Kabut turun tebal di lereng Gunung Lawu pagi itu.
Udara dingin menggigit, dan suara burung hutan terdengar samar.
Alya, perempuan berusia 28 tahun, baru saja tiba di desa kecil tempat ia berencana menenangkan diri.
Setelah kehilangan pekerjaan dan gagal dalam hubungan panjang, ia memutuskan berhenti dari semuanya — meninggalkan kota, meninggalkan hiruk pikuk, meninggalkan dirinya yang lama.
Desa itu sunyi. Tidak ada sinyal, tidak ada internet, hanya suara angin dan aroma kopi dari warung kayu di tepi jalan.
Dan di sanalah ia pertama kali melihat Arka — pria berjaket abu-abu, duduk sendirian sambil menatap kabut di kejauhan.
Pertemuan di Balik Keheningan
Alya masuk ke warung, memesan kopi hitam, dan duduk beberapa kursi darinya.
Arka menoleh, mengangguk singkat, lalu kembali diam.
Mereka tidak berbicara berjam-jam, tapi keheningan itu tidak terasa canggung.
Ada ketenangan aneh yang tumbuh di antara dua jiwa yang sama-sama lelah.
Sampai akhirnya Arka membuka suara.
“Orang kota?” tanyanya.
Alya mengangguk. “Kelihatan banget, ya?”
“Sepatu kamu,” jawab Arka pelan. “Nggak cocok buat jalanan tanah.”
Alya tertawa kecil. “Aku cuma butuh tempat untuk lupa.”
Arka menatapnya, lalu berkata datar, “Kalau mau lupa, jangan datang ke tempat yang tenang. Tenang bikin kita malah ingat semuanya.”
Alya terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi entah mengapa, kalimat itu menancap dalam.
Dua Luka, Satu Tempat
Hari-hari berikutnya, Alya sering melihat Arka di tempat yang sama.
Kadang di warung, kadang di tepi jurang, memandangi lembah berkabut dengan wajah yang sulit dibaca.
Lama-lama, mereka mulai berbicara lebih banyak. Tentang hujan, tentang kopi, tentang hidup.
Namun tidak pernah tentang masa lalu.
Sampai suatu sore, Arka berkata lirih, “Aku dulu fotografer. Tapi aku berhenti.”
“Kenapa?” tanya Alya.
“Aku kehilangan orang yang selalu ada di setiap foto.”
Alya hanya bisa diam. Ia tahu rasa itu — kehilangan yang tidak bisa dijelaskan, hanya dirasakan.
Sejak hari itu, mereka menjadi semacam pelarian satu sama lain.
Tidak ada status, tidak ada kepastian. Hanya dua orang asing yang saling menemani di antara kabut.
Gudang Kenangan
Suatu malam, hujan deras mengguyur desa. Alya berteduh di rumah kayu kecil milik Arka.
Di sana, ia melihat banyak foto tergantung di dinding — lanskap gunung, kabut, dan siluet seseorang yang tidak pernah menatap kamera.
“Itu dia?” tanya Alya pelan.
Arka hanya mengangguk. “Dulu aku pikir cinta bisa disimpan di foto. Tapi ternyata kenangan juga bisa jadi beban.”
Alya berjalan mendekat, menatap foto-foto itu satu per satu.
“Aku juga punya banyak kenangan,” katanya. “Aku simpan di blog bernama Gudang4D. Tapi kadang aku ingin hapus semuanya.”
“Kenapa?”
“Karena yang aku tulis bukan bahagia, tapi luka.”
Arka tersenyum tipis. “Mungkin Gudang4D bukan tempat untuk menyimpan bahagia atau luka. Mungkin itu tempat untuk menyimpan diri kita sendiri.”
Malam itu mereka berbincang lama. Tentang kehilangan, tentang kesalahan, tentang ketakutan untuk memulai lagi.
Dan di sela percakapan, ada sesuatu yang pelan-pelan tumbuh.
Bukan cinta dalam arti klasik, tapi rasa saling mengerti yang begitu tulus.
Saat Kabut Menghilang
Beberapa minggu kemudian, matahari akhirnya menembus kabut pagi.
Arka mengajak Alya ke puncak bukit tempat ia biasa memotret.
“Dulu aku selalu menunggu kabut hilang untuk dapat foto terbaik,” katanya.
“Sekarang?” tanya Alya.
“Sekarang aku sadar, keindahan justru ada di saat kabut masih menutup segalanya. Karena di situ, kita belajar percaya pada yang tidak terlihat.”
Alya tersenyum. “Kayak cinta, ya?”
Arka menoleh. “Kayak kamu.”
Untuk pertama kalinya, Alya tidak merasa ingin lari dari perasaan itu.
Ia tidak tahu apakah mereka akan bersama selamanya, tapi ia tahu satu hal — kali ini, ia tidak ingin melupakan apa pun.
Cinta yang Menemukan Jalan Pulang
Beberapa bulan kemudian, Alya kembali ke kota. Tapi hidupnya tidak lagi sama.
Ia menulis kembali di blog Gudang4D, kali ini dengan nada berbeda.
Bukan tentang kehilangan, tapi tentang keberanian menemukan diri sendiri di antara kabut.
Tulisan terakhirnya berbunyi:
“Kadang cinta tidak datang untuk menetap. Ia datang untuk menunjukkan jalan pulang ke diri kita sendiri.”
Dan di akhir tulisan itu, ada satu kalimat pendek:
“Untuk Arka — siluet yang membuat kabut tak lagi menakutkan.”
Pelajaran dari Cinta yang Tenang
Cinta tidak selalu harus berteriak atau berapi-api.
Kadang, cinta hadir dalam bentuk keheningan — dua orang yang duduk berdampingan tanpa kata, tapi tahu mereka saling menguatkan.
Baca Juga: Catatan harian tentang kamu yang tak selesai, surat-surat yang tak pernah selesai, antara langit dan laut
Alya dan Arka menemukan bahwa cinta sejati bukan tentang siapa yang membuat kita lupa, tapi siapa yang membuat kita berani mengingat tanpa takut lagi.
Dan seperti nama Gudang4D, mereka menyimpan kisah itu sebagai empat hal abadi dalam hidup: Doa, Duka, Damai, dan Diri.