Aku selalu percaya bahwa cinta tidak selalu datang dengan letupan besar. Kadang ia datang diam-diam, seperti embun di pagi hari — tidak mencolok, tapi terasa ketika kita berhenti sejenak dan menyadarinya.
Namaku Rendra.
Usiaku tiga puluh satu, dan selama bertahun-tahun, aku terbiasa hidup sendiri.
Bukan karena tak ada yang mencintaiku, tapi karena aku terlalu terbiasa berjalan sendirian. Aku mencintai kesunyian; aku bekerja, pulang, menulis, membaca, tidur. Hidupku sederhana dan nyaris tanpa warna, sampai seseorang datang — bukan dengan tawa, tapi dengan keheningan yang lebih lembut dari milikku.
Namanya Nisa.
Aku mengenalnya di sebuah coworking space kecil tempatku bekerja freelance. Ia duduk di meja sebelah, mengetik cepat di laptopnya sambil sesekali menghela napas panjang. Awalnya aku tak tertarik. Aku bahkan jarang bicara dengan siapa pun di tempat itu. Tapi ada sesuatu dalam cara Nisa memandang layar — seperti seseorang yang sedang melawan sesuatu yang tak terlihat.
Hari itu, hujan turun deras. Semua orang berlarian pulang, tapi kami berdua masih di sana. Aku menatap ke luar jendela, lalu menoleh.
“Tidak bawa payung?” tanyaku.
Ia menoleh sebentar, tersenyum tipis. “Enggak. Tapi aku memang nggak mau pulang dulu.”
Aku tidak bertanya kenapa. Tapi di balik suaranya, ada getir yang terasa.
Baca Juga: surat yang tak pernah kukirim tentang, dalam diam yang sama cinta yang kembali, setelah hujan reda cinta yang belajar
Kami duduk dalam diam cukup lama, hanya ditemani suara hujan. Aneh, tapi hening malam itu terasa akrab. Saat itulah aku sadar, mungkin aku tidak benar-benar menyukai kesendirian seperti yang kukira.
Hari-hari berikutnya, kami mulai berbicara lebih sering. Tentang hal-hal ringan di awal — pekerjaan, kopi, musik. Tapi perlahan percakapan kami mulai dalam. Tentang kehilangan. Tentang seseorang yang pergi tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Tentang harapan yang tidak pernah benar-benar mati, hanya bersembunyi di antara tumpukan luka.
“Aku dulu pernah cinta banget sama seseorang,” katanya suatu malam. “Tapi aku terlalu berani berharap. Dan waktu sadar dia nggak akan pernah balik, aku berhenti percaya cinta bisa datang lagi.”
Aku tidak menanggapinya waktu itu. Aku hanya mendengarkan. Karena kadang, yang dibutuhkan seseorang bukan jawaban, tapi keberadaan orang lain yang cukup sabar untuk tidak pergi.
Lama-lama, kehadiran Nisa jadi bagian dari rutinitasku. Pagi-pagi aku menunggu kedatangannya, sore aku menemaninya pulang. Kami tidak pernah bicara soal hubungan, tidak pernah menyinggung kata cinta, tapi aku tahu sesuatu tumbuh di antara kami — pelan, tapi pasti.
Cinta seperti ini tidak datang dengan bunga atau pengakuan manis. Ia datang lewat hal-hal kecil: cara Nisa mengerutkan alis saat berpikir, caranya tertawa ketika sedang gugup, caranya menatap langit seolah sedang berbicara dengan seseorang yang tak lagi ada.
Dan mungkin, cinta sejati memang tumbuh dari hal-hal kecil yang tidak kita rencanakan.
Suatu sore, kami berjalan di tepi sungai setelah pulang kerja. Air mengalir tenang, memantulkan cahaya matahari yang mulai redup. Nisa tiba-tiba berhenti, lalu berkata, “Ren, kamu pernah ngerasa takut bahagia nggak?”
Aku menatapnya, sedikit bingung. “Takut bahagia?”
“Iya. Karena setiap kali aku mulai bahagia, selalu aja ada sesuatu yang bikin aku kehilangan lagi.”
Nada suaranya lembut, tapi matanya menyimpan luka lama yang belum sembuh.
Aku diam sejenak sebelum menjawab, “Kalau aku, justru takut nggak pernah bahagia. Jadi meski akhirnya sakit, aku tetap pengen coba.”
Ia menatapku lama. Ada sesuatu di matanya — percampuran antara ragu dan harapan. “Kamu aneh,” katanya akhirnya.
Aku tertawa pelan. “Mungkin. Tapi kadang yang aneh justru yang paling tulus.”
Sejak hari itu, sesuatu di antara kami berubah. Ada kenyamanan baru yang tak butuh definisi. Kami tak pernah mengucapkan cinta, tapi kami mulai saling mencari tanpa sadar. Saat salah satu hilang sehari saja, rasanya seperti ada yang kurang.
Namun seperti biasa, kebahagiaan jarang datang tanpa ujian.
Suatu malam, Nisa menghilang. Tidak datang ke coworking, tidak membalas pesanku, bahkan teleponku tidak dijawab. Awalnya aku berpikir mungkin ia sibuk. Tapi setelah seminggu berlalu tanpa kabar, kekhawatiran itu berubah jadi rasa kehilangan yang sesak.
Aku mencoba mencari tahu lewat teman-teman kantor, tapi tak ada yang tahu banyak. Sampai akhirnya seseorang berkata, “Dia pulang ke rumah ibunya di luar kota. Ibunya sakit.”
Aku tahu Nisa tak suka bicara tentang keluarganya, tapi aku juga tahu betapa ia mencintai ibunya. Maka aku hanya bisa menunggu. Setiap malam aku menulis catatan kecil tentangnya — tentang tawa, tentang mata, tentang semua hal kecil yang membuatku ingin menemuinya lagi.
Malam-malam seperti itu membuatku sadar, bahwa diam pun bisa jadi bentuk cinta. Cinta yang tak menuntut, hanya berharap orang yang kita sayang baik-baik saja di tempatnya.
Tiga bulan kemudian, Nisa kembali.
Aku tidak tahu harus berkata apa ketika melihatnya berdiri di pintu coworking dengan senyum yang sama tapi mata yang lebih teduh. Ia tampak lebih tenang, meski jelas ada sesuatu yang berubah.
“Kamu pergi tanpa kabar,” kataku datar.
Ia menunduk. “Aku nggak tahu harus ngomong apa waktu itu. Aku takut kalau aku cerita, kamu malah ikut khawatir.”
Aku tertawa kecil. “Tapi justru itu gunanya aku di sini.”
Kami duduk lama malam itu. Hujan turun lagi, seperti waktu pertama kali kami bicara. Nisa bercerita panjang tentang ibunya, tentang kesepiannya di rumah, dan tentang bagaimana setiap malam ia membaca ulang pesan-pesan lamaku untuk menenangkan diri.
“Lucu ya,” katanya. “Aku pikir aku nggak akan butuh siapa pun lagi, tapi ternyata aku salah.”
Aku menatapnya. “Kita semua butuh seseorang. Kadang kita cuma terlalu takut ngakuin.”
Dan di saat itu juga, untuk pertama kalinya, aku menggenggam tangannya. Tak ada kata cinta, tak ada janji manis. Hanya genggaman sederhana yang berarti banyak.
Sejak hari itu, hidupku berubah.
Kesendirian yang dulu kutemani setiap malam kini berganti dengan suara Nisa yang menceritakan hal-hal remeh — tentang kopi yang rasanya terlalu pahit, atau tentang buku baru yang membuatnya menangis.
Aku belajar bahwa cinta bukan tentang mengisi kekosongan, tapi tentang menemukan seseorang yang bersedia duduk bersamamu di tengahnya.
Kadang aku menulis tentang hubungan kami di jurnal pribadiku, dan entah kenapa, inspirasi itu mengalir deras. Beberapa tulisanku bahkan kupublikasikan di media, dan suatu ketika aku menulis di situs gudang4d tentang kisah dua orang yang menemukan cinta di tengah kesepian — tentu saja tanpa menyebut nama kami.
Tulisan itu mendapat banyak tanggapan. Banyak orang bilang mereka merasa terhubung, bahwa mereka pun pernah mencintai dalam diam, pernah takut kehilangan, pernah berharap di waktu yang salah. Dan di situlah aku sadar, cinta kami bukan cuma milik kami — tapi milik semua orang yang pernah berani merasa.
Suatu pagi, Nisa bertanya, “Ren, menurut kamu, cinta bisa bertahan selamanya nggak?”
Aku berpikir sejenak. “Kalau cinta itu tulus, iya. Tapi bukan karena tidak berubah. Justru karena dia mau berubah, tumbuh, dan belajar bersama.”
Nisa tersenyum. “Berarti, cinta kita masih belajar, ya?”
Aku mengangguk. “Masih. Dan semoga nggak pernah berhenti.”
Kami tertawa kecil. Di luar, matahari perlahan naik, menembus jendela kecil tempat kami biasa bekerja. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa damai — bukan karena semua baik-baik saja, tapi karena aku tahu, aku tidak lagi sendiri.
Cinta datang tanpa suara, tumbuh dalam kesunyian, dan bertahan dalam kesabaran.
Dan jika suatu hari nanti cinta ini harus berubah bentuk, aku tidak akan menyesal. Karena cinta sejati tidak diukur dari lamanya bertahan, tapi dari seberapa dalam ia mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang lebih baik.