tumbuh pelan tidak perlu diumumkan terburu-buru.

Cinta seperti itu tinggal.

Diam.

Menunggu.

Dengan sabar.

**

Malam itu aku menulis di buku yang sudah lama kutinggalkan:

Ada pertemuan yang bukan kebetulan.
Ada kenangan yang tidak hilang meski waktu berjalan.
Dan ada seseorang yang menunggu tanpa meminta apa-apa.

Reno adalah semua itu.

Dan aku?

Aku hanya perlu berani tinggal.

Bukan untuk mengulang yang lalu.

Tapi untuk memulai yang sekarang.

Di kota yang sama.
Di langkah yang sama.
Dengan hati yang berbeda.


on November 06, 2025 by pecinta handal |