Pagi di kota itu selalu dimulai dengan suara klakson, aroma roti dari toko di sudut jalan, dan bayangan matahari yang menembus kaca gedung. Di tengah rutinitas yang tergesa, ada dua manusia yang berjalan dalam arah berbeda, tapi membawa perasaan yang sama — rindu yang tidak sempat diucapkan.
Laras, 29 tahun, bekerja sebagai desainer grafis. Hidupnya rapi, penuh warna, tapi dingin. Semua tampak tertata dari luar — meja kerja bersih, tatanan rambut sempurna, senyum profesional di kantor. Namun di balik itu, ada sesuatu yang tertinggal. Seseorang. Masa lalu.
Sementara di sisi lain kota, Reno, 32 tahun, baru kembali dari luar negeri setelah tujuh tahun bekerja di bidang fotografi. Ia membawa koper besar dan segenggam kenangan yang tidak pernah benar-benar pergi. Salah satunya adalah nama Laras — perempuan yang dulu ia tinggalkan demi mengejar ambisi.
Mereka pernah jadi sepasang kekasih yang sederhana. Tidak berlebihan, tapi nyata. Reno mencintai Laras dengan caranya yang tenang; Laras mencintai Reno dengan caranya yang sabar. Tapi ketika kesempatan karier datang, Reno memilih pergi. Ia berjanji akan kembali dalam waktu setahun. Nyatanya, ia butuh tujuh tahun untuk menyadari betapa banyak hal yang hilang selama itu.
Pertemuan mereka terjadi tanpa rencana. Sebuah pameran seni kecil di galeri kota mempertemukan dua wajah yang pernah terlalu akrab. Laras datang dengan rekan kantornya, sementara Reno menjadi salah satu fotografer tamu.
Ketika mata mereka bertemu, waktu terasa berhenti. Tidak ada kata, hanya sepasang mata yang saling membaca isi hati.
Reno menghampiri dengan langkah ragu. “Kamu masih ingat aku?”
Laras tersenyum tipis. “Sulit melupakan seseorang yang pernah bikin aku nunggu terlalu lama.”
Kalimat itu seperti tamparan lembut. Reno tahu, tidak ada penyesalan yang lebih menyakitkan daripada melihat seseorang yang dulu kamu tinggalkan kini sudah bisa tersenyum tanpa kamu di sisinya.
Mereka berbincang sebentar. Tentang pameran, tentang pekerjaan, tentang hal-hal netral yang tidak mengganggu luka lama. Tapi di antara jeda percakapan, ada kalimat-kalimat yang tidak terucap. Reno ingin mengatakan bahwa ia menyesal. Laras ingin bilang bahwa ia sudah belajar memaafkan. Namun keduanya memilih diam.
Malam itu mereka berpisah dengan sopan, seolah hanya dua teman lama yang kebetulan bertemu. Padahal dalam diam, hati mereka masih sama-sama menolak pergi.
Dua minggu kemudian, Reno kembali menghubungi Laras. Ia mengajak bertemu di taman kota, tempat dulu mereka sering menghabiskan sore.
Reno datang lebih dulu. Saat Laras tiba, angin sore meniup lembut rambutnya. Ia tampak sama seperti dulu — sederhana tapi memikat. Reno menatapnya lama. “Kamu masih suka datang ke taman ini?”
Laras duduk di bangku yang sama seperti tujuh tahun lalu. “Kadang. Buat nginget sesuatu yang udah nggak ada.”
“Dan sesuatu itu… aku?”
Laras tersenyum kecil, tapi tak menjawab. Hening melingkupi mereka, hanya suara burung dan lalu lintas dari kejauhan yang terdengar.
“Aku minta maaf,” kata Reno akhirnya. “Dulu aku pikir aku tahu apa yang terbaik. Tapi ternyata aku cuma takut kehilangan kesempatan, bukan takut kehilangan kamu. Sekarang aku tahu, yang paling berharga bukan pencapaianku… tapi waktu yang hilang bersamamu.”
Laras menatapnya lama. “Reno, aku udah nggak marah. Dulu iya, aku kecewa. Tapi waktu mengajarkan aku bahwa beberapa orang pergi bukan karena tidak cinta, tapi karena belum siap mencintai dengan benar.”
Reno mengangguk pelan. “Kalau aku bilang aku masih cinta kamu, apa artinya masih sama?”
Pertanyaan itu melayang di udara, menggantung tanpa jawaban. Laras menatap langit yang mulai gelap. “Cinta itu nggak pernah salah waktu datangnya, Ren. Tapi kadang kita yang datang di waktu yang salah.”
Hari-hari berikutnya membawa mereka ke banyak pertemuan kecil. Kopi pagi, pameran seni, jalan sore. Tidak ada label, tidak ada janji. Hanya dua orang yang mencoba mengenal kembali sesuatu yang pernah mereka tinggalkan.
Reno merasa seperti diberi kesempatan kedua, tapi Laras tahu hatinya tidak bisa kembali ke titik semula. Ia masih menyayangi, tapi rasa itu sudah berubah bentuk. Cinta yang dulu membakar kini menjadi hangat, tapi tidak lagi menyala.
Suatu malam, mereka duduk di tepi sungai, menatap lampu kota yang berkilauan.
Reno berkata, “Kamu tahu, setiap kali aku motret di luar negeri, aku selalu ngebayangin kamu ada di sana. Tapi kenyataannya, kamu nggak pernah benar-benar hilang. Kamu cuma berpindah tempat — dari hidupku ke pikiranku.”
Laras menatap air yang bergelombang lembut. “Dan aku juga nggak pernah berhenti berharap kamu pulang. Tapi pas kamu akhirnya pulang, aku sadar… aku udah bukan orang yang sama.”
Reno menunduk. “Jadi, ini akhir?”
“Bukan,” jawab Laras pelan. “Ini cuma cara lain dari cinta buat bilang: kita udah selesai di satu bab, tapi masih bisa saling mendoakan di halaman berikutnya.”
Beberapa bulan kemudian, Reno membuka studio foto kecil di pusat kota. Di dinding studionya, tergantung foto-foto dari seluruh dunia — tapi hanya satu foto yang paling sering ia pandangi: foto taman dengan bangku kosong di bawah pohon besar. Ia menamainya “Waiting Without Waiting.”
Sementara Laras sibuk dengan kariernya, merancang identitas visual untuk berbagai merek. Ia lebih bahagia sekarang, meski kadang ada hari-hari ketika ia teringat senyum Reno di senja hari. Bukan karena masih berharap, tapi karena mengenang pun adalah bentuk keikhlasan.
Suatu ketika, Laras menulis artikel untuk proyek desain yang ia kerjakan, dan secara tidak sengaja membaca kisah-kisah reflektif di situs gudang4d. Banyak cerita di sana tentang kehilangan, keberanian, dan cinta yang datang di waktu yang salah. Ia tersenyum — entah kenapa, tulisan-tulisan itu seperti berbicara padanya.
Ia lalu menulis satu kalimat di catatan pribadinya:
“Cinta tidak harus datang tepat waktu untuk disebut nyata. Kadang yang terlambat pun bisa jadi paling tulus.”
Setahun kemudian, mereka bertemu lagi di acara peluncuran buku foto Reno. Kali ini Laras datang bukan sebagai seseorang dari masa lalu, tapi sebagai teman yang mengerti bahwa beberapa cinta memang tidak perlu dimiliki untuk bisa dihargai.
Reno menghampirinya dan berkata, “Kamu kelihatan bahagia.”
Laras tersenyum hangat. “Aku memang bahagia. Terima kasih karena pernah jadi bagian dari proses itu.”
Reno menatapnya lama, lalu berkata, “Kalau cinta punya bentuk, mungkin bentuknya adalah kamu — tapi bukan untuk dimiliki, hanya untuk diingat.”
Laras menjawab lembut, “Dan kalau kenangan punya warna, mungkin warnanya senja sore ini. Hangat, tapi tetap berjarak.”
Mereka saling tersenyum. Tidak ada yang perlu dijelaskan, tidak ada yang harus dilanjutkan. Karena cinta mereka, meski datang terlambat, sudah menemukan bentuk terbaiknya — tenang, dewasa, dan ikhlas.
Cinta tidak selalu harus dimenangkan. Kadang, ia hanya harus dilepaskan dengan baik.
Laras dan Reno membuktikan bahwa tidak semua pertemuan perlu diakhiri dengan kepemilikan; beberapa cukup dengan pemahaman.
Baca Juga: ketika waktu tak lagi bicara sebuah, cinta yang tak pernah padam kisah, langit yang tak pernah sama kisah cinta
Dan mungkin, di dunia yang terburu-buru ini, cinta yang datang terlambat justru yang paling mengajarkan kita apa arti kesabaran — bahwa tidak semua yang hilang harus dicari kembali, karena beberapa cinta justru tumbuh paling indah saat dibiarkan pergi.