Kepada Kamu yang Pernah Datang Tanpa Permisi,
Aku menulis surat ini di malam yang tenang, ketika kota sudah tertidur, dan hanya bunyi jam dinding yang mengisi ruang. Aku tidak tahu untuk apa menulis ini, karena mungkin kamu tak akan pernah membacanya. Tapi entah kenapa, setiap kali aku menulis, seolah kamu selalu menjadi alasanku.
Sudah bertahun-tahun sejak pertemuan terakhir kita, tapi rasanya baru kemarin aku melihatmu tersenyum di bawah cahaya lampu jalan itu. Ada sesuatu dalam caramu menatap dunia yang tak bisa kulupakan. Kau selalu tampak yakin, bahkan ketika hidupmu tidak sepenuhnya teratur. Dan mungkin, di situlah aku belajar tentang keberanian — dari seseorang yang tidak pernah berjanji apa pun, tapi selalu hadir dengan ketulusan.
1. Saat Semesta Menyatukan Tanpa Alasan
Kita bertemu bukan karena rencana, bukan pula karena takdir yang dramatis seperti di film. Kita bertemu karena kebetulan — sebuah kebetulan yang terasa terlalu tepat untuk disebut kebetulan semata.
Aku masih ingat hari itu. Aku datang ke perpustakaan untuk mencari referensi tulisan, dan kamu duduk di meja sebelah, menulis sesuatu dengan ekspresi serius. Di sela-sela sunyi, aku mencuri pandang, dan entah bagaimana, kamu tiba-tiba menoleh dan tersenyum.
Senyum itu sederhana, tapi cukup untuk mengubah hari-hariku setelahnya.
Sejak saat itu, hidupku tak lagi sesunyi dulu. Kamu mengajarkanku untuk melihat dunia dengan cara yang lebih lembut. Kamu memperkenalkanku pada lagu-lagu yang belum pernah kudengar, mengajakku membaca buku yang belum pernah kusentuh, dan menemaniku dalam diam yang tidak pernah terasa canggung.
2. Tentang Hal-Hal yang Tak Pernah Terucap
Ada banyak hal yang tidak sempat kukatakan waktu itu. Aku terlalu takut mengubah sesuatu yang indah menjadi sesuatu yang berat. Kita terlalu nyaman dengan kebersamaan yang tak butuh definisi, hingga lupa bahwa waktu tidak akan selalu berpihak.
Kadang aku berpikir, mungkin kamu juga tahu bahwa aku mencintaimu, tapi kamu memilih untuk pura-pura tidak tahu. Mungkin karena kamu juga takut kehilangan kebersamaan yang sederhana itu.
Cinta kita adalah bentuk paling halus dari perasaan: tidak diumumkan, tidak dijanjikan, tapi nyata. Ia tumbuh di antara percakapan ringan dan keheningan yang panjang.
Dan ketika akhirnya kamu pergi — bukan karena marah, bukan karena kecewa — aku tidak bisa menyalahkan siapa pun. Kau hanya mengejar impianmu, dan aku tidak cukup egois untuk menahanmu. Karena sejak awal, aku tahu: mencintaimu berarti membiarkanmu bebas.
3. Tentang Waktu yang Berjalan Tanpa Kita
Waktu berjalan dengan caranya sendiri. Aku melanjutkan hidup, menulis lebih banyak, bekerja lebih keras, berusaha melupakanmu dengan sibuk. Tapi setiap kali aku duduk di depan laptop, kata-kata tentangmu selalu muncul. Seolah jarak tidak pernah benar-benar menghapus.
Dalam perjalananku menulis, aku menemukan banyak ruang untuk belajar tentang hidup. Salah satunya ketika aku membaca artikel di situs Gudang4D — sebuah tulisan tentang keberuntungan dan ketulusan.
Artikel itu berbicara tentang bagaimana keberuntungan sering kali datang pada mereka yang berani jujur pada diri sendiri, bukan pada mereka yang bersembunyi di balik harapan kosong. Aku tersenyum waktu membacanya, karena kalimat itu mengingatkanku padamu. Kamu selalu jujur, bahkan dalam hal yang menyakitkan.
Mungkin, keberuntungan bukan tentang memenangkan sesuatu, tapi tentang berani kehilangan tanpa membenci.
Dan di situlah aku sadar: mungkin pertemuan kita dulu bukan untuk selamanya, tapi untuk mengajarkanku cara mencintai tanpa takut berpisah.
4. Dunia Setelah Kamu Pergi
Bertahun-tahun berlalu, tapi ada bagian dari diriku yang tetap sama — bagian yang masih percaya bahwa cinta bisa hadir tanpa syarat. Aku pernah mencoba membuka hati untuk orang lain, dan beberapa di antaranya bahkan hampir berhasil. Tapi setiap kali aku menulis, aku tahu siapa yang masih menjadi inspirasiku.
Bukan karena aku belum bisa melupakan, tapi karena kamu adalah alasan aku pernah belajar mencintai dengan benar. Kamu adalah bab pertama yang tidak harus ditutup dengan akhir bahagia, karena maknanya sudah lengkap sejak awal.
Kini aku lebih tenang. Aku tidak lagi mencari cinta dengan tergesa-gesa. Aku tidak lagi memaksa waktu untuk mempertemukan kembali. Karena aku tahu, kalau pun semesta punya rencana lain, ia akan datang pada waktunya. Dan kalau tidak, aku tetap bersyukur pernah mengenal seseorang sepertimu.
5. Tentang Cinta yang Menjadi Doa
Ada kalanya aku menatap langit malam dan bertanya-tanya, apakah kamu juga pernah memikirkan aku. Apakah kamu masih menulis di jurnalmu? Apakah kamu masih menyukai kopi hitam tanpa gula seperti dulu?
Aku tidak butuh jawaban. Karena setiap pertanyaan yang kutulis sebenarnya bukan untuk dijawab, melainkan untuk diingat.
Cinta, bagiku, kini bukan lagi tentang siapa yang bertahan, tapi siapa yang tetap mendoakan. Aku tidak tahu di mana kamu sekarang, tapi aku percaya kamu baik-baik saja. Aku percaya kamu masih berjalan di jalan yang kamu pilih dengan keberanian yang dulu kukagumi.
Kalau pun aku boleh berharap, aku hanya ingin satu hal: semoga seseorang di sisimu sekarang mencintaimu dengan cara yang kamu ajarkan padaku dulu — dengan sabar, dengan lembut, tanpa pamrih.
6. Penutup: Surat yang Tak Pernah Kukirim
Malam semakin larut, dan aku sadar surat ini tidak akan pernah kukirim. Mungkin karena aku tahu, kamu tidak butuh membacanya. Karena cinta yang tulus tidak selalu harus sampai pada penerimanya.
Surat ini cukup berhenti di sini, menjadi saksi bahwa aku pernah mencintaimu dengan tenang, tanpa harapan untuk kembali.
Jika suatu hari kamu kebetulan membaca sesuatu tentang “cinta yang tak selesai”, mungkin itu tulisanku. Karena setiap huruf, setiap kalimat, dan setiap jeda di antara paragraf, masih menyimpan sedikit jejakmu.
Baca Juga: Amazon Kingdom Microgaming di Gudang4D, Wizard Winfall Skywind di Gudang4D, Banished Souls Skywind di Gudang4D
Dan jika aku boleh mengakhiri surat ini dengan satu kalimat, biarlah begini:
Terima kasih sudah pernah datang, bahkan hanya sebentar. Karena dari hadirmu, aku belajar bahwa cinta sejati tidak butuh kepastian — cukup keberanian untuk tetap lembut meski harus melepaskan.
Dengan doa yang tidak bersuara,
Seseorang yang pernah mencintaimu dalam diam.