Pagi di kota selalu sibuk.
Orang-orang berlari mengejar waktu, dan suara klakson seperti irama wajib setiap hari.
Di antara semua itu, ada satu kedai kopi kecil di sudut jalan Mangga Dua yang menjadi tempat pelarian dari hiruk pikuk.
Di sana, Nadia selalu datang pukul tujuh pagi.
Perempuan 27 tahun itu bekerja di biro akuntan, hidupnya teratur seperti laporan keuangan yang harus selalu seimbang.
Ia duduk di meja yang sama, memesan kopi susu tanpa gula, dan menulis daftar hal yang harus ia selesaikan hari itu.
Tapi pagi ini berbeda.
Kursi di depannya sudah diduduki seseorang — pria berkaus abu-abu dengan wajah kelelahan dan mata yang jujur.
“Maaf,” kata Nadia, agak kikuk. “Biasanya kursi itu kosong.”
Pria itu menatapnya sambil tersenyum. “Kalau begitu, hari ini jadi pengecualian.”
I. Pertemuan Tanpa Niat
Namanya Reyhan.
Ia bekerja sebagai teknisi di studio musik tak jauh dari situ.
Rambutnya sedikit berantakan, dan tangannya masih ada bekas tinta hitam dari alat kerja.
Mereka mulai berbicara pelan.
Tentang kopi, tentang pagi, tentang bagaimana kota bisa begitu keras tapi sekaligus menyenangkan.
Tidak ada niat apa-apa, hanya dua orang asing yang kebetulan duduk di meja yang sama dan merasa nyaman dalam keheningan yang serupa.
Hari berikutnya, Nadia datang lagi — dan lagi, Reyhan sudah di sana.
Kali ini ia memesan dua kopi. “Aku pikir kamu bakal datang,” katanya sambil tersenyum.
Nadia mengangkat alis. “Kamu percaya pada kebetulan?”
Reyhan tertawa. “Aku lebih percaya pada peluang. Hidup ini seperti Gudang4D, kan? Tidak selalu pasti, tapi kadang keberuntungan datang saat kita berani mencoba.”
II. Tentang Luka yang Tak Diceritakan
Hari berganti minggu.
Kedai kopi itu menjadi tempat singgah bagi dua orang yang sebenarnya sedang bersembunyi dari hidup.
Nadia baru saja gagal dalam hubungan yang ia pertahankan selama lima tahun.
Sementara Reyhan kehilangan pekerjaannya di studio karena perusahaannya tutup.
Mereka sama-sama tak membicarakan lukanya secara langsung, tapi setiap keheningan di antara mereka terasa seperti pengakuan diam-diam.
Suatu sore, hujan turun deras.
Mereka masih di kedai yang sama, memandangi jendela yang dipenuhi butir air.
“Aku pernah berpikir, mungkin aku tidak akan jatuh cinta lagi,” kata Nadia pelan.
Reyhan menatap ke luar. “Aku juga. Tapi ternyata hidup suka bercanda.”
Nadia tersenyum samar. “Bercanda?”
“Iya,” jawab Reyhan. “Hidup membuat kita patah, tapi diam-diam menyiapkan seseorang untuk memungut potongan itu satu-satu.”
III. Hari-hari yang Tenang
Tidak ada pengakuan cinta, tidak ada janji apa pun.
Mereka hanya terbiasa saling ada.
Reyhan mulai membantu Nadia menjemputnya sepulang kerja.
Kadang mereka makan malam di warung kaki lima, kadang hanya berjalan tanpa arah sambil membicarakan hal sepele.
“Kenapa kamu selalu tenang?” tanya Nadia suatu malam.
Reyhan tersenyum. “Karena aku tahu semuanya sementara. Bahkan sedih pun tidak selamanya.”
Kalimat itu menempel di kepala Nadia.
Ia mulai melihat hidupnya dengan cara yang berbeda: lebih sederhana, lebih ringan.
Cinta, baginya, bukan lagi tentang kemegahan, tapi tentang seseorang yang tahu cara membuatmu merasa aman bahkan di hari paling biasa.
IV. Kenyataan yang Datang Tanpa Peringatan
Suatu pagi, Reyhan tidak datang.
Hari berikutnya pun tidak.
Barista bilang, Reyhan harus kembali ke kampung karena ibunya sakit keras.
Nadia menatap kursi kosong di hadapannya dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
Bukan kehilangan besar, tapi kekosongan kecil yang terasa nyata.
Ia menulis di catatan hariannya malam itu:
“Lucu. Aku bahkan tidak tahu apakah ini cinta. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang hilang ketika dia tidak di sini.”
Waktu berjalan lambat setelah itu.
Hari-hari terasa sepi, kopi terasa hambar.
V. Ketika Semesta Memberi Kesempatan Kedua
Sebulan kemudian, Reyhan kembali.
Ia datang ke kedai dengan jaket tua dan wajah yang lebih tirus.
Begitu melihatnya, Nadia berdiri tanpa sadar.
“Kamu kembali,” katanya dengan suara hampir bergetar.
Reyhan mengangguk. “Ibuku sudah membaik.”
Lalu ia menatap Nadia lama. “Dan aku sadar, aku ingin kembali bukan cuma untuk pekerjaanku, tapi juga untuk seseorang yang membuatku ingin datang setiap pagi.”
Baca Juga: Sebuah janji di balik kopi, kala senja di ujung jalan cinta, kisah cinta di balik hujan
Nadia diam.
Tidak ada air mata, tidak ada pelukan, hanya senyum yang tulus — senyum orang yang akhirnya tahu arah pulangnya.
VI. Cinta yang Tidak Membutuhkan Banyak Kata
Mereka tidak pernah benar-benar mendefinisikan hubungan mereka.
Tidak ada tanggal jadian, tidak ada perayaan.
Namun setiap pagi, mereka datang ke kedai yang sama, duduk di meja yang sama, dan saling bertukar cerita kecil tentang hidup.
Kadang Reyhan bercerita tentang pekerjaannya di studio baru.
Kadang Nadia bercerita tentang klien yang rumit tapi lucu.
Dan di sela semua itu, ada cinta yang tumbuh tanpa banyak bicara — cinta yang tumbuh dari kebiasaan, bukan dari janji.
Sampai suatu pagi, Nadia berkata, “Aku pikir aku mulai mengerti arti bahagia.”
Reyhan menatapnya. “Apa itu?”
“Bahagia itu ketika kamu tidak merasa harus berusaha keras untuk menjadi seseorang yang lain.”
Reyhan tertawa pelan. “Dan kamu tidak perlu. Kamu sudah cukup.”
VII. Akhir yang Tidak Berakhir
Musim berganti, tapi kebiasaan mereka tidak berubah.
Kedai itu menjadi saksi — bahwa cinta kadang tidak butuh awal yang dramatis atau akhir yang megah.
Suatu hari, pemilik kedai menulis di papan kecil di depan pintu:
“Cinta tidak selalu datang dengan bunga. Kadang datang dengan dua cangkir kopi dan tawa kecil di pagi hari.”
Nadia tersenyum membaca tulisan itu.
Ia menatap Reyhan yang sedang memotret kopi mereka — kebiasaannya sejak dulu.
“Masih suka bermain dengan peluang?” tanyanya.
Reyhan mengangkat alis. “Kamu tahu jawabannya.”
“Seperti Gudang4D?”
“Seperti Gudang4D,” jawab Reyhan sambil tertawa. “Tidak semua tebakan menang, tapi yang berani mencoba selalu punya harapan.”
Dan pagi itu, di antara aroma kopi dan riuh kota yang mulai hidup, mereka tahu satu hal:
bahwa cinta sejati bukan tentang janji besar, tapi tentang seseorang yang mau menemani di tengah rutinitas — setiap hari, dengan tenang, tanpa banyak kata.