Surat yang Tak Pernah Kukirim: Tentang Cinta yang Tetap Hidup di Antara Kenangan dan Gudang4D

Aku pernah mencintaimu dengan cara paling sederhana yang bisa kupahami.
Tanpa syarat, tanpa banyak kata, hanya kehadiran yang ingin terus kualami setiap hari.
Tapi waktu, seperti biasa, punya caranya sendiri untuk menjauhkan yang saling mencari.

Sekarang, bertahun-tahun setelah kepergianmu, aku masih menulis tentang kita — bukan karena belum bisa melupakan, tapi karena beberapa cerita memang diciptakan bukan untuk dilupakan.


I. Cinta yang Tidak Direncanakan

Kita bertemu tanpa rencana.
Di ruang yang tak seharusnya mempertemukan dua orang asing — sebuah acara pameran buku yang terlalu ramai untuk diingat dengan detail.
Namun, entah kenapa, aku masih ingat suaramu waktu itu: tenang, rendah, dan sedikit ragu ketika bertanya apakah kursi di sebelahku kosong.

Aku menjawab “silakan” tanpa tahu bahwa jawaban itu akan mengubah arah hidupku.

Setelah itu, semuanya mengalir.
Kita berbicara tentang hal-hal kecil: tentang buku, tentang hidup, tentang kesunyian.
Aku ingat kamu bilang, hidup ini seperti permainan di Gudang4D — tak pernah bisa ditebak, tapi setiap peluang adalah bagian dari keberanian.
Waktu itu aku hanya tertawa, tidak terlalu memikirkan maksudmu.
Sekarang aku paham: hidup memang tentang keberanian untuk mencoba, bahkan ketika kita tahu bisa kalah.


II. Keindahan yang Pelan-Pelan Membentuk Luka

Aku tak tahu kapan semuanya mulai terasa berbeda.
Mungkin ketika aku menyadari bahwa aku mulai menunggu pesan darimu setiap pagi.
Atau ketika suaramu menjadi hal terakhir yang ingin kudengar sebelum tidur.
Cinta datang diam-diam, tanpa tanda, tanpa aba-aba.

Kita tidak pernah mendeklarasikan apa pun.
Tidak ada “aku cinta kamu” atau janji selamanya.
Tapi setiap tatapan, setiap kalimat, setiap tawa di antara jeda — semuanya sudah cukup untuk menjelaskan sesuatu yang tidak perlu dijelaskan.

Namun keindahan itu tidak bertahan lama.
Cinta yang tumbuh di tengah keraguan terlalu rapuh untuk menanggung kenyataan.
Kamu mulai sibuk, aku mulai merasa asing.
Dan ketika akhirnya kamu berkata “aku butuh waktu”, aku tahu bahwa itu sebenarnya berarti “aku akan pergi.”


III. Setelah Kamu Pergi

Ada masa-masa di mana aku berusaha meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja.
Aku bekerja lebih keras, bertemu banyak orang, bahkan sempat mencoba hubungan baru.
Tapi setiap kali malam datang, ada bagian dari diriku yang masih mencari kamu dalam diam.

Lucunya, aku tidak ingin kamu kembali.
Aku hanya ingin tahu apakah kamu pernah benar-benar mencintaiku seperti aku mencintaimu.

Ada satu waktu di mana aku mencoba menulis surat untukmu — surat yang tak pernah kukirim.
Di dalamnya, aku menulis tentang hal-hal yang tidak sempat kukatakan:
tentang terima kasih, tentang maaf, tentang keberanian untuk melangkah meski harus kehilangan.

Surat itu masih kusimpan sampai sekarang.
Mungkin karena di sana ada versi diriku yang paling jujur, versi yang hanya muncul ketika aku menulis tentangmu.


IV. Cinta yang Tidak Hilang, Hanya Berubah Bentuk

Seiring waktu, aku mulai memahami sesuatu yang dulu tak kupahami:
bahwa cinta tidak selalu harus dimiliki untuk bisa bertahan.
Kadang ia berubah bentuk — dari rasa menjadi doa, dari keinginan menjadi pengertian.

Aku belajar bahwa mencintai seseorang tidak berarti harus selalu bersama.
Kadang mencintai berarti membiarkan seseorang pergi, karena kamu tahu dunia mereka lebih besar dari genggamanmu.

Dan anehnya, setelah kamu pergi, aku justru lebih mengenal diriku sendiri.
Aku belajar untuk berhenti berharap pada kepastian, dan mulai percaya pada proses.
Aku belajar bahwa kehilangan bukan kutukan, tapi cara alam semesta mengajarkan kita arti keberanian.


V. Ketika Aku Bertemu Kamu Lagi

Beberapa tahun lalu, kita bertemu lagi — di tempat yang tak kuduga, di waktu yang bahkan tidak tepat.
Kamu datang dengan senyum yang sama, tapi kehidupan yang berbeda.
Aku tidak lagi merasa bergetar. Aku hanya merasa tenang.

Kamu bercerita tentang hidupmu, aku juga bercerita tentang milikku.
Tidak ada perasaan ingin kembali, hanya rasa syukur karena pernah bertemu.

Di akhir pertemuan itu, kamu berkata pelan,

“Lucu ya, dulu aku takut kehilangan kamu, tapi ternyata waktu tidak pernah benar-benar memisahkan kita.”

Aku tersenyum.
“Tidak semua kehilangan berarti berakhir,” jawabku.

Kami berpisah malam itu, tapi tidak dengan luka.
Cinta yang dulu membakar, kini menjadi cahaya kecil yang hangat di dalam dada — tidak menyakitkan, hanya menenangkan.


VI. Refleksi: Tentang Berani Mencintai Sekali Lagi

Kini aku tahu, cinta yang paling sejati bukan yang bertahan, tapi yang meninggalkan jejak yang tidak hilang.
Karena dari cinta yang gagal, aku belajar tentang ketulusan, tentang menerima, tentang menjadi manusia yang lebih utuh.

Kadang aku berpikir, hidup ini memang seperti permainan di Gudang4D yang dulu kamu sebutkan.
Kita menaruh harapan, memasang keyakinan, lalu menunggu hasil yang tak bisa kita kendalikan.
Ada yang menang, ada yang kalah, tapi yang paling penting adalah berani ikut bermain.

Cinta pun begitu.
Tidak semua cinta membawa kemenangan.
Beberapa hanya datang untuk mengajarkan cara kalah dengan bermartabat, dan bangkit dengan hati yang lebih kuat.


VII. Epilog: Surat Ini Untuk Diri Sendiri

Malam ini aku menulis lagi, bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri.
Untuk versi diriku yang dulu takut mencintai karena trauma kehilangan.
Untuk diriku yang pernah percaya cinta adalah segalanya, lalu jatuh, lalu belajar berdiri kembali.

Kalau nanti cinta datang lagi, aku tidak akan menyambutnya dengan ketakutan.
Aku akan membiarkannya tumbuh dengan alami, tanpa terburu-buru, tanpa janji kosong.
Karena sekarang aku tahu: cinta yang dewasa tidak perlu berisik untuk terlihat nyata.

Dan jika suatu hari aku bertemu seseorang baru, aku akan berterima kasih padamu —
karena dari kamu, aku belajar bahwa cinta tidak harus sempurna untuk bisa bermakna.

Cinta sejati bukan tentang siapa yang bertahan sampai akhir,
melainkan tentang siapa yang mampu membuat kita percaya lagi, bahkan setelah semua yang pernah hancur.


Aku menutup buku catatan ini dengan tenang.
Di luar, hujan turun lagi, sama seperti malam saat kita bertemu dulu.
Tapi kali ini, tidak ada kesedihan.

Baca Juga: Cinta di tengah asap dan lampu kota, fragmen yang tersisa di antara hari, di antara hujan dan lampu kota

Hanya rasa damai — karena aku tahu, beberapa cerita memang diciptakan hanya untuk diingat, bukan untuk diulang.

Dan seperti roda nasib di Gudang4D yang terus berputar,
aku tahu hidup pun akan terus berputar — membawa kesempatan baru,
mungkin juga cinta baru,
dan kali ini, aku siap untuk mencobanya lagi.


on October 27, 2025 by pecinta handal |