1. Awal yang Tak Direncanakan
Senja turun perlahan di atas kota kecil itu. Langit oranye memantul di kaca jendela kedai kopi yang baru direnovasi. Di pojok ruangan, seorang pria duduk sendirian sambil memainkan sendok kecil di dalam cangkirnya. Namanya Nino — tiga puluh dua tahun, berwajah tenang tapi matanya menyimpan banyak cerita.
Ia baru saja kembali setelah tujuh tahun meninggalkan kota ini. Banyak hal berubah: bangunan baru, jalanan lebih ramai, tapi satu hal tetap sama — kenangan yang menempel di setiap sudut jalan.
Kedai itu dulu adalah tempat favoritnya bersama Rani. Tempat di mana mereka pertama kali bertemu, berdebat, tertawa, dan akhirnya saling jatuh cinta. Sekarang, Rani mungkin sudah melupakan semuanya. Setidaknya, itu yang selalu Nino yakinkan pada dirinya.
Tapi nasib punya cara unik untuk menguji hati manusia. Saat pelayan datang membawa pesanan, suara lembut menyapanya dari belakang.
“Nino?”
Ia menoleh pelan. Suara itu masih sama. Rani berdiri di sana — rambut lebih pendek, penampilan lebih dewasa, tapi senyumnya masih seperti dulu.
Waktu berhenti sesaat.
“Rani...” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
Mereka saling diam beberapa detik, lalu tertawa canggung. Dunia di sekitar mereka terus bergerak, tapi keduanya seakan terjebak di masa lalu.
2. Pertemuan yang Tak Diundang
Malam itu mereka berbincang lama. Tentang pekerjaan, keluarga, bahkan hal-hal kecil yang dulu sering mereka perdebatkan. Ternyata Rani sekarang mengelola toko buku di seberang jalan. Sementara Nino baru memulai bisnis kecil di bidang desain interior.
“Lucu ya,” kata Rani sambil menatap ke luar jendela, “tujuh tahun berlalu, tapi entah kenapa rasanya kayak baru kemarin kamu pergi.”
Nino tersenyum getir. “Kalau waktu bisa diulang, mungkin aku nggak akan pergi secepat itu.”
Rani mengangguk pelan. “Tapi kalau kamu nggak pergi, mungkin kita nggak akan belajar apa arti kehilangan.”
Baca Juga: cinta di era notifikasi tentang pesan, sunyi yang menyimpan nama sebuah cerita, di antara pilihan dan kenyataan cinta
Keduanya terdiam. Hujan mulai turun di luar sana, menimbulkan bunyi lembut di atap seng kedai. Dalam hening itu, ada sesuatu yang tak terucapkan. Cinta lama yang belum sepenuhnya padam, tapi juga belum berani dinyalakan kembali.
Setelah malam itu, mereka mulai sering bertemu. Kadang sekadar minum kopi, kadang hanya berjalan di taman tanpa tujuan. Mereka tak lagi membicarakan masa lalu, tapi dari caranya Rani tertawa dan dari cara Nino menatapnya, semua orang tahu — cinta itu masih ada, hanya menunggu waktu.
3. Kenangan yang Belum Selesai
Suatu sore, mereka berdua pergi ke tempat dulu mereka sering memotret matahari terbenam — sebuah bukit kecil di pinggir kota. Angin lembut berhembus, membawa aroma tanah basah. Rani berdiri di tepi, memandangi langit yang mulai berubah warna.
“Aku pikir aku udah selesai sama semua ini,” katanya pelan. “Tapi pas lihat kamu lagi, aku sadar kalau beberapa hal memang nggak pernah benar-benar selesai.”
Nino menatapnya lama. “Aku juga,” ujarnya. “Selama ini aku nyoba melupakan, tapi setiap kali aku lihat senja, aku selalu ingat kamu.”
Mereka tertawa kecil, tapi tawa itu cepat tenggelam oleh keheningan. Ada getaran halus di antara mereka — bukan sekadar nostalgia, tapi juga rasa takut. Takut kalau kali ini pun mereka akan kehilangan lagi.
“Dulu kamu selalu bilang cinta itu harus berani,” kata Rani. “Sekarang, kamu masih percaya itu?”
Nino menarik napas panjang. “Aku masih percaya. Tapi sekarang aku tahu, cinta juga butuh waktu. Kadang, kalau terlalu cepat, malah hancur.”
Langit perlahan gelap. Mereka turun dari bukit sambil berjalan berdampingan, tapi tidak bergandengan tangan. Belum.
4. Luka yang Tersisa
Beberapa minggu kemudian, Rani mendadak sibuk. Pesan Nino jarang dibalas, ajakan bertemu sering ditolak. Nino bingung, tapi ia tak ingin memaksa. Hingga suatu hari, ia datang langsung ke toko buku Rani.
Rani menatapnya dengan wajah lelah. “Maaf, Nino. Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku masih takut kalau semua ini cuma nostalgia. Aku nggak mau jatuh di tempat yang sama dua kali.”
Nino menatapnya serius. “Aku ngerti. Tapi aku datang bukan buat ngulang masa lalu. Aku datang karena aku sadar, rasa yang dulu itu nggak pernah hilang. Aku cuma pengen kita mulai dari awal — bukan dari kenangan, tapi dari hari ini.”
Air mata Rani menetes pelan. Ia tahu, hatinya masih untuk Nino. Tapi di sisi lain, ketakutan masa lalu masih menahannya. Ia tak ingin terluka lagi.
Malam itu, mereka berpisah tanpa kata.
5. Waktu yang Menguji
Hari berganti minggu. Nino mencoba fokus bekerja. Ia membuka kantor kecil, mendesain interior rumah-rumah di sekitar kota. Tapi setiap kali melihat langit senja, ia kembali teringat Rani.
Suatu sore, ia mendapat proyek besar dari seorang klien baru. Saat pertemuan pertama, ia terkejut — klien itu adalah Rani.
“Lucu ya,” kata Rani sambil tertawa pelan. “Kita nggak bisa benar-benar jauh, rupanya.”
Mereka bekerja bersama selama beberapa bulan. Tanpa sadar, kedekatan itu kembali tumbuh, tapi kali ini lebih dewasa, lebih tenang. Tidak ada janji, tidak ada kata cinta, tapi perhatian kecil yang mereka tunjukkan satu sama lain berbicara lebih banyak dari kata-kata.
Hingga suatu malam, setelah proyek selesai, Rani datang ke rumah Nino membawa satu kotak kecil. Di dalamnya ada foto lama mereka berdua dan secarik kertas bertuliskan:
"Kalau kamu masih ingin mencoba lagi, aku juga siap mulai dari awal."
Nino menatapnya lama, lalu mendekat. Tanpa kata, ia memeluk Rani. Pelukan yang hangat, bukan karena kerinduan, tapi karena kelegaan — bahwa setelah semua luka dan waktu, cinta itu akhirnya menemukan jalan pulangnya.
6. Akhir yang Tidak Benar-Benar Berakhir
Beberapa bulan kemudian, mereka kembali duduk di kedai kopi yang sama seperti dulu. Kali ini tidak ada kecanggungan, tidak ada perpisahan yang menunggu. Hanya dua orang yang akhirnya bisa mencintai tanpa tergesa.
“Kalau dipikir-pikir,” kata Nino, “hidup ini aneh, ya. Kadang kita harus kehilangan dulu baru tahu apa yang benar-benar berarti.”
Rani tersenyum. “Iya. Dan kadang, kehilangan bukan akhir, tapi cara semesta buat muter arah supaya kita ketemu lagi di waktu yang tepat.”
Mereka menatap langit sore yang perlahan berubah jingga. Cinta memang tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berdiam, menunggu waktu untuk pulang.
Dan di sela-sela percakapan mereka malam itu, Nino sempat bergurau kecil, “Aku sekarang nulis artikel buat proyek promosi di gudang4d. Katanya bisa jadi inspirasi cerita kalau tahu banyak kisah hidup orang.”
Rani tertawa. “Mungkin nanti kamu bisa tulis kisah kita juga di situ. Biar orang tahu, kadang cinta nggak butuh akhir bahagia — cukup kesempatan kedua yang tulus.”
Nino menatapnya sambil tersenyum. “Atau mungkin... cinta kita memang sudah sampai di akhir yang bahagia, hanya saja kita nggak sadar.”
Mereka tertawa bersama. Di luar, lampu kota mulai menyala, hujan turun perlahan, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka tak lagi menyesali masa lalu. Karena kali ini, mereka akhirnya pulang — bukan ke tempat, tapi ke hati yang sama.