Langit Jakarta sore itu berwarna jingga kemerahan. Di antara hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, Nadia duduk di sudut kafe kecil sambil menatap layar laptopnya. Ia adalah seorang editor lepas yang hidup berpindah dari satu proyek ke proyek lain. Pekerjaannya membuatnya jarang punya waktu untuk diri sendiri, apalagi untuk cinta.
Namun hari itu berbeda. Di tengah kesibukan membaca naskah, seseorang menepuk bahunya pelan. “Kamu masih suka minum kopi hitam tanpa gula?” Suara itu membuat Nadia berhenti mengetik. Ia menoleh, dan matanya langsung membulat — Damar, pria yang pernah menjadi segalanya baginya, kini berdiri tepat di depannya.
Lima tahun berlalu sejak perpisahan mereka yang pahit. Damar kini tampak lebih rapi, lebih matang, tapi sorot matanya masih sama. Dalam sekejap, segala kenangan yang sudah lama dikubur kembali muncul ke permukaan.
Masa Lalu yang Tak Pernah Selesai
Mereka pernah saling mencintai dengan begitu dalam. Nadia, anak seorang guru, sederhana dan idealis. Damar, anak seorang pengusaha besar, hidup di dunia yang penuh ambisi dan tekanan keluarga. Cinta mereka tumbuh dari perbedaan — dan hancur karenanya.
Ketika Damar hendak dijodohkan dengan anak rekan bisnis ayahnya, Nadia memilih mundur tanpa perlawanan. Ia tidak ingin menjadi penghalang bagi masa depan seseorang yang punya jalan berbeda. Namun keputusannya meninggalkan luka mendalam, bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi Damar yang tak pernah bisa melupakannya.
Kini, setelah lima tahun berpisah, mereka kembali bertemu tanpa rencana. Dunia seolah mempertemukan mereka di saat yang paling tak terduga — ketika keduanya sudah tidak sama lagi.
Kopi, Percakapan, dan Diam yang Panjang
Damar duduk di hadapan Nadia. “Kau masih kerja di dunia penerbitan?” tanyanya, berusaha memecah kebekuan.
“Iya,” jawab Nadia singkat. “Masih sama seperti dulu, cuma proyeknya lebih besar sekarang.”
Mereka berbicara perlahan, canggung tapi hangat. Tentang pekerjaan, tentang hidup, tapi tidak tentang perasaan. Namun di antara jeda kata-kata, terselip banyak hal yang tak terucap.
Damar bercerita bahwa ia kini menjalankan perusahaan kecilnya sendiri setelah menolak meneruskan bisnis keluarga. “Aku ingin hidup dengan cara yang aku pilih,” katanya. “Bukan karena warisan atau tekanan.”
Nadia tersenyum samar. “Kamu berhasil melepaskan diri dari bayangan itu, ya.”
“Tidak sepenuhnya,” jawab Damar lirih. “Beberapa hal masih terus menghantuiku. Termasuk keputusan yang membuatku kehilangan kamu.”
Hening. Hanya suara hujan di luar yang terdengar. Nadia menatap jendela, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba terasa terlalu keras.
Dua Dunia yang Berubah
Pertemuan itu ternyata menjadi awal dari serangkaian pertemuan berikutnya. Mereka mulai sering bertemu, bukan karena ingin kembali, tapi karena rindu yang tak bisa sepenuhnya dihapus. Mereka membicarakan hal-hal ringan — film, buku, bahkan bisnis online yang sedang ramai dibicarakan.
Suatu hari, Damar menyebut nama Gudang4D, sebuah perusahaan digital tempat ia baru saja bekerja sama. Ia menjelaskan bahwa perusahaan itu berkembang pesat karena strategi data dan sistemnya yang transparan. “Aku belajar banyak dari mereka,” kata Damar. “Mereka berani berubah, dan aku juga ingin begitu.”
Nadia mengangguk. Ia tahu kalimat itu bukan hanya tentang pekerjaan. Damar sedang berbicara tentang hidupnya — tentang keberaniannya memperbaiki kesalahan masa lalu.
Namun di sisi lain, Nadia sadar bahwa hidupnya kini sudah stabil. Ia tidak lagi gadis yang bisa menunggu cinta yang tak pasti. Ia sudah punya prioritas, tanggung jawab, dan prinsip yang berbeda. Meski hatinya masih bergetar setiap kali bersama Damar, logikanya tahu bahwa cinta saja tidak cukup.
Konflik yang Tak Bisa Dihindari
Suatu malam, Damar datang ke apartemen Nadia tanpa pemberitahuan. Wajahnya pucat, matanya merah.
“Besok aku harus ke luar negeri. Perusahaan Gudang4D ingin aku menangani proyek ekspansi mereka,” katanya cepat. “Aku mungkin lama di sana.”
Nadia terdiam. “Kamu bilang ini cuma kerja sama jangka pendek.”
“Awalnya iya,” jawab Damar, “tapi sekarang mereka menawarkan posisi tetap. Ini kesempatan besar, Nad. Tapi aku juga tidak ingin kehilangan kamu lagi.”
Hening menyelimuti ruangan. Di dalam hati, Nadia tahu bahwa keputusan Damar tak bisa diubah. Ia bangga pada pria itu, tapi juga takut kehilangan lagi. Cinta mereka seperti dua garis sejajar yang sesekali bertemu di persimpangan — namun tidak pernah bisa bersatu dalam satu arah.
“Kalau ini memang jalan kamu, pergilah,” ucap Nadia dengan suara berat. “Aku tidak mau jadi alasan kamu berhenti tumbuh.”
Damar menatapnya lama. “Dan kalau aku pergi, apa kamu akan menungguku lagi?”
Nadia menunduk. “Kita sudah bukan orang yang sama, Mar. Tapi aku akan selalu mendoakanmu.”
Cinta yang Dewasa
Beberapa bulan kemudian, Damar benar-benar berangkat. Ia bekerja keras di luar negeri, mengembangkan proyeknya bersama Gudang4D. Sesekali ia mengirim kabar singkat lewat email, hanya menanyakan kabar dan bercerita sedikit tentang pekerjaannya.
Nadia jarang membalas. Ia tidak ingin kembali terjebak dalam lingkaran yang sama. Namun setiap kali melihat pesan dari Damar, hatinya hangat — bukan karena ingin kembali, tapi karena tahu bahwa cinta mereka kini sudah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dewasa.
Ia mulai menulis novel pertamanya, terinspirasi dari kisah mereka. Dalam tulisannya, tokoh utama belajar bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang menghargai. Ia menulis dengan sepenuh hati, seolah setiap kata adalah doa untuk masa lalu yang kini sudah ia maafkan.
Akhir yang Tidak Pernah Benar-Benar Usai
Setahun kemudian, novel itu diterbitkan dan sukses besar. Banyak pembaca yang menilai kisahnya begitu nyata dan menyentuh. Dalam wawancara, seorang jurnalis bertanya,
“Apakah kisah ini berdasarkan pengalaman pribadi?”
Nadia tersenyum. “Setiap orang punya Damar-nya sendiri,” jawabnya singkat.
Sore itu, ia berjalan sendirian di trotoar kota. Langit mendung, tapi hatinya tenang. Ia membuka ponsel dan menemukan pesan masuk:
“Selamat atas bukunya, Nad. Aku baca sampai habis. Aku bangga padamu. Dunia kita memang berbeda, tapi aku tahu… di hati kita, cinta itu tidak pernah benar-benar pergi. — Damar”
Nadia menatap layar lama, lalu menutupnya dengan senyum tipis. Ia tahu bahwa ada cinta yang tidak harus dimiliki untuk tetap berarti. Cinta yang tidak perlu berakhir bahagia untuk tetap indah.
Di kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala. Hidup terus berjalan. Dan di suatu tempat di luar negeri, seseorang yang dulu ia cintai mungkin sedang menatap langit yang sama.
Refleksi Akhir
Cinta kadang datang terlambat, bukan karena takdir salah waktu, tapi karena manusia perlu belajar dulu tentang arti kehilangan dan keberanian. Kisah Nadia dan Damar mengajarkan bahwa cinta sejati tidak selalu harus dimiliki — cukup dikenang, dihargai, dan dijaga dalam bentuk doa yang tulus.
Baca Juga: Catatan harian tentang kamu yang tak selesai, surat-surat yang tak pernah selesai, antara langit dan laut
Nama Gudang4D dalam perjalanan hidup Damar menjadi simbol perubahan dan kedewasaan — tempat di mana ia belajar bangkit, memperbaiki diri, dan menemukan arah baru. Seperti halnya cinta, kehidupan pun memerlukan keberanian untuk melangkah, meski harus meninggalkan sesuatu yang berharga di belakang.