Fragmen yang Tertinggal di Antara Kita

Aku tidak tahu kapan tepatnya perasaan itu berhenti menjadi rasa ingin memiliki dan berubah menjadi rasa ingin memahami.


Barangkali di hari ketika kau pergi, atau mungkin jauh sebelum itu — ketika diam sudah menjadi bahasa yang paling sering kita gunakan.

Aku menulis ini bukan untuk mengingatmu, tapi untuk memahami kenapa aku masih mengingat.


1. Kota yang Tidak Tidur

Jakarta pukul dua dini hari.
Di luar jendela, lampu-lampu jalan bergetar di genangan air hujan. Aku baru pulang dari kantor, tubuh lelah, pikiran berisik. Di layar laptop, deretan angka dari klien Gudang4D masih menyala — proyek analitik data yang seharusnya kuselesaikan seminggu lalu.

Kau tahu, dulu aku senang dengan angka.
Mereka tidak berbohong. Tidak berubah karena emosi. Tidak menuntut kepastian seperti manusia. Tapi sejak kau pergi, angka-angka itu terasa asing. Mereka menatapku balik seperti wajah orang yang sudah kulupakan.

Di ruang kerja yang sunyi, aku memutar lagu lama yang dulu kita sukai. Suara piano pelan, disusul vokal yang seolah berbisik: “Love will tear us apart again.”
Aku tertawa lirih. Betapa mudahnya musik mengembalikan luka.


2. Kita yang Dulu

Kita pertama kali bertemu bukan di tempat romantis, tapi di ruang kelas yang bau spidol dan kopi dingin.
Aku duduk di baris tengah, kau di belakang. Kau menatap keluar jendela hampir sepanjang sesi kuliah, seolah dunia di luar jauh lebih penting dari materi yang disampaikan. Dan mungkin memang begitu.

Aku ingat, kau menatapku saat aku presentasi untuk pertama kalinya. Bukan karena tertarik, tapi karena kau tidak setuju dengan argumenkuku.
“Cinta tidak bisa dijelaskan secara rasional,” katamu waktu itu.
Aku menjawab, “Semua yang kita lakukan bisa ditelusuri sebabnya. Termasuk jatuh cinta.”

Kau tersenyum sinis.
“Ada hal-hal yang lebih dalam dari sebab. Ada yang disebut takdir.”

Itu kali pertama aku mendengar kata “takdir” diucapkan dengan nada setegas itu.
Dan entah kenapa, aku jatuh cinta pada cara kau mempercayai sesuatu yang tak bisa dijelaskan.


3. Hujan di Malam Terakhir

Aku masih bisa mengingat setiap detail malam itu.
Langit hitam, udara lembab, dan lampu di teras rumah kontrakanmu yang berkelap-kelip karena kabelnya longgar.
Kau duduk di tangga, rokok di tangan kiri, matamu merah tapi bukan karena asap.

“Kita akan baik-baik saja,” katamu.
Aku mengangguk. “Aku tahu.”
Tapi sebenarnya tidak. Tidak ada yang baik-baik saja malam itu. Kita hanya sedang pura-pura kuat di hadapan satu sama lain.

Kau akan berangkat ke luar kota, pekerjaan baru. Aku tahu alasan sebenarnya bukan karier, tapi jarak. Kita sedang tumbuh ke arah yang berbeda, dan cinta kita tidak cukup besar untuk menampung ambisi masing-masing.

Aku tidak menangis waktu itu. Tapi setelah kau pergi, setiap suara hujan terasa seperti pengakuan yang tertunda.


4. Surat yang Tidak Pernah Sampai

Beberapa bulan kemudian aku mencoba menulis surat untukmu.
Aku ingin mengirimkannya, tapi tidak tahu ke mana.

“Kau tahu, cinta tidak pernah mati. Ia hanya berpindah bentuk. Kadang menjadi doa, kadang menjadi kesunyian yang kuterima tanpa perlawanan.”

“Aku menyesal bukan karena kehilanganmu, tapi karena kita berhenti bicara sebelum benar-benar selesai.”

Surat itu kusimpan di draft email, tanpa alamat tujuan.
Setiap kali aku membuka folder itu, aku menambahkan satu kalimat baru. Sekarang jumlahnya sudah puluhan, mungkin ratusan. Semua tidak terkirim.

Mungkin karena aku tahu, mengirimkannya tidak akan mengubah apa pun.


5. Waktu dan Luka

Tiga tahun berlalu. Aku pindah pekerjaan, pindah apartemen, bahkan mengganti nomor ponsel. Tapi entah kenapa, namamu tidak pernah benar-benar hilang.
Kadang muncul di sela mimpi, kadang di percakapan rekan kerja yang tanpa sadar menyebutkan sesuatu yang mengingatkanku padamu.

Ada satu waktu, aku sedang menulis laporan untuk Gudang4D, dan di kolom catatan aku menulis:
“Semua data bisa dianalisis, kecuali perasaan.”
Aku tertawa sendiri setelah sadar.
Lucu sekali — aku masih menulis tentangmu di tengah spreadsheet dan angka-angka.


6. Jika Waktu Bisa Mundur

Andai waktu bisa mundur, aku tidak akan mencoba menahammu. Aku akan membiarkanmu pergi dengan lebih tenang, dengan lebih banyak doa daripada pertanyaan.

Aku tahu sekarang, cinta yang matang bukan tentang siapa yang tetap tinggal, tapi siapa yang bisa merelakan dengan ikhlas.
Cinta yang sesungguhnya tidak butuh pembuktian besar — ia cukup hadir, bahkan ketika jarak dan waktu tak lagi berpihak.

Aku pernah berpikir, cinta kita gagal. Tapi sekarang aku tahu, tidak semua yang berakhir adalah kegagalan.
Beberapa cinta memang hanya datang untuk mengajarkan kita bagaimana caranya bertahan hidup setelah kehilangan.


7. Bayangan di Tengah Keramaian

Beberapa bulan lalu aku melihat seseorang di stasiun, mengenakan jaket abu-abu dan ransel hitam. Dari belakang, ia tampak seperti kau.
Aku sempat mengejarnya, tapi saat orang itu menoleh, wajahnya berbeda.
Namun anehnya, aku tidak kecewa. Aku justru merasa lega.

Baca Juga: Saat rasa menemukan waktu, cinta yang tak terduga, frekuensi yang masih mencarimu

Mungkin karena akhirnya aku sadar, yang kucari bukan lagi dirimu, tapi bagian diriku yang pernah bersamamu.


8. Setelah Semua Berlalu

Sekarang aku hidup dengan lebih sederhana.
Bangun pagi, membuat kopi, bekerja, membaca buku sebelum tidur. Tidak ada drama, tidak ada tangisan. Tapi di antara kesunyian, selalu ada satu ruang kecil yang masih menyimpan kenanganmu — bukan sebagai luka, melainkan sebagai tanda bahwa aku pernah mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh.

Dan mungkin, itu sudah cukup.


9. Epilog: Tentang Cinta dan Waktu

Kita sering mengira cinta itu seperti film — ada awal, konflik, klimaks, lalu penutup yang indah.
Padahal, cinta sejati lebih mirip catatan harian: tidak selalu runtut, kadang membosankan, tapi selalu jujur.

Aku tidak tahu di mana kau sekarang.
Mungkin di kota lain, bersama seseorang yang membuatmu tertawa seperti dulu.
Aku tidak marah. Tidak iri. Tidak menyesal.

Aku hanya berharap, ketika kau menatap langit malam yang sama, kau tahu bahwa di suatu tempat, ada seseorang yang pernah mencintaimu dengan seluruh ketidaksempurnaannya — dan masih menyimpan rasa itu sebagai bagian dari perjalanan menjadi manusia yang utuh.


on October 28, 2025 by pecinta handal |