Cinta yang Tertinggal di Antara Hujan dan Waktu

Hujan pertama bulan November turun perlahan di sore yang muram. Di sebuah kafe kecil di pinggir kota, Maya duduk sendirian di dekat jendela besar. Cangkir kopinya sudah dingin, tapi ia tidak peduli. Pandangannya kosong, menembus rintik hujan yang menari di luar. Di dalam pikirannya, ada seseorang yang tak juga bisa ia lepaskan — seseorang yang namanya masih berputar dalam setiap hembusan napas.

Namanya Arga.

Dulu, mereka sering datang ke kafe ini. Duduk di meja yang sama, memesan kopi yang sama, bahkan tertawa karena hal-hal kecil yang kini terasa begitu jauh. Cinta mereka tumbuh tanpa banyak rencana, seperti hujan yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Tak pernah dirancang, tapi selalu meninggalkan bekas.


Maya mengenalnya dua tahun lalu di sebuah acara sastra. Arga tampil membacakan puisinya yang berjudul “Langit yang Tak Pernah Sama.” Suaranya tenang, dalam, dan penuh makna. Saat itu, Maya merasa seolah seluruh ruangan berhenti bernafas. Ada sesuatu dalam nada bicara Arga yang membuatnya percaya bahwa cinta bisa sederhana, tapi juga begitu luas.

Usai acara, mereka berbincang. Tentang puisi, tentang kehilangan, tentang rasa takut pada kesepian. Dan entah bagaimana, dari percakapan yang singkat itu, tumbuh sebuah kedekatan yang tak bisa dijelaskan dengan logika.

Hari-hari mereka setelah itu seperti rangkaian fragmen kecil yang membentuk cerita indah. Mereka berjalan tanpa banyak kata, tapi selalu tahu ke mana hati akan berpulang. Arga adalah tempat di mana Maya bisa menjadi dirinya sendiri tanpa perlu berpura-pura kuat.

Namun cinta yang indah sering kali datang dengan ujian. Saat Maya mendapat kesempatan bekerja di luar negeri, Arga tak bisa ikut. Ia masih harus menyelesaikan tanggung jawabnya di kota ini. Mereka sepakat untuk tetap bersama, berjuang lewat jarak dan waktu. Tapi tak ada yang benar-benar siap menghadapi jarak, bukan?


Waktu berjalan. Pesan yang dulu setiap pagi datang kini mulai jarang. Panggilan video yang dulu selalu membuat tawa kini berubah menjadi keheningan yang janggal. Di antara mereka tumbuh sesuatu yang tak terlihat — jarak yang bukan lagi soal kilometer, tapi tentang hati yang tak lagi seirama.

Suatu malam, Maya menulis pesan panjang untuk Arga. Tentang rasa rindunya, tentang ketakutannya kehilangan arah, tentang harapannya agar mereka bisa bertahan. Tapi pesan itu tak pernah dibalas. Hanya tanda centang dua yang tak berubah warna.

Minggu berikutnya, kabar itu datang. Arga pergi — bukan karena ia menyerah pada cinta, tapi karena hidup menuntutnya untuk memilih jalan lain. Ia harus meninggalkan kota untuk merawat ibunya yang sakit di desa. Ia pamit lewat surat yang dikirim lewat teman mereka. Surat itu hanya berisi satu kalimat pendek:
"Maaf, aku harus pergi sebelum kamu sempat kembali. Tapi percayalah, cintaku tak pernah benar-benar pergi."

Sejak saat itu, dunia Maya terasa kosong. Ia melanjutkan hidup, bekerja, tersenyum di depan orang lain, tapi di dalam dirinya ada ruang yang tak bisa diisi siapa pun. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi kenyataan tak semudah itu. Ada cinta yang tak hilang, hanya diam di tempat yang tak bisa dijangkau lagi.


Beberapa tahun kemudian, Maya pulang ke kota itu. Semuanya masih sama — jalan, kafe, bahkan aroma tanah setelah hujan. Tapi orang-orang sudah berbeda. Ia berjalan menyusuri tempat-tempat kenangan mereka, seolah ingin mencari jejak masa lalu yang tersisa.

Ketika melewati toko buku tua di dekat taman, ia melihat papan pengumuman bertuliskan:
“Peluncuran buku puisi karya Arga Pratama — Sabtu, 17.00 WIB.”

Maya terdiam. Rasanya seperti dipukul gelombang ingatan. Arga masih menulis. Ia masih ada.

Hari Sabtu datang dengan langit yang mendung. Maya datang ke acara itu tanpa harapan, hanya ingin melihat dari jauh. Ruangan penuh, tapi ia berdiri di belakang, menyimak Arga membacakan puisinya. Wajahnya tampak lebih dewasa, tapi suaranya tetap sama — tenang, lembut, dan menyentuh.

Salah satu puisinya berjudul “Cinta yang Tertinggal di Antara Hujan.” Setiap baitnya seperti ditulis untuknya. Tentang perpisahan, tentang seseorang yang tak sempat ia peluk terakhir kali, tentang janji yang tak selesai. Air mata Maya menetes tanpa ia sadari.

Setelah acara selesai, Arga berjalan ke arah penonton. Mata mereka bertemu sesaat. Ada jeda panjang sebelum salah satu dari mereka bicara. “Kau datang juga,” kata Arga akhirnya. Maya hanya tersenyum kecil. “Aku hampir tidak percaya kamu masih di sini.”

Mereka berbicara sebentar. Tentang hidup, tentang pilihan, tentang semua hal yang pernah hilang. Tak ada lagi perasaan ingin kembali, hanya rasa syukur karena masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi dalam keadaan yang lebih tenang. Arga bilang, “Cinta itu aneh. Kadang ia tidak hilang, hanya berubah bentuk.”

Maya mengangguk. “Mungkin benar. Kadang cinta hanya perlu tempat baru untuk diam.”

Dan malam itu, mereka berpisah sekali lagi, tapi kali ini tanpa air mata.


Setelah pertemuan itu, Maya pulang ke rumah dan menulis diari. Ia menulis panjang lebar tentang cinta yang datang tanpa rencana, tentang kehilangan yang mengajarkan arti ketulusan, dan tentang bagaimana setiap perpisahan sebenarnya adalah cara semesta mengajari manusia untuk lebih mengenal dirinya sendiri.

Ia menulis, “Cinta tak harus selalu dimiliki. Kadang cukup diingat, agar kita tahu bahwa kita pernah merasa hidup sepenuhnya.”

Sejak hari itu, Maya mulai menulis cerita-cerita pendek tentang cinta. Ia menulis bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk mengabadikan perasaan yang pernah begitu nyata. Dalam setiap tulisannya, ada sedikit bayangan Arga yang tak bisa ia hapus. Tapi ia tidak lagi sedih; justru merasa damai karena akhirnya bisa berdamai dengan kenangan.

Ketika tulisannya mulai dibaca banyak orang, Maya sadar bahwa kisah cintanya bukan hanya miliknya sendiri. Banyak orang di luar sana yang juga pernah kehilangan, pernah mencintai, dan pernah gagal, tapi tetap berani mencoba lagi. Ia menemukan kekuatan baru dalam menulis — kekuatan untuk menyembuhkan.

Di sela-sela riset dan menulis, Maya sering mencari inspirasi dari berbagai sumber. Salah satunya dari situs gudang4d yang sering membagikan kisah menarik tentang kehidupan dan nasib. Baginya, setiap cerita, baik yang berakhir bahagia maupun sedih, selalu punya pelajaran tersendiri. Dan di sanalah, Maya belajar bahwa hidup bukan hanya tentang siapa yang tinggal, tapi juga tentang siapa yang pernah membuat kita berani mencintai.


Beberapa tahun berlalu, Maya menulis buku berjudul “Hujan, Waktu, dan Cinta yang Tertinggal.” Buku itu laris dan mendapat banyak apresiasi. Dalam wawancara, seorang jurnalis bertanya, “Apakah kisah ini benar-benar terjadi?”
Maya tersenyum sebelum menjawab, “Sebagian iya, sebagian tidak. Tapi setiap cinta pasti meninggalkan sesuatu. Entah luka, entah harapan, atau mungkin hanya sebuah nama yang tak pernah benar-benar hilang.”

Ia tidak menyebut nama Arga. Ia tidak perlu. Karena cinta sejati tidak butuh pengakuan. Ia cukup hidup dalam keheningan, dalam setiap tulisan, dalam setiap rintik hujan yang jatuh di jendela sore.

Dan mungkin, di tempat lain, Arga membaca bukunya sambil tersenyum. Karena ia tahu, di antara ribuan kata itu, ada dirinya yang masih tinggal — diam-diam, tapi abadi.

Baca Juga: surat surat yang tak pernah sampai, di antara langit dan laut tentang cinta, cinta di tengah rutinitas cerita


Cinta, seperti hujan, selalu punya caranya sendiri untuk datang dan pergi. Kadang membawa kehangatan, kadang meninggalkan dingin. Tapi satu hal yang pasti, cinta selalu meninggalkan jejak — entah di hati, entah di kenangan, atau di tulisan yang akan hidup selamanya.


on November 04, 2025 by pecinta handal |