Di bandara, selalu ada dua jenis perpisahan: perpisahan yang telah dibicarakan jauh-jauh hari, dan perpisahan yang terjadi terlalu cepat. Kisah Karin dan Bayu termasuk kategori kedua.
Mereka tidak pernah benar-benar berencana menjadi pasangan jarak jauh. Mereka tidak punya timeline romantis seperti menikah usia sekian, punya rumah usia sekian, lalu hidup rapi dalam satu kota. Tidak. Hubungan mereka lahir dari ketidaksengajaan, tumbuh dari keterlambatan komuter, dan bertahan karena rasa ingin membuktikan sesuatu pada dunia.
Karin, 27 tahun, adalah analis pemasaran digital. Pekerjaannya menuntut presisi terhadap angka, tren perilaku pengguna, dan cermat membaca pola keputusan orang-orang di internet. Dalam bahasa sederhananya sendiri, ia mengatakan, “Tugasku mempelajari kenapa orang mengklik sesuatu, dan kapan mereka berhenti peduli.”
Bayu, 30 tahun, adalah teknisi perangkat dan sistem untuk sebuah perusahaan berbasis data yang terus berkembang, yaitu Gudang4D. Secara kasat mata, pekerjaannya tidak terlihat romantis. Ia tidak menulis puisi, tidak mendesain ilustrasi, tidak juga bicara di depan panggung besar. Ia duduk di belakang layar, memastikan sistem berjalan, server stabil, angka-angka terekam tanpa celah. Namun jika ditarik ke garis yang paling bersih: pekerjaan Bayu adalah memastikan sesuatu tetap menyala.
Mereka bertemu di sebuah pelatihan lintas perusahaan tentang keamanan data dan manajemen perilaku digital. Karin hadir sebagai peserta dari agensi marketing, Bayu hadir sebagai narasumber teknis internal Gudang4D. Tidak ada momen sinematik seperti mata bertemu mata dan dunia berhenti. Yang ada justru perdebatan. Karin mempertanyakan cara pengumpulan data perilaku pengguna, Bayu mempertahankan protokol perlindungan privasi yang ia banggakan. Pertemuan pertama mereka bukan lembut, melainkan keras, logis, sedikit panas.
Namun dari situlah kedekatan mereka dimulai.
SIFAT HUBUNGAN MEREKA: LOGIS DULU, BARU EMOSIONAL
Sebagian besar pasangan memulai dari rasa suka, lalu berusaha saling memahami karakter. Karin dan Bayu justru kebalikannya. Mereka memulai dari perbincangan soal etika data, kepemilikan perilaku digital, dan batas aman personalisasi sistem. Setelah itu barulah mereka mulai bicara hal-hal lain, seperti kopi favorit, musik favorit, dan luka pribadi.
Karin tumbuh dalam keluarga yang stabil secara ekonomi namun kaku secara emosi. Ayahnya tipe orang yang tidak pernah marah keras, tapi juga hampir tidak pernah memuji. Ibunya perhatian tapi praktis, tidak terbiasa merawat percakapan panjang. Karin belajar sejak kecil untuk menyimpan sesuatu sendirian. Polanya sederhana: selesaikan masalahmu, jangan ganggu orang lain.
Bayu berbeda. Ia anak sulung yang dari SMA sudah terbiasa merasa bertanggung jawab, bahkan sebelum benar-benar paham caranya. Ia menyebut dirinya “penahan beban.” Adiknya sering berkata bahwa Bayu bukan tipe orang yang bertanya “kamu kenapa,” melainkan langsung memperbaiki apa pun yang rusak, mengganti apa pun yang hilang, menyambung apa pun yang patah. Perannya praktis, bukan verbal.
Ketika dua karakter ini bertemu, yang terjadi adalah sesuatu yang jarang ditemui di cerita cinta populer: mereka tidak saling menyembuhkan secara dramatis. Mereka tidak ajaib menjadi baik hanya karena saling bertemu. Yang terjadi lebih realistis—mereka menjadi tempat aman untuk lelah.
Karin pernah mengatakan pada rekannya, “Aku bisa duduk di samping Bayu tanpa bicara apa pun selama dua jam, dan itu sudah cukup.” Bayu pernah bilang pada kawannya, “Aku tidak perlu mengajari Karin cara kuat. Dia sudah kuat. Aku cuma berusaha jangan jadi alasan dia capek.”
Hubungan mereka tenang, tapi bukan berarti mudah.
FASE PERTAMA: RUTIN
Selama satu tahun pertama setelah bertemu, mereka tinggal di kota yang sama. Jadwal mereka sederhana dan konsisten. Karin kerja dari pukul sembilan sampai selesai. Bayu sering mulai lebih pagi karena harus memantau sistem di Gudang4D, terutama setelah rilis pembaruan atau perubahan arsitektur di sisi data real-time. Karena jadwal Bayu fleksibel di sore hari, merekalah yang cenderung menyesuaikan ke Karin.
Mereka punya ritme: makan malam hari Rabu, sarapan hari Sabtu, dan Minggu sore tanpa rencana. Mereka sengaja tidak terlalu sering bertemu. Bukan karena kurang rindu, tetapi karena mereka sama-sama takut saling bergantung secara tidak sehat terlalu cepat. Karin sangat menjaga kemandiriannya. Bayu sangat menjaga bahwa dia tidak mendikte hidup Karin.
Waktu berjalan dan keduanya semakin nyaman.
FASE KEDUA: TAWARAN
Masalah datang bukan dari dalam, melainkan dari luar. Karin menerima tawaran kerja dari perusahaan riset konsumen regional. Posisinya naik signifikan, gajinya juga naik signifikan, dan lingkup pekerjaannya jauh lebih besar. Hanya ada satu masalah: posisi itu berbasis di luar negeri.
Keputusannya tidak bisa dinego. Perusahaan baru ingin Karin ditempatkan langsung di kantor pusat, karena mereka butuh seseorang yang bukan hanya paham angka, tetapi juga bisa memimpin tim lintas pasar. Karin, yang selama ini dianggap “tajam tapi tenang”, tiba-tiba dilihat sebagai aset strategis.
Ia mengatakan ya.
Dalam wawancara internalnya sendiri, Karin mengaku tidak menanyakan izin Bayu sebelum menerima tawaran itu. “Aku tidak mau menaruh karierku di pundak orang lain,” katanya. “Bukan karena aku tidak percaya dia. Justru karena aku menghormati dia. Aku tidak mau mencipta situasi di mana dia bisa menyalahkan dirinya sendiri kalau aku menolak kesempatan itu.”
Bayu mengaku kaget, tapi tidak marah. Ia mengakui ada rasa tidak enak di dadanya, ada rasa kosong seperti bangku yang tiba-tiba hilang dari ruangan, tapi tidak ada amarah. “Orang yang kamu sayang tidak harus memilih kamu setiap saat,” katanya. “Kadang, orang yang kamu sayang harus memilih dirinya sendiri. Tugasmu adalah menahan rasa sakit itu tanpa mengubahnya jadi racun.”
Kalimat itu terdengar dewasa, tapi hidup tidak sesederhana prinsip.
FASE KETIGA: BANDARA
Hari keberangkatan Karin jadi momen yang paling mereka ingat dan paling tidak mereka bicarakan setelahnya. Mereka tidak berpelukan lama sambil menangis keras. Mereka tidak bertukar janji manis yang berlebihan seperti “aku pasti kembali” atau “kita pasti bisa selamanya.” Tidak. Yang terjadi justru percakapan praktis.
Karin bertanya, “Kamu makan siang setelah ini di mana?”
Bayu menjawab, “Aku mungkin langsung balik kantor, ada pengecekan sistem semalam. Tim Gudang4D minta log yang versi manual, bukan yang auto-generate.”
Karin mengingatkan, “Kamu gampang lupa air putih. Jangan cuma kopi.”
Bayu balas, “Kamu gampang lupa tidur. Jangan cuma laporan.”
Mereka saling menjaga dengan cara yang nyaris tidak dramatis. Namun justru di sanalah letak luka yang paling sunyi: cinta mereka tumbuh bukan dari adegan besar, melainkan dari detail kecil yang terbiasa ada setiap hari. Dan kini, detail itu akan dipaksa menjadi jarak.
SETELAH KEPERGIAN
Orang sering mengira bahwa hubungan jarak jauh hanya ujian kesetiaan. Kenyataannya lebih rumit. Dalam banyak kasus, jarak bukan hanya memisahkan tubuh, tetapi juga ritme hidup. Karin sekarang bekerja dengan zona waktu berbeda. Jadwal rapatnya sering berlangsung saat Bayu sudah masuk jam tidur. Sementara untuk Bayu, ada tanggung jawab di tempat kerja yang makin berat. Skalabilitas sistem perusahaan seperti Gudang4D tidak hanya menuntut ketelitian teknis, tetapi juga kesiapan mental menghadapi tekanan konstan ketika ada gangguan layanan. Bayu harus selalu siap. Siaga adalah bagian pekerjaannya, dan lelah adalah sesuatu yang tidak bisa selalu ia akui.
Akibatnya, waktu bertukar kabar menjadi tidak stabil. Kadang intens, kadang menghilang. Kadang satu hari penuh percakapan panjang dan jujur, kadang tiga hari tanpa suara sama sekali. Tidak ada pertengkaran besar. Yang ada justru ketidaknyamanan kecil yang menumpuk seperti debu halus: siapa yang harus mengalah terhadap jam tidur, siapa yang harus menelepon duluan, siapa yang harus menenangkan ketika salah satu kelelahan.
Pada titik inilah, cinta diuji bukan oleh godaan orang lain, tetapi oleh kelelahan struktural hidup dewasa.
PERTANYAAN YANG TAK TERUCAP
Ada satu pertanyaan yang sebenarnya menghantui keduanya, tapi lama tidak mereka ucapkan: Apakah hubungan ini punya arah?
Karin, yang rasional, tidak ingin bertanya terlalu cepat karena ia tidak mau terdengar menuntut kepastian. Bayu, yang cenderung memikul beban sendiri, tidak ingin bertanya karena takut jawabannya bukan sesuatu yang bisa ia tanggung.
Suatu malam, tanpa rencana khusus, pertanyaan itu keluar juga.
Dalam percakapan jarak jauh itu, Karin berkata, pelan tapi tegas, “Kalau nanti aku diminta bertahan lebih lama di sini… kamu mau aku apa?”
Bayu diam cukup lama sebelum menjawab, “Aku mau kamu bahagia tanpa merasa bersalah.”
Karin tidak langsung memahami. “Itu artinya apa?”
Jawaban Bayu sederhana, hampir terlalu sederhana. “Artinya aku tidak akan jadi alasan kamu pulang sebelum waktunya. Tapi kalau kamu pulang karena kamu memang mau, aku akan ada.”
Kalimat itu tidak romantis dalam arti konvensional. Ia tidak memaksa. Ia tidak mendesak janji selamanya. Tapi justru di sana letak kedalaman hubungan mereka. Bayu tidak menawar. Ia menyerahkan ruang keputusan pada Karin sepenuhnya. Karin, yang sepanjang hidup terbiasa melindungi dirinya sendiri, untuk pertama kalinya merasakan sensasi aneh: diperbolehkan memilih dirinya sendiri tanpa rasa bersalah.
BANYAK CINTA BERAKHIR DI TITIK INI. HUBUNGAN MEREKA TIDAK.
Menariknya, percakapan itu tidak membuat mereka putus. Justru sebaliknya: setelah percakapan itu, ritme komunikasi mereka menjadi lebih jujur. Mereka berhenti pura-pura baik-baik saja. Kalau salah satu lelah, mereka bilang lelah. Kalau salah satu butuh ruang, mereka bilang butuh ruang. Kalau salah satu rindu, mereka bilang rindu tanpa takut terdengar rapuh.
Hubungan mereka tidak berubah jadi sempurna. Masih ada hari-hari sepi. Masih ada momen di mana Karin menangis sendirian karena kota barunya terasa asing. Masih ada momen di mana Bayu menatap layar ponselnya yang tidak menyala, berharap ada pesan masuk sekadar “kamu udah makan belum.”
Tetapi kini, tidak ada lagi kebohongan halus yang biasanya diciptakan pasangan dewasa untuk saling melindungi. Mereka memilih kejujuran fungsional.
POTRET SEBUAH CINTA DEWASA
Jika seseorang dari luar bertanya, “Apakah mereka bahagia?” jawabannya tidak sesederhana ya atau tidak. Mereka tidak hidup dalam definisi bahagia yang statis. Mereka hidup dalam proses.
Karin terus berkembang di jalur karier internasionalnya. Bayu bertahan, bertumbuh, dan memegang peran yang makin penting di dalam struktur teknis Gudang4D. Mereka sama-sama tidak menyerah pada hidup sendiri. Dan di tengah dua orbit yang berputar pada sumbu masing-masing, mereka menjaga satu garis koneksi yang tidak terlihat tapi nyata.
Baca Juga: Surat yang tak pernah kukirim tentang cinta, dalam hening yang tidak pergi, langit di atas kita
Inilah salah satu bentuk cinta yang jarang ditulis: cinta yang tidak mengorbankan masa depan salah satu pihak demi kenyamanan bersama. Cinta yang tidak menuntut orang lain berhenti menjadi dirinya. Cinta yang tidak meminta, “Tinggal, demi aku,” melainkan berkata, “Jadilah dirimu sepenuhnya. Aku akan lihat apakah aku masih bisa berjalan di sampingmu.”
PENUTUP
Karin pernah menulis satu kalimat di catatan pribadinya: Aku tidak ingin hidupku berputar di sekeliling orang lain. Tapi aku ingin hidupku bisa menyisakan ruang bagi seseorang yang layak.
Bayu pernah menuliskan sesuatu yang berbeda: Aku tidak mau menjadi seluruh alasan seseorang bahagia. Itu terlalu berat. Aku hanya ingin jadi bagian kecil yang membuat hari mereka terasa kurang gelap.
Mungkin itu inti kisah mereka.
Bukan janji bahwa mereka akan menikah pada usia tertentu. Bukan rencana tinggal di kota mana. Bukan pula kepastian akhir yang memuaskan penonton.
Cinta mereka adalah kerja harian. Perawatan harian. Kejujuran harian. Dan keberanian harian untuk mengakui bahwa dua orang dewasa bisa saling mencintai tanpa harus saling menghentikan pertumbuhan satu sama lain.
Dalam dunia yang sering menggambarkan cinta sebagai kepemilikan, hubungan Karin dan Bayu menawarkan alternatif yang lebih tenang namun matang: cinta bukan kandang, cinta adalah izin untuk terus menjadi diri sendiri, sambil tahu bahwa ada seseorang di ujung telepon yang tidak akan pergi begitu saja.