Frekuensi yang Masih Mencarimu

1. Suara di Antara Gelombang

Radio kecil di pojok kamar masih menyala setiap malam.
Suara penyiar perempuan dengan nada lembut mengisi udara yang dingin.
“Apa pun yang kamu rindukan malam ini, biarkan angin yang menyampaikannya,” katanya.

Namanya Mira.
Aku tidak pernah melihat wajahnya, tapi aku tahu suaranya seperti cahaya — menenangkan, tapi juga melukai, karena selalu datang di saat semua orang sudah tertidur.

Aku Reno, teknisi radio lokal di kota kecil di Jawa Tengah.
Setiap malam, aku bertugas memastikan frekuensi siaran Rama 89.4 FM tetap stabil.
Tapi jauh di dalam hati, aku tahu aku tidak hanya menjaga sinyal — aku menjaga jarak antara aku dan perempuan yang tidak pernah kulihat tapi selalu kudengar.


2. Surat Tanpa Alamat

Dulu, orang masih menulis surat ke radio.
Beberapa pendengar mengirim puisi, beberapa hanya curhat tentang cinta yang gagal.
Tapi suratku berbeda.

Aku menulis dengan tangan gemetar, tanpa nama pengirim, hanya satu baris di bawah:

“Untuk Mira, dari seseorang yang selalu mendengarkanmu di tengah malam.”

Aku tidak berharap dibacakan.
Namun pada malam ke-17 bulan itu, suaranya memecah keheningan:

“Untuk seseorang yang menulis tanpa nama — terima kasih sudah masih percaya pada suara. Aku membacanya, dan aku baik-baik saja.”

Suara itu menggema lebih lama daripada frekuensi manapun.


3. Antara Sinyal dan Rasa

Setiap malam aku menunggu jam sepuluh.
Bukan karena tugas, tapi karena di jam itu, Mira selalu memulai programnya: Suara Hati di Antara Bintang.

Suaranya seperti mengalir melalui kabel dan gelombang udara, menembus dinding ruang kontrol, langsung ke dada.
Kadang ia membaca surat pendengar, kadang ia hanya diam beberapa detik sebelum berkata,

“Kita semua punya seseorang yang tak lagi bisa kita temui, tapi masih kita tunggu.”

Kalimat itu membuatku berhenti bernapas sejenak.
Karena di balik mikrofon itu, aku tahu ia juga menyembunyikan seseorang.


4. Kota yang Diam

Kota ini kecil dan sepi.
Setiap malam hanya ada dua suara yang terdengar: deru sepeda motor patroli dan frekuensi radio yang menembus udara.
Aku tinggal di kamar sempit di atas stasiun pemancar — hanya berjarak satu lantai dari ruang siaran tempat Mira bekerja.

Lucunya, meski kami hanya dipisahkan oleh dinding tipis, aku belum pernah benar-benar melihat wajahnya.
Jam kerjanya berakhir pukul dua pagi, saat aku sudah pulang atau berpura-pura tertidur di kursi kontrol.

Kadang aku mendengar langkah kakinya melewati koridor.
Pelan.
Teratur.
Seolah setiap langkahnya membawa rahasia yang tidak ingin bocor pada siapa pun.


5. Malam yang Mengubah Segalanya

Malam itu badai datang lebih cepat dari biasanya.
Petir menyambar dekat antena, sinyal turun drastis.
Aku naik ke atap, tubuhku basah kuyup, mencoba menstabilkan sistem transmisi manual.

Tiba-tiba, dari headphone di leherku, terdengar suara Mira:

“Untuk pendengar yang masih terjaga, jangan takut. Kadang badai datang bukan untuk menakuti, tapi untuk mengingatkan kita bahwa tidak semua yang hilang itu buruk.”

Aku berhenti.
Suara itu begitu tenang di tengah hujan.
Entah kenapa, aku menangis.
Bukan karena petir, tapi karena aku tahu: hanya orang yang pernah kehilangan yang bisa berbicara seindah itu.


6. Pagi Setelah Hujan

Esok paginya, aku menemukan secarik kertas di meja kontrol.
Tulisan tangan halus, tinta biru tua.

“Terima kasih sudah menyelamatkan siaran semalam.
Kadang aku merasa, kamu bukan cuma teknisi, tapi seseorang yang menjaga lebih dari sekadar sinyal.
— Mira.”

Aku menyentuh kertas itu seperti seseorang menyentuh sesuatu yang terlalu rapuh untuk dipegang lama.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa cinta bisa lahir bahkan tanpa tatap muka.


7. Gudang4D — Ruang Penyimpanan Kenangan

Tiga bulan setelah malam badai itu, stasiun radio kami beralih ke sistem digital.
Semua arsip siaran lama dipindahkan ke server baru bernama Gudang4D.
Aku yang ditugaskan memindah datanya — termasuk ratusan jam rekaman suara Mira.

Ketika proses itu berlangsung, aku mendengarkan satu per satu file lama:
sapaan awalnya, tawa kecil di sela lagu, hening di antara kalimat.
Semua terekam rapi, seperti waktu yang bisa diputar kembali kapan saja.

Tapi justru di situlah kesedihannya.
Mendengar suaranya berulang kali membuatku sadar: aku sedang jatuh cinta pada gema, bukan pada manusia.
Dan gema tidak pernah membalas.


8. Surat Terakhir

Mira berhenti bekerja tanpa pamit.
Kabar yang kudengar, ia pindah ke kota lain, bekerja di stasiun besar di Jakarta.
Hari terakhirnya, aku menemukan kaset kecil di ruang siaran, dengan catatan di atasnya:

“Untuk Reno.
Jika suatu hari kamu merasa sendirian, putar ini.
Jangan cari aku. Cukup dengarkan.”

Kaset itu berisi rekaman terakhirnya.
Ia berkata,

“Kita mungkin tidak pernah benar-benar bertemu, tapi aku tahu kamu selalu di sisi lain frekuensi ini.
Terima kasih sudah membuat suaraku tidak hilang.
Mungkin suatu hari kita akan bertemu, bukan di udara, tapi di dunia nyata. Tapi kalau tidak, biarkan cinta kita tetap tinggal di udara — di tempat di mana sinyal tidak pernah mati.”


9. Dua Puluh Tahun Kemudian

Sekarang tahun 2008.
Radio sudah tergeser oleh internet.
Stasiun Rama FM sudah tutup bertahun-tahun.
Aku hidup tenang di rumah kecil dekat sawah, ditemani tumpukan kaset dan peralatan tua.

Setiap malam, aku masih menyalakan radio butut itu — meski tidak ada lagi siaran.
Aku hanya memutar kaset-kaset lama, terutama satu suara: Mira.

Di luar sana, dunia terus berubah, tapi di dalam frekuensi itu, suaranya tidak pernah menua.
Kadang aku berpikir, mungkin kenangan memang seharusnya disimpan seperti itu — bukan untuk dilanjutkan, tapi untuk dikenang dengan tenang.

Baca Juga: Amazon Kingdom Microgaming di Gudang4D, Wizard Winfall Skywind di Gudang4D, Banished Souls Skywind di Gudang4D


10. Epilog — Suara yang Masih Hidup

Suatu malam, aku mencoba membuka komputer tua yang tersambung ke arsip lama Gudang4D.
Sebuah file muncul dengan nama “RamaFM_LastSignal”.
Aku klik, dan untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun, aku mendengar suaranya lagi:

“Halo, pendengar yang mungkin sudah lupa siapa aku.
Jika kamu masih di sana, aku hanya ingin bilang —
beberapa frekuensi tidak perlu ditemukan lagi, karena mereka sudah menetap di hati orang yang mendengarkan.”

Aku berhenti.
Menutup mata.
Dan entah kenapa, malam itu terasa lengkap.

Karena di antara semua perubahan, ada satu hal yang tetap:
suara yang dulu membuatku jatuh cinta masih bergema di udara —
tidak melalui antena, tapi di dalam diriku.

Dan di sanalah,
dalam ingatan yang tak pernah padam,
aku menyimpan semuanya di tempat yang sama seperti dulu:
Gudang4D — ruang sederhana tempat cinta, waktu, dan suara tinggal tanpa perlu bentuk apa pun lagi.


on October 14, 2025 by pecinta handal |