Aku bertemu dengan Keira pada tahun ketika hidupku penuh kebisingan, tetapi hatiku sunyi. Kota ini terlalu ramai—jalan yang tidak pernah sepi, gedung yang terus meninggi, dan manusia-manusia yang bergerak begitu cepat seakan tidak pernah punya waktu untuk berhenti dan bertanya pada dirinya sendiri apakah ia baik-baik saja.
Aku bekerja di lantai sembilan belas sebuah gedung kaca yang menghadap ke jalan raya utama. Hari-hariku dipenuhi angka, rapat, suara keyboard, dan rencana-rencana yang harus selesai sebelum tenggat waktu menutup napas. Tidak ada yang salah dengan hidupku. Namun tidak ada pula yang benar-benar hidup di dalamnya.
Keira masuk ke dalam ceritaku begitu saja. Tidak ada peristiwa dramatis, tidak ada momen sinematik yang pantas disimpan dalam album kenangan. Hanya sebuah pertemuan biasa di ruang kopi kantor, ketika aku sedang menunggu mesin kopi berhenti berdengung dan ia berdiri di sampingku, membuka bungkus roti kecil yang ia bawa sendiri.
“Kamu suka kopi yang pahit atau yang manis?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menoleh. “Pahit,” jawabku. “Manis cuma cocok buat hari yang benar-benar buruk.”
Keira tertawa kecil. Bukan tawa yang berusaha terdengar menarik, tapi tawa yang lahir dari tubuh yang tidak lagi keberatan menjadi dirinya sendiri.
“Kalau begitu, kita sama,” katanya.
Percakapan itu sederhana. Tapi entah mengapa, aku masih mengingatnya sampai sekarang.
**
Kami mulai sering bertemu di ruang kopi itu. Kadang aku datang duluan, kadang dia. Tidak ada janji, tidak ada pesan, tetapi semacam ritme yang terbentuk sendiri. Kami berbicara banyak hal: pekerjaan, bus kota yang selalu penuh, trotoar yang tidak nyaman, buku yang sedang ia baca, lagu yang belakangan sering aku dengarkan, dan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak penting tetapi justru membuat kami merasa hidup.
Keira bukan orang yang suka menjelaskan siapa dirinya dengan kata-kata panjang. Namun dari caranya memandang dunia, aku tahu bahwa ia seseorang yang menyimpan banyak hal—kehilangan, harapan, dan mungkin luka yang tidak ingin ia biarkan terlihat.
Suatu sore, ketika kantor sudah mulai sepi dan lampu-lampu kota menyala perlahan, Keira berkata pelan:
“Aku tidak terlalu pandai menjaga orang. Kadang aku menjauh ketika aku takut. Kalau aku melakukan itu padamu, anggap saja aku sedang menata napas. Jangan langsung pergi.”
Aku tidak menjawab. Bukan karena aku tidak ingin, tetapi karena aku tahu kalimat itu bukan permintaan. Itu pengakuan. Dan setiap pengakuan tidak selalu perlu jawaban. Kadang yang dibutuhkan hanya keberadaan seseorang yang mau mendengarkan.
**
Hari-hari berjalan, terasa lebih ringan dari sebelumnya. Bukan karena hidupku berubah, tetapi karena aku tidak lagi menjalaninya sendirian. Keira ada—bukan sebagai tujuan, bukan sebagai jawaban, tetapi sebagai ruang. Ruang di mana aku bisa diam tanpa merasa hampa.
Baca Juga: ketika waktu tak lagi bicara sebuah, cinta yang tak pernah padam kisah, langit yang tak pernah sama kisah cinta
Namun, seperti banyak hal dalam hidup ini, kedekatan tidak selalu hadir tanpa pertanyaan. Ada saat-saat ketika aku mulai bertanya pada diriku sendiri:
Apakah aku jatuh cinta?
Atau aku hanya takut sendirian?
Pertanyaan itu membuatku berhati-hati. Terlalu berhati-hati.
Sampai suatu malam, ketika kami duduk di halte bus setelah makan malam sederhana, Keira mengatakan sesuatu yang membuat waktu seolah berhenti.
“Aku ingin tetap berada di hidupmu. Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi seseorang yang kamu inginkan. Aku takut mengecewakanmu.”
Aku menatapnya. Hujan rintik jatuh perlahan, membasahi trotoar.
“Lalu apa yang kamu inginkan dariku?” tanyaku pelan.
Keira menunduk sebentar, lalu berkata:
“Aku ingin kamu ada.”
Ya. Sesederhana itu. Dan serumit itu.
**
Hubungan kami berjalan tanpa label. Bukan teman, bukan kekasih, bukan juga dua orang asing. Kami berada di ruang abu-abu yang kadang hangat, kadang membingungkan, tapi selalu jujur.
Ada malam ketika Keira datang ke apartemenku hanya untuk duduk di balkon, menatap kota dari ketinggian, lalu pulang tanpa sepatah kata pun tentang apa yang sedang ia rasakan. Ada pagi ketika aku mengirim pesan singkat hanya berisi, “Selamat bekerja,” dan ia membalas dengan tanda titik.
Hubungan kami bukan cerita yang memerlukan publikasi. Ini adalah cerita yang tumbuh diam-diam.
Sampai akhirnya, pada suatu akhir pekan, Keira menghilang. Pesan tidak dibalas. Telepon tidak diangkat. Ia tidak muncul di kantor. Tidak ada kabar.
Aku menunggu. Dan menunggu. Sesuatu di dalam diriku mulai panik, namun aku teringat kalimatnya:
“Kalau aku menjauh, anggap aku sedang menata napas.”
Aku menata napas juga.
Hari ketiga, Keira akhirnya menghubungi.
“Aku di rumah,” tulisnya singkat.
Aku mengambil jaket dan pergi tanpa berpikir.
**
Rumah Keira adalah apartemen lantai tujuh di sebuah gedung tua. Lorongnya panjang dan lampunya kuning redup. Ia membukakan pintu tanpa suara, wajahnya pucat, matanya sembab.
“Ada sesuatu yang mengingatkanku pada masa lalu,” katanya sebelum aku bertanya.
Aku duduk di sebelahnya. Tidak menyentuh. Tidak berkata-kata. Hanya duduk.
Lama. Lama sekali.
Hingga Keira bersandar pelan di bahuku.
“Terima kasih karena tidak bertanya,” ucapnya.
Aku hanya menutup mata.
Beberapa hal tidak harus dijelaskan.
Beberapa rasa hanya ingin ditemani.
**
Aku tidak tahu apakah yang kami miliki bisa disebut cinta. Tapi aku tahu sesuatu: cinta tidak selalu datang dengan kepastian, dengan janji, atau dengan definisi.
Kadang cinta hanya hadir sebagai kehadiran yang tetap tinggal.
Aku pernah membaca kalimat yang muncul di sebuah ruang diskusi kecil di internet, entah di mana, mungkin di tempat berbagi cerita seperti gudang4d, yang mengatakan:
Cinta yang tidak dipaksakan akan menemukan bentuknya sendiri.
Dan mungkin itulah yang sedang terjadi.
Cinta kami tidak tergesa-gesa.
Tidak perlu diumumkan.
Tidak perlu diberi nama.
Kami hanya berjalan. Bersama. Pada kecepatan yang kami mampu.
Jika suatu hari Keira tetap tinggal, maka itulah jawabannya.
Jika suatu hari ia memilih pergi, maka semua yang pernah kami bagi tetap nyata.
Karena tidak semua cinta diciptakan untuk dimiliki.
Tapi setiap cinta diciptakan untuk dirasakan.
Dan aku merasakannya.
Sampai kini.
Dan mungkin selamanya.