Cinta di Tengah Asap dan Lampu Kota – Sebuah Potret Tentang Dua Orang yang Berusaha Bertahan

I. Kota yang Tak Pernah Tidur

Jakarta, pukul 22.37.
Di bawah langit yang ditelan kabut dan cahaya reklame, ratusan orang masih berkejaran dengan waktu. Suara klakson bersahutan, lampu-lampu toko belum padam, dan di antara keramaian itu, dua orang duduk di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan.

Mereka bukan pasangan yang mencolok. Tidak bergandengan tangan, tidak berbagi tatapan penuh bunga-bunga. Mereka hanya duduk berhadapan, saling diam, dengan rokok di antara jari dan gelas kopi yang hampir dingin. Tapi dari cara mereka saling menatap, ada sesuatu yang tertahan — sesuatu yang lebih nyata dari kata cinta.

Cinta di kota besar tidak selalu romantis.
Kadang ia hadir di sela-sela kerja lembur, di lampu merah yang panjang, atau di meja makan yang sunyi setelah hari yang melelahkan. Ia tidak datang dalam bentuk pelukan atau janji manis, tapi dalam cara seseorang bertanya, “Sudah makan belum?” di tengah notifikasi yang tak berhenti berbunyi.


II. Perempuan yang Lelah dan Laki-Laki yang Tidak Pandai Bicara

Namanya Nara, 29 tahun, bekerja di biro iklan sebagai copywriter. Hidupnya padat oleh deadline dan revisi. Ia tidak percaya cinta bisa bertahan di dunia secepat ini — di mana pesan bisa dihapus sebelum sempat dijawab, dan hubungan bisa berakhir hanya dengan kalimat “aku butuh waktu.”

Sedangkan dia, Rafi, 33 tahun, seorang fotografer freelance yang hidup dari proyek ke proyek. Tidak kaya, tidak stabil, tapi jujur pada hidupnya. Baginya, mencintai berarti menerima kekacauan orang lain tanpa banyak bertanya.

Mereka bertemu di sebuah proyek iklan — kampanye digital bertema “Makna Keberuntungan.” Ironisnya, keduanya tidak sedang beruntung. Nara baru putus dari pacar lamanya, sementara Rafi baru gagal dalam tender besar. Tapi mungkin karena sama-sama lelah, mereka saling menemukan dalam ketenangan.

“Lucu, ya,” kata Nara suatu malam, “kita bikin iklan soal keberuntungan, tapi hidup kita sendiri malah kayak rangkaian kehilangan.”
Rafi tertawa kecil. “Mungkin karena keberuntungan itu bukan soal hasil. Tapi soal bertahan.”


III. Antara Ambisi dan Rasa

Hubungan mereka tidak pernah didefinisikan. Tidak ada pengakuan, tidak ada label. Mereka hanya terus bertemu — kadang di kafe, kadang di apartemen kecil Rafi yang dindingnya penuh hasil foto jalanan.

Nara suka membaca, dan Rafi suka diam.
Kadang mereka berbicara panjang tentang hal-hal absurd: eksistensi, takdir, atau bahkan filosofi kehidupan dari tukang kopi langganan. Kadang mereka hanya duduk diam, tapi diamnya terasa penuh makna.

Suatu malam, Rafi berkata,

“Kamu tahu kenapa aku suka foto kota malam hari?”
“Kenapa?”
“Karena semua orang kelihatan jujur waktu capek.”

Nara menatapnya lama. Di tengah keheningan itu, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa suka. Tapi tidak ada yang mengakuinya.

Karena di kota sebesar ini, perasaan adalah kemewahan. Orang lebih sering sibuk mengejar sesuatu — uang, status, pengakuan — daripada berhenti untuk benar-benar merasakan.


IV. Cinta di Era Digital

Setiap pagi, Nara memulai hari dengan 37 pesan di ponsel: klien, rekan kerja, promosi, reminder, semua bercampur. Tapi di antara notifikasi itu, satu nama yang ia tunggu paling lama adalah “Rafi.”

Pesannya tidak pernah panjang. Kadang hanya:

“Kopi kamu masih sama tanpa gula?”
Atau
“Jangan lupa tidur, ya.”

Di dunia digital yang serba cepat, pesan singkat bisa jadi bentuk cinta paling jujur.
Mereka jarang mengunggah foto bersama. Tidak ada story penuh emoji cinta, tidak ada caption “couple goals.” Dunia tidak tahu mereka dekat, dan mereka juga tidak butuh tahu dunia tahu.

Karena cinta mereka bukan untuk ditampilkan.
Ia tumbuh di balik layar, di antara notifikasi yang tak terbaca, dan di waktu-waktu singkat di mana dua hati beristirahat dari dunia yang bising.

Suatu malam, Rafi mengirim tautan artikel dari Gudang4D, tentang “keberuntungan kecil dalam hidup sehari-hari.” Artikel itu berbicara tentang bagaimana kadang keberuntungan bukan datang dalam bentuk uang atau peluang besar, tapi sekadar pertemuan dengan orang yang membuat hidup terasa lebih tenang.

Nara membalas:

“Jadi kamu pikir aku keberuntunganmu?”
Rafi menjawab singkat:
“Mungkin bukan keberuntungan. Tapi alasan kenapa aku belum menyerah.”


V. Antara Kenyataan dan Pilihan

Suatu malam, Nara menangis di tengah kantor yang sepi. Proyek besar gagal total, dan atasan marah besar. Ia menelpon Rafi, tanpa berpikir.
“Bisa temani aku sebentar?”

Tak sampai setengah jam, Rafi sudah ada di depan gedung dengan dua gelas kopi dan jaket tebal. Mereka duduk di parkiran kosong, berbicara pelan di bawah lampu temaram.

Rafi tidak memberi nasihat. Ia hanya mendengarkan. Kadang diam, kadang menggenggam tangan Nara sebentar.
Dalam dunia yang terbiasa memberi solusi, ada keajaiban tersendiri pada seseorang yang memilih untuk hanya hadir.

Nara berkata pelan, “Aku takut gagal.”
Rafi menjawab, “Gagal bukan musuhmu. Takut mencoba lagi itu musuhnya.”

Dan untuk pertama kalinya setelah lama, Nara tertawa di tengah tangis.


VI. Perpisahan yang Tidak Pahit

Hubungan mereka tidak berakhir dengan drama. Tidak ada pertengkaran besar, tidak ada pengkhianatan. Hanya waktu yang perlahan menarik mereka ke arah berbeda.

Rafi mendapat tawaran bekerja di luar kota — kontrak besar, kesempatan langka. Nara tahu, dan ia tidak menahannya.

Suatu malam sebelum keberangkatan, mereka bertemu di jembatan penyeberangan tempat biasa mereka mengobrol.
Rafi berkata, “Kamu tahu, kota ini keras. Tapi kamu lebih kuat dari yang kamu pikir.”
Nara tersenyum. “Dan kamu... terlalu baik untuk tempat yang terus berlari seperti ini.”

Baca Juga: Chests of Cai Shen Pragmatic Play di Gudang4D, Anime Mecha Megaways Pragmatic Play di Gudang4D, Mystery Mice Pragmatic Play di Gudang4D

Hujan turun tiba-tiba. Mereka tidak berlari, hanya berdiri di bawah rintik hujan, menatap lampu kendaraan yang berkilat di bawah mereka. Tak ada pelukan, tak ada ciuman perpisahan. Hanya dua orang yang tahu: beberapa cinta memang diciptakan bukan untuk selamanya, tapi untuk mengingatkan bagaimana rasanya menjadi manusia.


VII. Epilog: Cinta yang Realistis

Beberapa tahun kemudian, Nara sudah naik jabatan. Rafi pun sukses dengan studio kecilnya. Mereka tak lagi berhubungan intens, tapi kadang masih saling menyapa lewat pesan singkat.

Cinta mereka tidak pernah benar-benar selesai, tapi juga tidak butuh dilanjutkan. Ia berubah bentuk — dari perasaan menjadi penghargaan, dari rindu menjadi doa.

Kota masih sama: penuh asap, ambisi, dan lampu-lampu yang tak pernah padam. Tapi bagi Nara, setiap kali melewati tempat mereka dulu duduk, ia tahu: ada cinta yang tidak memudar meski tak lagi dinyatakan.

Dan mungkin, seperti tulisan di artikel Gudang4D yang dulu dikirim Rafi, keberuntungan sejati bukan tentang mendapatkan apa yang kita mau, tapi tentang pernah dipertemukan dengan orang yang membuat kita memahami arti bertahan.


on October 14, 2025 by pecinta handal |