Musim yang Tak Pernah Selesai – Cerita Cinta Tentang Penantian dan Takdir

Hujan pertama di bulan Juni turun perlahan. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat aroma tanah menyeruak di udara sore.
Di sudut kafe kecil dekat taman kota, Raisa duduk sendirian dengan secangkir teh chamomile yang sudah mulai dingin.


Ia menatap ke luar jendela, menunggu seseorang yang mungkin tidak akan datang.

Sudah tiga tahun berlalu sejak Bayu berjanji akan kembali.
Ia pergi mengejar mimpi, meninggalkan kata-kata yang masih terpatri di hati Raisa:

“Kalau kita memang ditakdirkan, musim apa pun akan mempertemukan kita lagi.”

Kalimat itu sederhana. Tapi bagi Raisa, itu cukup untuk menunggu.


Tentang Janji yang Tertunda

Setiap tahun, setiap kali hujan pertama turun, Raisa selalu kembali ke kafe itu. Duduk di tempat yang sama, menatap kursi kosong di seberangnya.
Kadang ia bertanya pada dirinya sendiri, kenapa masih menunggu?
Cinta, katanya, tidak seharusnya sesepihak. Tapi penantian, baginya, bukan sekadar soal cinta — melainkan soal keyakinan.

Di sela kesepiannya, ia menemukan pelarian baru.
Ia mulai menulis puisi, mengisi blog kecil yang diberinya nama Gudang4D, singkatan dari “Gurat Dalam Diri, Duka, dan Doa.”
Setiap tulisan di sana adalah potongan kecil hatinya — doa untuk seseorang yang mungkin tidak lagi membaca.

Dan anehnya, blog itu justru berkembang. Banyak orang membaca, banyak yang mengaku menemukan ketenangan di tulisannya.
Tapi tidak ada yang tahu bahwa setiap kalimat itu ditulis untuk satu orang: Bayu.


Musim Kedua: Pertemuan

Suatu sore di bulan November, kafe itu lebih ramai dari biasanya. Raisa datang lebih awal, membawa laptop untuk menulis.
Ketika ia sedang mengetik, pintu kafe terbuka — dan waktu seolah berhenti sejenak.

Bayu berdiri di sana.
Masih dengan senyum yang sama, tapi wajahnya sedikit lebih lelah, matanya lebih tenang, dan ada sesuatu di sorotnya yang sulit dijelaskan.

“Masih suka teh chamomile?” tanyanya.

Raisa terdiam. Antara ingin marah, menangis, atau tertawa, semuanya bercampur jadi satu.
“Kamu tahu,” katanya pelan, “aku nggak tahu harus nyapain kamu pakai kalimat apa.”

Bayu duduk di seberang, menatapnya dalam. “Kalimat apa pun boleh, asal bukan selamat tinggal.”

Raisa tertawa getir. “Tiga tahun, Bay. Aku bahkan nggak tahu kamu masih hidup atau nggak.”

“Aku juga nggak tahu aku masih punya tempat untuk pulang,” jawab Bayu.


Tentang Luka dan Penjelasan

Bayu bercerita.
Tentang pekerjaannya di luar negeri yang ternyata tidak seindah mimpi. Tentang malam-malam yang dingin tanpa arah, dan tentang rasa bersalah yang terus menghantuinya.
“Setiap kali aku lihat langit, aku ingat janji itu,” katanya. “Tapi aku takut pulang karena takut kamu sudah nggak nunggu.”

Raisa menatapnya lama. “Aku capek nunggu, tapi aku juga nggak bisa berhenti.”

Keheningan menggantung di antara mereka. Hujan turun lagi, seperti ingin menegaskan bahwa waktu memang berputar, tapi perasaan kadang tetap diam di tempat yang sama.

Bayu menatap keluar jendela. “Aku baca tulisan-tulisanmu.”

Raisa menoleh cepat. “Tulisan apa?”

“Gudang4D,” katanya lirih. “Aku tahu itu kamu. Dan aku tahu setiap tulisan itu buat aku.”

Raisa terdiam. Dadanya sesak. “Kalau kamu tahu, kenapa baru sekarang?”

Bayu tersenyum pahit. “Karena aku butuh waktu buat berani merasa layak dicintai lagi.”


Musim Ketiga: Memulai Lagi

Mereka tidak langsung kembali seperti dulu. Tidak ada pelukan dramatis, tidak ada janji manis.
Yang ada hanyalah dua orang yang mencoba belajar ulang — tentang bagaimana caranya percaya lagi.

Bayu mulai membantu Raisa menulis. Ia ikut menata ulang blog Gudang4D menjadi platform inspirasi tentang cinta dan ketabahan.
Mereka menulis bersama, bukan tentang masa lalu, tapi tentang perjalanan untuk menjadi lebih baik.

Sampai suatu hari, Raisa menulis kalimat terakhir di salah satu puisinya:

“Cinta yang benar tidak datang dengan janji, tapi dengan keberanian untuk kembali.”

Bayu membaca kalimat itu, lalu menatap Raisa. “Kalimat itu buat aku?”

Raisa tersenyum lembut. “Buat kita.”

Baca Juga: Saat rasa menemukan waktu, cinta yang tak terduga, frekuensi yang masih mencarimu


Musim Terakhir: Damai

Tahun berganti. Gudang4D menjadi situs populer. Banyak yang datang, bukan hanya untuk membaca, tapi untuk menemukan pengharapan baru.
Raisa dan Bayu tidak lagi berbicara soal “menunggu.” Kini mereka hanya menjalani hari — satu per satu, dengan tenang.

Suatu pagi, di teras rumah kecil mereka, Raisa berkata, “Dulu aku kira cinta itu menunggu.”
Bayu menatapnya sambil menyeruput kopi. “Sekarang kamu kira apa?”
Raisa tersenyum. “Cinta itu pulang.”

Dan langit pagi itu cerah. Tidak ada lagi musim yang perlu ditunggu, karena mereka sudah berada di musim yang sama — musim di mana dua hati akhirnya berhenti mencari, dan mulai hidup.


Pelajaran dari Sebuah Penantian

Cinta tidak diukur dari lamanya menunggu, tapi dari keberanian untuk tetap percaya meski dunia berubah.
Terkadang, yang kita tunggu bukan orangnya, tapi waktu yang tepat untuk saling menemukan kembali.

Gudang4D menjadi saksi perjalanan dua hati yang melewati hujan, panas, dan badai — hanya untuk membuktikan bahwa cinta sejati tidak pernah benar-benar selesai.


on October 25, 2025 by pecinta handal |