Antara Kita yang Tak Pernah Selesai

Sudut Pandang: Arin

Hari itu hujan turun, tidak deras, tapi cukup untuk membuatku berhenti di bawah atap toko tua di ujung jalan. Aku baru saja pulang dari kantor, tanpa payung, tanpa niat apa-apa — sampai seseorang memanggil namaku dari seberang jalan.

“Arin!”

Suara itu masih sama seperti dulu. Aku tahu tanpa harus menoleh.
Rafa.

Dia berdiri dengan jas hujan setengah terbuka, rambutnya sedikit basah, dan senyumnya masih punya efek yang sama: menenangkan sekaligus membuat dada terasa sesak.

Aku tidak pernah tahu harus bereaksi bagaimana terhadap masa lalu yang datang lagi tanpa peringatan. Antara ingin lari atau diam. Tapi waktu itu aku memilih diam, karena kadang diam adalah cara paling jujur untuk mengakui bahwa kita belum benar-benar selesai.


Kami akhirnya duduk di kafe kecil, menunggu hujan berhenti.
Tak ada percakapan besar, hanya basa-basi: pekerjaan, keluarga, dan hal-hal remeh yang sebetulnya tidak penting tapi jadi alasan untuk menutupi gugup.

“Masih suka nulis?” tanyanya tiba-tiba.

Aku tertawa kecil. “Masih. Tapi sekarang lebih sering nulis buat orang lain. Artikel, naskah, promosi… bukan buat diri sendiri.”

Dia mengangguk pelan. “Aku nemu tulisanmu di gudang4d, tentang cara menemukan makna dari kehilangan. Waktu baca itu, aku langsung tahu itu kamu.”

Aku menatapnya sebentar. “Kenapa?”

“Karena cuma kamu yang bisa bikin kehilangan terdengar hangat.”

Hening.
Aku tersenyum, tapi hatiku tidak.


Sudut Pandang: Rafa

Aku tidak tahu kenapa hari itu aku memutuskan keluar rumah saat hujan. Aku hanya ingin berjalan tanpa tujuan. Kadang, hal-hal seperti itu justru membawa kita ke tempat yang seharusnya.
Dan di sana, di bawah atap toko lama itu, aku melihat Arin — seseorang yang dulu kucintai tapi tak pernah bisa kumiliki sepenuhnya.

Kami tidak berpisah karena pertengkaran besar, hanya karena waktu berjalan ke arah yang berbeda. Aku sibuk mengejar karier di luar kota, sementara dia menambatkan diri pada rutinitas yang stabil di sini.
Kami sama-sama mencintai, tapi juga sama-sama takut kehilangan kebebasan.

Ketika aku duduk bersamanya di kafe itu, aku sadar: beberapa perasaan memang tidak mati. Mereka hanya tidur lama.

Dia masih sama.
Nada bicaranya pelan, matanya masih punya cara khas untuk menghindar ketika gugup, dan senyumnya masih menenangkan. Tapi ada sesuatu yang berbeda juga — mungkin ketenangan baru, atau jarak yang tak bisa lagi dijembatani.

“Aku denger kamu mau nikah waktu itu,” kataku pelan.

Dia menatapku. “Nggak jadi. Kami beda arah.”

Aku tidak tahu harus bahagia atau sedih. Yang jelas, bagian dari diriku ingin percaya bahwa mungkin, semesta memberi kesempatan kedua. Tapi bagian lainnya tahu: kadang kesempatan itu datang bukan untuk melanjutkan, tapi untuk menutup dengan tenang.


Sudut Pandang: Arin

Setelah pertemuan itu, kami mulai sering bertukar kabar. Tidak setiap hari, tapi cukup untuk membuat kehadirannya terasa lagi.
Aku tahu ini berbahaya. Tidak ada kata cinta, tapi perhatian kecilnya mulai kembali tumbuh: mengingatkanku makan, menanyakan kabar, menertawakanku lewat pesan.

Namun semakin sering berbicara dengannya, aku semakin sadar bahwa kami tidak benar-benar punya arah.
Kami pernah punya semua — rasa, harapan, impian — tapi kehilangan kemampuan untuk menyebutnya apa.

Suatu malam, aku menulis di buku catatanku:
“Cinta yang tidak disebut tetap cinta, hanya saja lebih diam.”


Sudut Pandang: Rafa

Aku mulai kembali menulis musik. Entah kenapa, setelah bertahun-tahun berhenti, bertemu Arin seperti membuka kembali bagian diriku yang dulu terkunci.
Lirik-liriknya muncul begitu saja. Tentang hujan, tentang pulang, tentang seseorang yang tidak bisa ditinggalkan meski sudah pergi.

Aku sempat berpikir untuk mengirimkan satu lagu padanya. Tapi lalu aku urungkan. Aku tahu dia akan mengerti tanpa perlu kata. Arin selalu seperti itu — mengerti lewat keheningan.

Kadang aku membayangkan hidup kami kalau waktu dulu sedikit lebih baik pada kami. Mungkin aku akan menjemputnya setiap sore, mungkin kami akan punya rumah kecil di pinggir kota, mungkin aku tidak akan duduk sendirian malam ini dengan gitar yang bisu.
Tapi semua “mungkin” itu tidak lagi penting.

Kami sekarang dua garis sejajar yang berjalan berdampingan dari jauh. Tak bersentuhan, tapi saling tahu keberadaan.


Sudut Pandang: Arin

Beberapa bulan kemudian, aku menerima undangan pertunjukan musik kecil. Nama Rafa tercetak di brosurnya.
Aku datang tanpa niat apa pun, hanya ingin mendengar.

Ia tampil sederhana, membawa gitar dan mikrofon. Lalu ia memperkenalkan lagu barunya, katanya terinspirasi oleh “seseorang yang pernah mengajarinya arti pulang.”

Saat ia mulai bernyanyi, suaranya menembus semua lapisan waktu di antara kami.
Liriknya tentang dua orang yang saling mencintai tapi tidak berani memberi nama. Tentang cinta yang tidak pergi, hanya memilih diam agar tetap hidup.

Aku menangis diam-diam.
Tidak karena sedih, tapi karena akhirnya aku mengerti: kami tidak gagal. Kami hanya selesai di waktu yang tepat.


Sudut Pandang: Rafa

Setelah konser itu, aku tidak lagi menghubunginya.
Bukan karena ingin menghindar, tapi karena aku tahu — beberapa kisah memang harus berakhir tanpa penutup.

Aku membaca lagi tulisan Arin di situs gudang4d beberapa minggu kemudian. Kali ini ia menulis tentang “cinta yang tidak didefinisikan.”
Di paragraf terakhir, ada kalimat yang membuatku terdiam lama:
“Mungkin kita tidak harus menyebutnya apa pun, karena yang kita rasakan sudah cukup jadi bukti bahwa cinta tidak butuh nama untuk tetap ada.”

Aku tahu itu untukku.
Dan aku tersenyum.


Sudut Pandang: Arin

Musim berganti. Kota ini masih sama, tapi hatiku tidak.
Aku sudah tidak lagi menunggu, tapi juga tidak melupakan.

Baca Juga: satu surat untuk langit kisah cinta, bintang terakhir di langit kota cerita, suara dari balik radio tua cinta yang

Di rak bukuku, ada foto lama kami berdua, terselip di antara halaman jurnal. Kadang aku melihatnya sekilas sebelum tidur, bukan dengan rindu, tapi dengan rasa syukur.

Rafa mungkin sudah jauh, mungkin sudah punya seseorang. Tapi cinta yang kami miliki tidak pernah mati — ia hanya berubah bentuk, menjadi tenang, menjadi doa, menjadi bagian dari siapa kami sekarang.

Dan mungkin, itu cukup.


Epilog – Sudut Pandang Bersama

Mereka tidak pernah benar-benar berpisah.
Cinta mereka tidak didefinisikan oleh status, waktu, atau jarak.
Ia hanya ada — seperti udara yang tidak terlihat tapi bisa dirasakan.

Rafa menulis lagu-lagu yang tak pernah ia jual. Arin menulis cerita-cerita yang tak pernah ia terbitkan. Tapi keduanya tahu, mereka sedang menulis tentang hal yang sama:
Tentang cinta yang tidak butuh akhir untuk menjadi abadi.

Dan mungkin, itulah bentuk paling murni dari cinta — bukan yang dimiliki, tapi yang tetap hidup, meski tanpa nama.


on November 04, 2025 by pecinta handal |