I. (Narator: Dira)
Musim hujan datang lebih cepat tahun ini. Hujan turun hampir setiap sore, membasahi jalan setapak yang sudah akrab di langkah kami. Toko buku tempatku bekerja menjadi sedikit lebih ramai karena orang-orang mencari tempat berteduh. Aroma kertas basah bercampur kopi hangat membuat ruangan kecil itu terasa seperti sebuah dunia yang tertutup dari bising kota.
Arga masih datang, seperti biasa. Tanpa perlu janjian, tanpa pesan singkat. Kehadirannya tidak pernah memaksa, namun selalu terasa.
Kadang ia duduk di kursi kayu dekat jendela. Kadang ia hanya berdiri menatap buku baru yang belum sempat disusun. Kadang kami berbicara tentang hal-hal berat—seperti mimpi yang tertunda dan ketakutan yang belum selesai. Kadang kami hanya diam.
Baca Juga: ketika cinta datang terlambat, cinta di antara dua dunia, senja terakhir di kafe kota sebuah
Lucu bagaimana diam di dekat seseorang bisa terasa seperti percakapan paling panjang.
Sore itu, hujan jatuh lebih deras dari biasanya. Arga duduk di kursi dekatku. Tidak ada pelanggan lagi. Tidak ada suara mesin pendingin ruangan. Hanya ritme hujan di kaca.
“Dira,” ia memanggil pelan.
Aku menoleh. “Ya?”
“Aku tidak ingin kehilangan tempat ini,” katanya.
Aku tahu ia tidak sedang membicarakan toko buku.
Aku tahu ia sedang membicarakan aku.
Aku tersenyum kecil.
“Kamu tidak perlu takut kehilangan kalau kamu bersedia tinggal dulu,” jawabku.
Arga mengangguk pelan. Seolah ia baru saja menemukan keberanian yang sudah lama ia cari.
Dan kami tidak perlu menambahkan apa-apa lagi.
II. (Narator: Arga)
Setiap cinta punya bentuknya masing-masing. Ada cinta yang datang seketika, penuh keberanian yang tidak sempat dipikirkan. Ada cinta yang tumbuh perlahan, seperti cahaya kecil yang menyala dari sudut hati yang lama gelap.
Cintaku pada Dira adalah yang kedua.
Aku tidak pernah berniat untuk terburu-buru. Ada bagian dari diriku yang masih rapuh. Ada kenangan yang masih perlu diberi ruang untuk bernapas. Tapi Dira tidak pernah tergesa. Ia tidak menanyakan hal-hal yang belum siap aku jawab. Ia tidak meminta kepastian yang belum siap aku berikan.
Ia hanya ada.
Dan kehadiran itu menjadi rumah.
Suatu malam, aku berjalan pulang mengantarnya. Jalanan basah. Lampu jalan memantulkan cahaya seperti serpih bintang yang jatuh ke bumi. Dira berjalan di sampingku, tangannya memasukkan ke dalam kantung mantel karena dingin.
“Aku selalu berpikir kota ini terlalu keras untukku,” katanya tiba-tiba.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena kota tidak peduli siapa yang bertahan dan siapa yang jatuh,” jawabnya.
Aku mengangguk. “Tapi kita tidak perlu membuat kota peduli.”
“Lalu apa?”
“Kita hanya perlu menemukan satu orang yang tetap ada saat kota berubah.”
Dira berhenti berjalan. Menatapku.
Hujan rintik jatuh pelan, seperti waktu berhenti hanya untuk kami.
“Apa kamu ingin menjadi orang itu?” tanyanya.
Aku tidak menjawab dengan kata-kata.
Aku hanya menggenggam tangannya.
Perlahan.
Tidak untuk menarik.
Tidak untuk menahan.
Hanya untuk mengatakan:
Aku di sini.
III. (Narator: Dira)
Setelah hari itu, sesuatu berubah. Tidak besar. Tidak mencolok.
Tapi nyata.
Ada kehangatan dalam langkah kami. Ada kejelasan dalam diam kami. Ada sesuatu yang tidak lagi perlu dipertanyakan.
Namun cinta bukan hanya tentang keindahan. Cinta juga tentang keberanian untuk membuka pintu yang selama ini terkunci.
Aku tahu Arga masih membawa masa lalu di bahunya. Luka itu bukan hal yang bisa hilang dalam sekali genggam.
Dan aku tidak pernah ingin menggantikan siapa pun dalam hidupnya.
Yang ingin aku lakukan hanyalah menjadi bagian dari hari ini.
Di malam lain, kami duduk di bangku taman, tempat yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
“Kadang aku takut,” Arga berkata pelan. “Takut kalau suatu hari aku tidak cukup untuk kamu.”
Aku tersenyum.
“Cinta bukan tentang cukup atau tidak cukup. Cinta tentang ada atau tidak ada,” jawabku.
“Aku ada,” katanya.
“Aku tahu.”
Dan itu cukup.
IV. (Narator: Arga)
Aku mulai menulis lagi. Tidak untuk diterbitkan. Tidak untuk dibaca orang banyak. Hanya untuk memahami diriku sendiri.
Suatu malam aku menulis:
Ada cinta yang hadir sebagai suara.
Ada cinta yang hadir sebagai tangan yang menggenggam.
Ada cinta yang hadir sebagai keheningan yang tidak membuat kita ingin pergi.
Dira adalah keheningan itu.
Aku menemukan sebuah tulisan lama di internet yang menyimpan kalimat yang membuatku berhenti sejenak. Kalimat itu muncul di ruang diskusi sederhana, mungkin di antara kumpulan cerita yang dikirim orang tanpa nama, seperti yang beberapa kali pernah kubaca di ruang berbagi cerita seperti gudang4d:
Cinta yang tidak tergesa akan menemukan bentuknya sendiri.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku—
Aku percaya itu sepenuhnya.
V. (Narator: Dira)
Tidak ada yang perlu kami tandai sebagai “awal hubungan.” Tidak ada pengakuan dramatis. Tidak ada perayaan besar.
Tapi kini, setiap kali Arga mengetuk pintu toko buku,
setiap kali ia duduk di kursi dekat jendela,
setiap kali ia menatapku dan tersenyum tanpa kata—
Aku tahu.
Kami sudah memilih satu sama lain.
Tidak tergesa.
Tidak terburu.
Tidak takut lagi.
Kami memilih berjalan bersama di jalan pulang yang sama.
Dan cinta tumbuh di situ.
Bukan sebagai sesuatu yang harus dipahami.
Tetapi sebagai sesuatu yang dirasakan.
Seperti hujan yang turun begitu saja.
Seperti lampu kota yang menyala setiap senja.
Seperti hati yang akhirnya menemukan tempatnya.
Aku menutup buku catatan kecilku dan menuliskan satu kalimat:
Aku tidak berjalan sendirian lagi.
Dan itu cukup.