Surat yang Tak Pernah Sampai

[1]

Dari: Alina
Kepada: Raka
Tanggal: 12 Februari

Raka,
Aku tidak tahu kenapa aku masih menulis surat untukmu padahal sudah lima tahun berlalu.
Kau mungkin sudah lupa caraku berbicara atau caraku menulis huruf “A” yang selalu miring. Tapi setiap kali aku membuka jendela di sore hari dan melihat matahari turun perlahan, aku selalu mengingat kamu — orang yang mengajarkanku mencintai dengan sabar, tapi juga meninggalkan tanpa kata.

Lucu ya, bagaimana waktu bisa membuat segalanya terlihat wajar padahal tidak pernah benar-benar mudah.
Kau masih jadi alasan kenapa aku menulis.

Malam ini aku menulis bukan untuk berharap kau kembali, tapi untuk memberitahu bahwa aku masih menyimpan semua hal kecil yang dulu kita anggap remeh: tawa di hujan pertama, secangkir kopi di peron stasiun, dan kalimatmu yang dulu sempat kau ucapkan sebelum pergi, “Aku cuma butuh waktu.”

Aku sudah menunggumu selama lima tahun, Raka.
Waktu itu sudah lebih dari cukup, bukan?

—Alina


[2]

Dari: Raka
Tidak Dikirim

Alina,
Aku tidak tahu apakah kau masih membaca surat seperti dulu. Aku bahkan tidak tahu di mana kamu sekarang. Tapi malam ini, entah kenapa, aku ingin menulis sesuatu yang seharusnya kukatakan sejak lama.

Aku pergi bukan karena ingin.
Aku pergi karena takut gagal mencintaimu dengan benar.
Dulu aku pikir dengan pergi aku bisa membuktikan sesuatu, bahwa aku bisa jadi orang yang lebih baik untukmu. Tapi ternyata aku salah — menjadi lebih baik tidak ada gunanya kalau tidak ada kamu di sisiku untuk menyaksikannya.

Setiap kali aku memotret langit sore, aku masih ingat wajahmu.
Kau tahu, Alina? Bahkan setelah sekian lama, bayanganmu masih muncul di tengah keramaian, di antara tawa orang lain. Kadang aku merasa seperti sedang berbicara dengan hantu masa lalu.

Aku pernah membaca tulisan seseorang di situs gudang4d tentang bagaimana waktu dan cinta bisa berpisah arah. Dan sejak itu aku tahu — kita mungkin tidak salah waktu, hanya terlalu cepat berpisah sebelum semesta selesai menulis kisahnya.

Mungkin surat ini tidak akan sampai, tapi setidaknya aku tahu: aku masih berani menuliskan namamu.

—Raka


[3]

Catatan Jurnal Alina – 20 Maret

Aku menemukan surat Raka hari ini.
Entah bagaimana bisa sampai. Tanpa amplop, tanpa alamat, tapi tulisan tangannya terlalu khas untuk dilupakan.
Aku membacanya tiga kali. Di antara kalimatnya, aku bisa merasakan seseorang yang masih belajar menebus waktu.

Aku tidak tahu harus sedih atau lega.
Mungkin aku hanya lelah menunggu seseorang yang bahkan tidak tahu sedang ditunggu. Tapi membaca surat itu membuatku sadar — ternyata aku tidak sendirian dalam rindu ini.

Malam ini aku memutuskan untuk menulis balasan. Tidak untuk dikirim, hanya untuk menenangkan hati.

“Raka,
Jika cinta itu benar, mungkin ia tidak harus selalu berakhir dengan kebersamaan. Kadang cinta hanya perlu cukup untuk dikenang tanpa rasa sakit.”


[4]

Pesan Suara Raka (Disimpan di Ponsel, Tidak Pernah Dikirim)

“Alina,
Aku dengar kamu pindah ke kota lain. Semoga kamu bahagia. Aku tidak ingin jadi bayangan di masa lalumu, tapi kalau suatu hari kamu mendengar namaku lagi, aku harap kamu mengingatku sebagai seseorang yang pernah mencintaimu dengan cara terbaik yang ia bisa, meski caranya salah.

Aku selalu berpikir kita akan bertemu lagi, entah di dunia yang sama atau dalam versi lain dari hidup ini. Tapi kalau tidak, aku tetap berterima kasih karena kamu pernah mengisi hidupku dengan warna.

Terima kasih sudah membuatku percaya, meski sebentar, bahwa cinta itu nyata.”


[5]

Surat Terakhir Alina
Tidak Dikirim. Ditemukan di Laci Kayu Kecil Bertahun Kemudian.

Raka,
Hari ini aku menikah.
Bukan dengan seseorang yang lebih baik darimu, tapi dengan seseorang yang datang di waktu yang tepat.
Kamu pernah bilang, waktu bisa mengubah segalanya. Aku tidak percaya saat itu, tapi sekarang aku tahu maksudmu. Waktu tidak menghapus cinta — ia hanya mengajarkan kita cara baru untuk mencintai.

Aku tidak lagi mencari kamu dalam wajah orang lain. Tapi aku masih menyimpan senyummu dalam ingatan, seperti foto lama yang tak pernah kusobek.

Kalau aku boleh jujur, kadang aku masih berharap kamu baik-baik saja.
Aku tahu kamu punya mimpi yang belum selesai, dan semoga kamu sudah menepatinya sekarang. Karena aku juga sudah menepati janjiku sendiri: berhenti menunggu.

Tapi ada satu hal yang belum berubah —
Aku masih menulis surat untukmu setiap tahun, di tanggal yang sama, jam yang sama.
Bukan karena aku belum move on, tapi karena beberapa cinta memang tidak diciptakan untuk hilang.

Selamat tinggal, Raka.
Dan terima kasih untuk cinta yang tak pernah sampai, tapi selalu hidup di setiap kata.

—Alina


[6]

Catatan Akhir

Lima belas tahun kemudian, sebuah kotak berisi surat-surat itu ditemukan di rumah lama Alina.
Suaminya sudah tahu tentang masa lalu itu, dan ia hanya berkata, “Kalau bukan karena Raka, mungkin aku tidak akan mengenal versi terbaik dari Alina.”

Baca Juga: cahaya di antara bayangan kisah cinta, siluet di antara kabut kisah cinta yang, nada terakhir di panggung senja kisah

Di sisi lain dunia, Raka hidup sederhana sebagai fotografer perjalanan. Dalam wawancara majalah, ia pernah berkata,
"Ada seseorang yang membuatku mencintai kata, sebelum aku mencintai dunia. Tanpanya, aku mungkin tidak akan menulis atau memotret dengan hati."

Tak ada yang tahu, tapi di rak bukunya, masih tersimpan amplop kusam berisi surat pertama dari Alina — yang dulu tak pernah sempat ia balas tepat waktu.
Dan di bawah amplop itu, ada kertas kecil bertuliskan tangan Raka sendiri:

"Beberapa surat memang ditakdirkan untuk tidak terkirim,
karena cinta sejati kadang cukup sampai di hati,
bukan di alamat tujuan."


Penutup

Tidak semua cinta berakhir dengan pertemuan.
Ada yang hanya hidup dalam surat, dalam tulisan, dalam kenangan yang tenang.
Seperti Alina dan Raka — dua hati yang pernah saling mencari, tapi akhirnya menemukan kedamaian di tempat masing-masing.

Dan mungkin, cinta yang tak sampai bukan berarti gagal.
Ia hanya memilih bentuk yang lain: menjadi cerita yang akan selalu hidup di antara kata-kata.


on November 04, 2025 by pecinta handal |