Malam selalu menjadi waktu favorit bagi Reno. Bukan karena ia suka kesepian, tapi karena hanya di malam hari dunia terasa jujur.
Sejak istrinya meninggal dua tahun lalu, Reno sering menghabiskan waktu di bengkel kecil peninggalan ayahnya — memperbaiki radio-radio tua.
Suara statis, frekuensi berderak, dan aroma debu logam seakan menjadi musik yang menenangkan luka hatinya.
Namun malam itu berbeda.
Ketika ia memutar salah satu radio tua yang baru diperbaiki, suara lembut muncul di sela dengung frekuensi.
“Selamat malam… untuk siapa pun yang mendengarkan. Ini bukan siaran komersial, hanya suara seseorang yang kesepian.”
Reno tertegun.
Suaranya bening, lembut, tapi ada getir halus di baliknya.
Ia memutar tombol sedikit ke kanan, memastikan frekuensi tak salah tangkap.
“Namaku Mira. Aku biasa siaran tengah malam di saluran ini, bukan untuk banyak orang — mungkin hanya satu, dua, atau bahkan tidak ada sama sekali.”
Suaranya berhenti sebentar, lalu lanjut,
“Kalau kamu mendengarkan, semoga malam ini tidak terlalu berat untukmu.”
Entah kenapa, Reno merasa seperti disapa secara pribadi.
Frekuensi yang Menghubungkan Dua Hati
Sejak malam itu, Reno tak pernah melewatkan siaran Mira.
Ia akan menyalakan radionya setiap pukul sebelas malam, duduk di kursi kayu tua, dan mendengarkan suara perempuan itu membacakan cerita-cerita sederhana — tentang langit, tentang hujan, tentang cinta yang tidak sempat diucapkan.
“Kadang,” kata Mira di salah satu siaran, “kita nggak butuh seseorang untuk menjawab. Kita cuma butuh seseorang yang mau mendengarkan.”
Reno tersenyum sendirian. Ia merasa seperti Mira sedang bicara langsung padanya.
Malam-malam berikutnya, ia mulai menulis surat-surat kecil di buku catatannya — seolah ingin membalas setiap kata Mira. Tapi surat-surat itu tidak pernah dikirim. Ia hanya menyimpannya di laci meja bengkel.
Sampai suatu malam, Mira menyebutkan sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
“Kalau kamu sedang mendengarkan di kota kecil yang punya bengkel radio tua di pinggir jalan raya — aku ingin bilang, terima kasih sudah jadi pendengar setia.”
Reno terdiam.
Bagaimana dia tahu?
Pertemuan yang Tak Disangka
Rasa penasaran membawanya mencari. Ia menghubungi stasiun radio tempat frekuensi itu bersumber, tapi tidak ada catatan penyiar bernama Mira.
“Frekuensi itu udah lama kosong,” kata teknisi radio dengan nada datar. “Udah nggak dipakai sejak 2019.”
Padahal Reno mendengarnya setiap malam.
Ia mulai berpikir mungkin ini hanya halusinasi, atau semacam gema elektromagnetik dari masa lalu. Tapi hatinya menolak percaya. Suara itu terlalu nyata, terlalu hidup.
Malam berikutnya, ia kembali menyalakan radio.
Suara Mira muncul lagi, lembut seperti biasa.
“Kalau kamu masih mendengarkan, jangan takut kehilangan. Kadang kehilangan cuma cara semesta menyembuhkan kita.”
Tanpa sadar, Reno berbicara pada radio itu. “Mira… siapa kamu sebenarnya?”
Dan seolah mendengar, suara di radio menjawab,
“Seseorang yang juga pernah kehilangan, seperti kamu.”
Rahasia di Balik Siaran
Hari berganti minggu, dan Reno semakin terobsesi mencari tahu. Ia melacak setiap sinyal, menulis kode frekuensi, bahkan menelusuri arsip-arsip lama.
Sampai suatu hari, ia menemukan berita lama di surat kabar yang tersimpan di gudang radio tua ayahnya.
Judulnya:
“Penyiar Radio Gudang4D Ditemukan Meninggal Saat Siaran Tengah Malam.”
Reno membeku.
Tanggalnya: 15 Juli 2019.
Nama penyiar: Mira A. Larasati.
Ia membaca berita itu berulang-ulang, mencari logika, tapi yang ia temukan hanyalah kepedihan yang tak terjelaskan.
Suara dari Masa Lalu
Malam itu, Reno menyalakan radio dengan tangan gemetar. Frekuensinya sama.
Suaranya masih ada.
“Reno… kamu akhirnya tahu, ya?”
Tubuhnya kaku. Ia tidak pernah menyebutkan namanya di udara.
“Kamu memperbaiki radio ayahmu. Radio itu dulu sering kupakai saat siaran uji coba. Mungkin itu kenapa aku bisa bicara lagi.”
Air mata Reno jatuh tanpa ia sadari. “Tapi kenapa aku?”
“Karena kamu mendengarkan. Dan karena kamu juga kehilangan seseorang yang kamu cintai. Kita sama.”
Suara itu mulai memudar perlahan, tapi masih sempat berkata,
“Terima kasih sudah membuatku hidup lagi di udara malam. Sekarang, kamu harus belajar hidup juga, Reno. Jangan terus memperbaiki masa lalu. Cinta tidak pernah mati, hanya berubah frekuensi.”
Radio itu kemudian diam. Tak ada suara lagi, hanya desisan angin elektromagnetik.
Langit Baru
Pagi datang. Reno duduk di depan bengkel dengan kopi dingin di tangan. Ia menatap langit — cerah, hangat, dan untuk pertama kalinya, tidak terasa hampa.
Ia menatap radio tua di mejanya, lalu tersenyum.
Baca Juga: Saat rasa menemukan waktu, cinta yang tak terduga, frekuensi yang masih mencarimu
Ia menempelkan catatan kecil di samping radio itu, bertuliskan:
“Untuk Mira — cinta tidak selalu butuh wujud. Kadang cukup jadi suara yang membuat kita percaya hidup masih pantas dijalani.”
Dan sejak hari itu, setiap malam pukul sebelas, Reno menyalakan radionya.
Tidak lagi untuk mendengar, tapi untuk berbicara.
“Selamat malam, Mira. Kalau kamu masih di sana… aku sudah mulai hidup lagi.”
Pelajaran dari Cinta di Udara
Cinta sejati tidak mengenal batas waktu atau ruang. Ia bisa hadir dalam bentuk yang paling tidak terduga — suara di udara, kenangan yang samar, atau bahkan rasa tenang yang datang tanpa alasan.
Gudang4D dalam kisah ini bukan sekadar nama; ia menjadi simbol tempat menyimpan empat hal yang membuat manusia tetap hidup — Doa, Duka, Damai, dan Diri.
Dan di antara semua itu, ada satu hal yang tidak pernah hilang: cinta yang menemukan jalannya, bahkan di antara frekuensi kehidupan dan kematian.