Ada sebuah desa kecil di tepian sungai yang airnya mengalir pelan, seolah tidak pernah terburu-buru. Desa itu dikelilingi sawah luas yang menghijau pada awal musim tanam, dan menguning keemasan saat panen tiba. Di sanalah kisah ini tumbuh, perlahan, tanpa sorak-sorai dan tanpa tepuk tangan. Kisah cinta yang sederhana, namun meninggalkan jejak yang panjang.
Namanya Awan. Seorang pemuda yang tumbuh bersama aroma tanah basah, suara jangkrik yang bernyanyi sepanjang malam, dan langkah hidup yang tenang seperti aliran sungai desa itu sendiri. Awan bukan orang yang banyak bicara. Ia lebih sering menatap langit sore, seperti sedang menunggu sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Lalu ada Rindu. Seorang perempuan yang datang dari kota, memilih tinggal sementara di desa itu karena pekerjaannya sebagai peneliti lingkungan. Rindu memiliki sorot mata yang jernih, dan langkah kaki yang seakan selalu membawa cerita. Setiap kali ia berjalan di pematang sawah, rambut panjangnya bergerak pelan tertiup angin, seperti bayangan yang menyatu dengan alam.
Baca Juga: cahaya di antara bayangan kisah cinta, siluet di antara kabut kisah cinta yang, nada terakhir di panggung senja kisah
Pertemuan mereka terjadi bukan karena rencana, bukan pula karena ajakan siapa-siapa. Mereka bertemu di jembatan kayu kecil yang menjadi penghubung dua sisi desa. Awan sedang duduk di sana, menatap matahari yang mulai turun. Rindu datang sambil membawa buku catatan dan sebotol air, wajahnya sedikit lelah tetapi tetap lembut.
“Kamu sering duduk di sini?” tanya Rindu.
Awan menoleh perlahan. “Ya. Tempat ini paling tenang saat senja.”
“Aku bisa duduk?” tanya Rindu.
Awan mengangguk, dan sejak saat itu, jembatan kayu itu menjadi ruang tanpa kata yang menghubungkan dua dunia: dunia Awan yang sunyi dan dunia Rindu yang penuh cerita.
Hari-hari berlalu. Rindu banyak bercerita tentang kota. Tentang bangunan tinggi yang seolah ingin menyentuh langit. Tentang lampu yang tetap menyala bahkan ketika malam datang. Tentang orang-orang yang berjalan cepat seakan waktu terus mengejar. Awan mendengarkan. Ia tidak menilai, tidak membandingkan. Ia hanya mendengar, dan Rindu merasa dimengerti.
Sementara itu, Awan bercerita tanpa banyak kata. Ceritanya ada dalam caranya melihat matahari pulang, dalam caranya mendengarkan angin, dalam caranya menjaga langkah agar tidak merusak tunas padi. Rindu tidak bertanya banyak. Ia mengamati, dan ia paham bahwa tidak semua cerita harus disampaikan melalui kalimat.
Suatu sore, ketika langit berwarna jingga lembut, Rindu berkata dengan suara lirih, “Kalau aku pergi nanti, kamu akan tetap datang ke jembatan ini?”
Awan menatap matahari yang hampir menyentuh garis perbukitan.
“Sebelum kamu datang, aku selalu ke sini. Setelah kamu datang, aku tetap ke sini. Jadi mungkin... tempat ini bukan tentang siapa yang duduk bersamaku, tetapi tentang apa yang aku rasakan ketika duduk di sini.”
Rindu menunduk. Karena ia tahu jawaban itu mengandung sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kalimat.
Namun, kehidupan tidak selalu mempersilakan kita menetap di satu tempat. Seperti sungai yang terus mengalir, waktu pun memaksa segala sesuatu untuk bergerak.
Rindu mendapat panggilan pekerjaan untuk kembali ke kota. Pekerjaan yang ia cari sejak lama. Kesempatan yang jarang datang dua kali. Ia tidak bisa menolaknya.
Pada malam sebelum Rindu pergi, mereka duduk di jembatan itu lagi. Hanya suara sungai dan jangkrik yang menemani. Tidak ada kalimat puitis yang dihafalkan, tidak ada janji yang dipaksakan, hanya keheningan yang berbicara lebih jujur daripada kata-kata.
“Jika aku kembali suatu hari nanti,” kata Rindu, “menurutmu, apa semuanya akan tetap sama?”
Awan tersenyum kecil. “Tidak ada yang tetap sama. Tapi itu tidak membuat sesuatu jadi hilang. Hanya berubah bentuk.”
Rindu menggenggam tali tasnya. Sesuatu terasa menahan dadanya.
“Kamu akan mengingat aku?” tanyanya.
Awan menjawab pelan, “Namamu sudah menempel pada senja di desa ini. Selama matahari masih turun setiap hari, aku tidak mungkin lupa.”
Malam itu, tidak ada pelukan. Tidak ada air mata. Hanya dua hati yang saling mengerti bahwa cinta kadang tidak perlu memiliki untuk tetap tinggal.
Waktu berlalu. Bulan berganti musim, musim berganti tahun. Sawah kembali menghijau dan menguning berulang kali. Sungai tetap mengalir pelan, tidak pernah terburu-buru.
Rindu menjalani hidup di kota. Ia bekerja keras, membangun karier, bertemu banyak orang, melewati jalan panjang yang ia pilih sendiri. Tapi setiap senja datang, ia selalu berhenti sejenak, menatap langit yang berubah warna, dan hatinya kembali ke jembatan kayu kecil di sebuah desa jauh.
Di sisi lain, Awan tetap tinggal di desa. Ia menjadi guru di sekolah kecil. Ia menanam, memanen, menjaga rumah, dan setiap sore, ia datang ke jembatan itu. Kadang ia duduk sendiri. Kadang ia berbincang dengan angin. Kadang ia hanya menutup mata dan membiarkan kenangan berjalan pelan.
Nama Rindu tetap tinggal di sana.
Namun hidup selalu menawarkan kemungkinan pertemuan yang tidak terduga. Pada suatu musim panen, ketika bulir padi berwarna kuning keemasan, seseorang terlihat berjalan di pematang. Rambutnya tertiup angin, langkahnya pelan, dan matanya mencari sesuatu yang familiar.
Rindu kembali.
Tidak lagi sebagai tamu sementara. Tidak lagi sebagai seseorang yang hanya singgah. Tetapi sebagai seseorang yang akhirnya mengerti bahwa rumah tidak selalu tempat di mana kita berasal, melainkan tempat di mana hati kita pulang.
Awan melihatnya dari kejauhan. Tidak ada keraguan dalam langkahnya. Ia berjalan mendekat, dan Rindu tersenyum kecil, senyum yang pernah ia tinggalkan bertahun-tahun lalu.
“Kamu kembali,” kata Awan.
Rindu mengangguk. “Aku sudah berjalan jauh. Dan ternyata, tempat yang aku cari selama ini ada di jembatan kayu kecil ini.”
Awan mengulurkan tangan. Rindu menyambutnya. Tidak tergesa. Tidak dramatis. Tidak ada kalimat indah yang dibuat-buat. Hanya keheningan yang kembali memeluk mereka.
Di dunia yang penuh cerita, banyak kisah cinta dituliskan untuk menjadi besar, megah, dan penuh sorotan. Namun cinta seperti ini hidup dalam keheningan yang hangat. Cinta yang tumbuh perlahan, tanpa paksaan. Cinta yang tidak berteriak, tetapi menetap.
Di sudut-sudut kehidupan, banyak kisah seperti ini dibagikan, diingat, atau bahkan ditulis ulang. Bahkan kadang ada yang menemukan arti cinta dari cerita sederhana yang beredar di tempat-tempat berbagi kisah seperti gudang4d, di mana kata demi kata menjadi saksi bahwa cinta tidak harus ribut untuk terasa kuat.
Cinta tidak meminta untuk dimiliki segera. Cinta hanya meminta untuk dijaga. Dan kadang, untuk kembali.