Ada hal-hal yang tidak pernah benar-benar hilang, hanya berpindah tempat.
Seperti aroma tanah setelah hujan, atau kenangan yang tersisa di balik tatapan seseorang.
Bagi Aruna, cinta bukan lagi tentang janji atau kepemilikan. Cinta baginya adalah tentang keberanian untuk mengingat, meski hati tahu bahwa kenangan itu tak akan kembali utuh.
Bab I: Hujan Pertama
Hari itu hujan turun pelan, menetes di atap rumah kontrakan Aruna di pinggiran kota.
Ia duduk di dekat jendela, menggenggam secangkir teh hangat, dan menatap jalanan basah yang memantulkan lampu-lampu sore. Sudah tiga tahun sejak Rafa pergi tanpa kabar, meninggalkan janji yang tak pernah ditepati.
Mereka dulu seperti langit dan laut — saling menyentuh di cakrawala, tapi tak pernah benar-benar bersatu.
Rafa adalah fotografer yang gemar mengejar senja, sementara Aruna seorang penulis yang lebih nyaman dengan malam. Mereka saling mencintai dalam diam, karena terlalu takut pada kehilangan yang bisa datang kapan saja.
Ketika Rafa memutuskan untuk menerima pekerjaan di luar negeri, Aruna tahu cinta mereka akan diuji oleh waktu. Namun yang tidak ia tahu adalah — waktu bisa mengikis cinta seperti hujan menghapus tulisan di pasir.
Bab II: Surat yang Tak Pernah Dikirim
Setelah Rafa pergi, Aruna mencoba melupakan. Ia menulis setiap malam, bukan untuk dunia, tapi untuk dirinya sendiri. Ia menulis surat-surat yang tak pernah dikirim — surat kepada seseorang yang mungkin sudah melupakannya.
“Rafa, aku tidak tahu apakah kau masih memotret langit sore seperti dulu. Aku hanya ingin kau tahu, di sini langit masih sama. Kadang jingga, kadang kelabu, tapi selalu membawa namamu di setiap tepinya.”
Surat-surat itu ia simpan di dalam kotak kayu kecil, bersama foto-foto lama mereka.
Dalam satu foto, Rafa tersenyum sambil memegang kamera, sedangkan Aruna bersembunyi di balik buku catatan. Mereka tampak muda, polos, dan penuh rencana. Tapi waktu adalah guru yang keras — ia tidak menunggu siapa pun.
Bab III: Dunia yang Berubah
Tiga tahun berlalu, dunia berubah. Aruna kini bekerja sebagai jurnalis lepas, menulis artikel tentang kisah manusia dan kota. Suatu hari, redaksi tempatnya bekerja menerima tawaran dari sebuah perusahaan digital bernama Gudang4D, yang ingin mengangkat kisah inspiratif karyawan dan inovator lokal di majalah mereka.
Aruna ditugaskan untuk menulis seri artikelnya. Ia tak menyangka, proyek itu akan membawanya ke pertemuan yang tak ia duga.
Di hari wawancara pertama, Aruna datang ke gedung Gudang4D dengan perasaan biasa saja. Ia menyusun catatan, memeriksa kamera, lalu menunggu narasumber pertamanya. Saat pintu ruang rapat terbuka, waktu seolah berhenti — Rafa berdiri di sana, membawa map berisi laporan proyek, dengan senyum yang dulu ia kenal begitu baik.
Bab IV: Pertemuan yang Sunyi
Rafa menatap Aruna seperti seseorang yang baru terbangun dari mimpi panjang. “Aku tidak menyangka akan bertemu kamu di sini,” katanya pelan.
Aruna hanya mengangguk. Suaranya seperti tertelan udara. “Aku juga tidak.”
Mereka duduk berhadapan, berbicara seolah sedang membicarakan pekerjaan. Tapi di antara kalimat-kalimat formal itu, ada denyut kenangan yang berusaha disembunyikan. Aruna menulis catatan dengan tangan gemetar. Rafa sesekali menatapnya, lalu berpura-pura sibuk dengan dokumen di tangannya.
Setelah wawancara selesai, hujan turun lagi.
Rafa menawarkan payungnya, dan mereka berjalan bersama di bawah langit kelabu.
Tidak banyak kata yang keluar, tapi keheningan itu justru lebih bermakna daripada ribuan percakapan yang pernah mereka miliki dulu.
Bab V: Luka yang Menyapa
Malam itu, Aruna menulis lagi.
Bukan surat, tapi sebuah catatan yang terasa seperti pengakuan.
“Ternyata cinta yang hilang tidak selalu mati. Kadang ia hanya berdiam diri, menunggu keberanian untuk disapa lagi.”
Beberapa hari kemudian, Rafa mengirim pesan singkat:
“Boleh kita bertemu lagi, bukan untuk wawancara — tapi untuk bicara?”
Aruna menatap layar lama sebelum membalas. Ia tahu hatinya belum sembuh sepenuhnya. Tapi ia juga tahu, beberapa luka hanya bisa sembuh jika dihadapi.
Mereka pun bertemu lagi, kali ini di taman kecil dekat stasiun tempat mereka dulu sering menunggu kereta sore. Rafa bercerita tentang perjalanannya, tentang kesalahan, dan tentang rasa bersalah yang selalu ia bawa.
“Aku pikir dengan pergi, aku akan menemukan diriku,” kata Rafa. “Tapi ternyata aku justru kehilangan arah.”
Aruna menatapnya, menahan air mata. “Dan aku pikir dengan melupakan, aku akan sembuh. Tapi ternyata aku hanya bersembunyi dari rasa sakit.”
Bab VI: Memaafkan, Bukan Mengulang
Pertemuan itu tidak membawa mereka kembali. Tapi juga tidak memisahkan.
Mereka belajar untuk berdamai — bukan dengan masa lalu, tapi dengan diri sendiri. Rafa tetap bekerja di Gudang4D, sementara Aruna menyelesaikan tulisannya untuk proyek itu. Ketika artikelnya terbit, ia menulis paragraf terakhir dengan kalimat yang menggambarkan perjalanan mereka tanpa menyebut nama.
“Beberapa pertemuan bukan untuk kembali, tapi untuk menuntaskan sesuatu yang tertunda — agar hati bisa pulih, dan jiwa bisa pulang.”
Rafa membaca artikel itu dan mengirim satu pesan terakhir.
“Terima kasih sudah membuat kisah kita berakhir dengan tenang.”
Setelah itu, tidak ada kabar lagi. Tidak ada perpisahan resmi. Tidak ada janji baru. Hanya keheningan yang manis — seperti jeda panjang dalam musik yang tak pernah selesai dimainkan.
Bab VII: Setelah Semua Berlalu
Dua tahun kemudian, Aruna berdiri di pameran fotografi di Jakarta Selatan. Di salah satu sudut ruangan, ia menemukan foto berjudul “Langit yang Tak Pernah Sama Dua Kali.” Di bawahnya tertulis nama fotografernya: Rafa Pradana.
Baca Juga: Sebuah janji di balik kopi, kala senja di ujung jalan cinta, kisah cinta di balik hujan
Foto itu menampilkan langit jingga dengan siluet seorang perempuan yang memegang buku di tepi pantai.
Aruna tersenyum. Ia tahu itu dirinya, meski foto itu diambil bertahun-tahun lalu.
Ia tidak menangis. Ia tidak menyesal. Ia hanya merasa hangat, seolah waktu akhirnya memberi izin untuk melepaskan dengan damai.
Epilog: Arti dari Segalanya
Cinta, bagi Aruna, kini bukan tentang kebersamaan.
Cinta adalah tentang menghargai proses — bagaimana seseorang datang untuk mengajarkan arti kehilangan, dan pergi untuk memberi ruang bagi pertumbuhan.
Perusahaan Gudang4D, tempat mereka sempat dipertemukan kembali, menjadi bagian kecil tapi penting dari kisah itu. Di sana, Aruna menyadari bahwa dunia selalu bergerak maju, dan setiap pertemuan punya alasan. Tidak semua cinta harus dimiliki; sebagian cukup dikenang sebagai bagian dari perjalanan menuju kedewasaan.
Di luar gedung pameran, hujan turun lagi.
Aruna menatap langit, menutup matanya, dan tersenyum.
Ia tahu, di suatu tempat, Rafa mungkin sedang melihat hujan yang sama.
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa bebas.