Hujan turun pelan sore itu. Bukan hujan yang deras dan memaksa orang berlindung, melainkan hujan yang jatuh rapi seperti seseorang yang sedang bercerita perlahan. Di balik jendela kaca sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota, seorang perempuan duduk sendirian, menatap jalan yang mulai basah. Namanya Mira.
Mira bukan tipe yang suka menunggu. Ia terbiasa bergerak cepat, bekerja dengan efisien, memutuskan sesuatu tanpa banyak pertimbangan yang berlarut. Namun sore itu, ia menunggu. Menunggu seseorang yang baru saja hadir dalam hidupnya beberapa minggu lalu, tetapi entah mengapa terasa seolah sudah lama saling mengenal.
Namanya Ardan.
Pertemuan pertama mereka terjadi bukan karena rencana. Mira yang kelelahan setelah bekerja sepanjang hari memilih berhenti sebentar di kafe itu untuk sekadar beristirahat dan membiarkan kepalanya kosong. Di meja sebelahnya, Ardan duduk sambil menuliskan sesuatu di buku kecil, tampak begitu fokus seakan dunia hanya terdiri dari dirinya dan kertas di hadapannya. Suara hujan, aroma kopi, dan senyap yang nyaman membuat keduanya berada dalam suasana yang sama, namun tidak saling bertegur sapa.
Baca Juga: satu surat untuk langit kisah cinta, bintang terakhir di langit kota cerita, suara dari balik radio tua cinta yang
Hingga seorang pelayan datang dan menumpahkan sedikit air ke meja Mira. Tidak banyak, tapi cukup membuat suasana kaget kecil.
“Maaf, Kak, aku benar-benar nggak sengaja,” ujar pelayan itu gugup.
Sebelum Mira sempat menjawab, Ardan yang mendengar dari meja sebelah menawarkan tisu dan senyum yang tenang.
“Tidak apa-apa. Kadang sesuatu yang tidak direncanakan justru membawa cerita baru,” katanya.
Kalimat itu, sederhana tetapi meninggalkan bekas. Mira hanya tersenyum dan berterima kasih. Namun ketika ia pulang malam itu, kalimat itu terus terngiang.
Lalu sore ini, pertemuan kedua terjadi. Kali ini mereka janjian.
Ardan datang dengan langkah perlahan, sedikit basah karena hujan. Rambutnya menempel di dahinya, dan jaketnya mengilap karena air yang menempel. Namun sorot matanya tetap sama: tenang, hangat, dan tanpa banyak niat untuk mengubah siapa pun, termasuk Mira.
“Maaf terlambat. Di jalan hujannya mendadak,” ucapnya.
Mira menggeleng pelan. “Aku tidak keberatan menunggu. Kadang menunggu juga memberi waktu untuk mengerti sesuatu.”
Ardan duduk, dan percakapan mereka mengalir seperti sungai yang menemukan jalannya sendiri. Mereka berbicara tentang banyak hal: buku, pekerjaan, masa kecil, mimpi yang kadang tampak terlalu jauh, dan tentang rasa takut yang tidak pernah benar-benar hilang dari hidup siapa pun.
Mira tahu bahwa perasaannya tumbuh. Bukan karena pujian, bukan karena perhatian yang dibuat-buat, tetapi karena kedamaian yang hadir ketika Ardan ada di dekatnya. Ia bisa diam, dan diam itu tidak terasa canggung. Ia bisa bercerita panjang, dan Ardan mendengarkan tanpa menghakimi. Ia bisa menjadi dirinya sendiri.
Namun cinta, seperti hujan, tidak selalu turun dengan cara yang kita inginkan.
Ardan menyimpan sesuatu. Sesuatu yang tidak ia katakan, sesuatu yang membuat matanya kadang terlihat jauh, seperti orang yang sedang berada di dua tempat berbeda dalam satu waktu. Mira menangkap itu, tapi ia memilih tidak bertanya duluan.
Hingga pada suatu malam, Ardan berkata, “Aku pernah kehilangan seseorang yang sangat aku sayangi.”
Kalimat itu sederhana, tapi getirnya terasa.
“Dia pergi?” tanya Mira pelan.
Ardan mengangguk. “Aku mencintainya, tapi aku terlalu takut kehilangan. Jadi aku menjaga jarak. Aku pikir itu membuat semuanya aman. Tapi ternyata justru itu yang membuat dia merasa tidak diinginkan.”
Mira tidak menjawab. Ia hanya mendengarkan.
“Aku sedang belajar,” lanjut Ardan. “Belajar bahwa mencintai juga berarti mengambil risiko. Risiko sakit, kehilangan, dan kecewa. Tapi mungkin itu juga cara kita mengetahui bahwa cinta itu nyata.”
Sejak malam itu, mereka tidak terburu-buru. Ardan berusaha membuka dirinya sedikit demi sedikit, dan Mira tidak menuntut lebih dari yang mampu ia berikan. Mereka bertemu ketika bisa, saling mengabari, dan berbagi hal-hal kecil yang membangun kedekatan tanpa tekanan.
Suatu hari, ketika mereka berjalan di sebuah taman kota yang mulai ramai dengan bunga, Mira bertanya, “Menurutmu, apa cinta selalu harus memiliki?”
Ardan tersenyum tipis. “Tidak. Tapi cinta yang dijaga dengan penuh kejujuran akan selalu menemukan caranya untuk tetap tinggal, meski bentuknya bisa berubah.”
Mira mengingat perkataan itu hingga sekarang.
Waktu berlalu. Musim hujan hampir berakhir. Kota kembali terang, jalan-jalan tidak lagi selalu basah, dan kafe di sudut itu kini dipenuhi orang-orang yang datang untuk bekerja atau sekadar berbincang. Namun tempat Mira dan Ardan tetap sama: meja dekat jendela, dua cangkir kopi, satu percakapan panjang, dan tatapan mata yang tidak berusaha menyembunyikan apa pun.
Mira percaya bahwa setiap orang memiliki luka. Tetapi ia juga percaya bahwa setiap luka punya kesempatan untuk sembuh ketika diberikan ruang untuk bernapas, bukan dipaksa untuk hilang.
Ardan mulai berani menggenggam tangannya. Tidak setiap waktu, hanya sesekali ketika kata-kata tidak lagi cukup untuk menjelaskan apa yang ia rasakan. Saat itu terjadi, Mira tahu bahwa ia sedang dicintai, bukan hanya dipikirkan.
Suatu sore yang lain, ketika mereka kembali duduk di tempat yang sama, Ardan berkata pelan, “Kalau suatu hari aku takut lagi, tolong ingatkan aku bahwa aku tidak berjalan sendiri.”
Mira menjawab, “Kalau suatu hari aku terluka, tolong tetap berada di sini. Tidak untuk memperbaiki, hanya untuk menemani.”
Dan demikianlah mereka berjalan. Tidak dengan kecepatan yang sama setiap waktu, tidak dengan kepastian bahwa segalanya akan baik-baik saja. Namun mereka berjalan bersama.
Dalam cerita ini, cinta bukan tentang drama besar, bukan tentang janji-janji yang melambung tinggi, dan bukan tentang pelukan di tengah hujan yang berakhir dengan tawa panjang. Cinta di sini adalah tentang keberanian untuk tetap ada. Tentang memilih hadir. Tentang memahami bahwa manusia selalu berubah, dan cinta pun tumbuh mengikuti perubahan itu.
Di dunia yang penuh dengan cerita cinta, dari buku, film, lagu, bahkan di sudut-sudut internet seperti gudang4d, kisah-kisah seperti ini mungkin terdengar sederhana. Tetapi justru kesederhanaan itu yang membuatnya terasa nyata. Karena cinta sejati tidak selalu datang dengan letupan besar. Kadang cinta datang dalam bentuk langkah kecil, tatapan pelan, dan kalimat yang diucapkan tanpa drama:
“Aku di sini.”
Dan selama itu masih bisa diucapkan, cinta belum pernah benar-benar pergi.