Bintang Terakhir di Langit Kota – Cerita Cinta Tentang Harapan yang Tak Pernah Padam

Kota tidak pernah tidur. Lampu-lampu neon berkedip tanpa henti, jalanan selalu bising, dan langit malam jarang sekali menampakkan bintang.
Namun bagi Dimas, penjaga gedung perkantoran berusia 29 tahun, setiap malam terasa sepi.
Ia duduk di pos jaga lantai dasar, mendengarkan suara mesin pendingin yang berdengung, menatap layar CCTV yang menampilkan ruangan kosong.

Hidupnya sederhana — rumah kontrakan sempit, kopi sachet setiap malam, dan radio tua yang selalu memutar lagu-lagu lawas. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada sesuatu yang hilang: perasaan bahwa ia berarti bagi seseorang.

Hingga suatu malam, lewat radio kecilnya, terdengar suara lembut dari seorang penyiar bernama Lara.

“Untuk kamu yang masih terjaga malam ini… mungkin dunia sedang berat. Tapi percayalah, bahkan di langit kota, selalu ada satu bintang yang menolak padam.”

Dimas terdiam. Suara itu terasa seperti menyentuh ruang kosong di dadanya yang sudah lama ia biarkan kosong.


Awal dari Sebuah Koneksi

Malam berikutnya, ia kembali menyalakan radio pada jam yang sama.
Suara Lara muncul lagi — bercerita tentang kisah-kisah cinta kecil, surat-surat dari pendengar, dan refleksi hidup sederhana yang terasa jujur.

Dimas mulai mengirim pesan ke stasiun radio itu.
Ia tidak pernah menyebut namanya, hanya menulis: “Penjaga malam di gedung beton.”

Setiap kali pesan itu dibacakan oleh Lara, ada kehangatan aneh yang mengalir di dadanya.
Ia tidak tahu kenapa, tapi ia merasa hidupnya mulai berubah — sedikit lebih berarti, sedikit lebih terang.

Suatu malam, Lara membacakan salah satu pesannya di udara.

“Untuk Penjaga Malam — terima kasih sudah tetap mendengarkan. Mungkin kamu tidak sadar, tapi pesanmu juga jadi alasan aku terus siaran setiap malam.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Dimas tersenyum tulus.


Pertemuan yang Tak Terencana

Beberapa bulan berlalu.
Radio tempat Lara bekerja mengadakan acara amal di taman kota. Dimas datang tanpa niat bertemu, hanya ingin tahu seperti apa wajah perempuan yang suaranya menemani kesepiannya setiap malam.

Ia berdiri di antara kerumunan, memegang segelas kopi, ketika suara yang sangat ia kenal terdengar dari atas panggung.

“Selamat malam semuanya. Aku Lara. Terima kasih sudah datang.”

Lara tidak seperti yang Dimas bayangkan. Ia sederhana, rambutnya dikuncir, matanya lembut tapi penuh keyakinan.
Ketika acara berakhir dan orang-orang mulai bubar, Dimas memberanikan diri menghampiri.

“Suaramu lebih hangat kalau didengar langsung,” katanya canggung.

Lara menatapnya sebentar. “Kamu pendengar juga?”

“Iya… mungkin kamu kenal aku dari pesan-pesan malam.”

Lara mengernyit, berpikir. “Penjaga Malam?”

Dimas mengangguk.

Dan seketika itu, senyum Lara merekah. “Akhirnya ketemu juga.”


Cahaya di Tengah Kegelapan

Sejak malam itu, hubungan mereka berlanjut. Tidak ada romansa berlebihan — hanya dua orang yang sama-sama menyembuhkan diri lewat percakapan kecil di tengah malam.

Lara sering datang ke pos jaga membawa kopi dan makanan ringan. Mereka berbicara tentang hal-hal sepele: hujan yang turun, film yang baru dirilis, atau arti mimpi aneh yang Lara alami.
Namun di balik semua itu, tumbuh sesuatu yang lebih dalam — perasaan tenang yang tidak butuh banyak kata.

Suatu malam, Dimas berkata, “Aku dulu pikir cinta itu harus besar, megah, dan berapi-api. Tapi sekarang aku sadar, cinta yang paling tulus justru yang datang pelan-pelan, tanpa suara.”

Lara menatapnya sambil tersenyum. “Seperti sinyal radio, ya. Tidak terlihat, tapi kamu tahu dia selalu ada.”


Ketika Takdir Menguji

Suatu hari, stasiun radio tempat Lara bekerja harus tutup karena masalah keuangan.
Lara kehilangan pekerjaannya, sementara Dimas mencoba menghibur dengan caranya. Ia mengajaknya datang ke atap gedung tempat ia bekerja.

Dari sana, kota terlihat seperti lautan cahaya. Lampu-lampu kendaraan tampak seperti bintang yang bergerak cepat.

“Lihat,” kata Dimas. “Kota ini mungkin tidak punya bintang di langit, tapi aku punya satu di sini.”
Ia menunjuk ke arah Lara.

Lara tertawa pelan. “Gombal.”

“Serius. Kamu cahaya paling nyata di hidupku.”

Untuk pertama kalinya, mereka saling menggenggam tangan. Tidak ada janji besar, hanya keheningan yang penuh makna.


Harapan yang Tak Pernah Padam

Beberapa bulan kemudian, Lara membuka podcast kecil bernama Gudang4D — tempat ia membaca surat dari pendengar dan bercerita tentang cinta-cinta kecil yang membuat hidup berarti.
Dimas menjadi bagian dari tim kecilnya, membantu di balik layar, memastikan suara Lara sampai ke semua orang yang butuh harapan.

Podcast itu tumbuh, ribuan orang mendengarkan, dan banyak yang mengatakan bahwa suara Lara membuat mereka merasa tidak sendirian.

Namun bagi Dimas, itu bukan sekadar proyek. Itu adalah bukti bahwa cinta sejati bisa mengubah kesepian menjadi kekuatan.


Pelajaran dari Langit Kota

Cinta sejati tidak selalu berawal dari pelukan atau tatapan. Kadang, ia dimulai dari suara — dari percakapan kecil yang memberi arti di tengah dunia yang bising.

Dimas dan Lara menemukan bahwa kebahagiaan tidak selalu tentang siapa yang paling terang, tapi siapa yang tetap menyala ketika semua lampu lain padam.

Gudang4D menjadi simbol cinta mereka — tempat di mana empat hal tersimpan abadi: Doa, Duka, Damai, dan Diri.

Dan di langit kota yang penuh cahaya buatan, masih ada satu bintang kecil yang tak pernah padam — bintang yang lahir dari cinta yang sederhana tapi sejati.

Baca Juga: Fragmen cinta di dalam gudang4d, di antara waktu dan cinta, malam yang tidak pernah benar-benar usai

on October 25, 2025 by pecinta handal |