Cinta di Dua Waktu yang Salah

Fragmen 1 — Tahun 2015

Ia bertemu dengannya di kereta sore yang melaju ke arah laut.
Langit pucat, ombak di kejauhan berdebur seperti suara napas panjang yang menenangkan.
Namanya Juno, fotografer lepas yang selalu membawa kamera meski tidak selalu punya alasan untuk memotret.
Perempuan itu duduk di bangku seberang, memegang buku catatan lusuh.
Namanya Sera.

Ketika mata mereka bertemu, dunia berhenti sebentar.
Mereka tidak berbicara, hanya saling menatap, seolah-olah keduanya menyadari sesuatu yang aneh: rasa familiar tanpa pernah bertemu sebelumnya.
Saat kereta berhenti di stasiun kecil, Sera turun tanpa menoleh.
Namun di kursinya tertinggal selembar kertas kecil bertuliskan:

“Ada hal-hal yang hanya bisa dimengerti oleh dua jiwa yang pernah saling mencari, meski di waktu yang berbeda.”

Juno menyimpannya di dompet selama bertahun-tahun.


Fragmen 2 — Tahun 2018

Sera bekerja sebagai penulis naskah radio.
Suatu malam, ia menulis cerita berjudul “Langit yang Menunggu Laut.”
Kisah tentang dua orang yang selalu salah waktu: satu datang ketika yang lain pergi, satu jatuh cinta saat yang lain sedang belajar melupakan.
Ia menulis sampai dini hari, lalu mengirimkan naskah itu ke platform indie yang sering memuat tulisan-tulisan eksperimental — gudang4d.
Ia tidak tahu, seseorang di kota lain akan membaca tulisannya dan mengenali dirinya sendiri di antara kalimat-kalimat itu.


Fragmen 3 — Tahun 2019

Juno membaca cerita itu di sebuah kafe di Yogyakarta.
Judulnya menarik perhatiannya karena terasa akrab.
Setiap kalimat seperti gema dari kenangan yang belum selesai.
Ia menulis komentar pendek: “Aku pernah naik kereta ke arah laut, dan rasanya seperti sedang mencari seseorang yang sudah kulupakan.”

Beberapa hari kemudian, penulis cerita itu membalas:
“Mungkin kita naik kereta yang sama, tapi turun di stasiun berbeda.”


Fragmen 4 — Tahun 2020

Pandemi datang. Dunia terhenti.
Juno dan Sera mulai saling berkirim pesan melalui surel.
Mereka tidak pernah bertanya soal rupa, umur, atau alamat.
Yang mereka bagi hanyalah kata-kata.

Pesan 1:

“Aku selalu menulis di antara jam 1 dan 3 pagi, ketika kota sunyi dan dunia terasa jujur.”

Pesan 2:

“Aku selalu memotret langit jam 1 dan 3 pagi, karena cuma waktu itu yang tidak menuntut warna apa pun.”

Pesan-pesan mereka menyeberangi ruang digital, mengikat dua kesepian yang tumbuh di tempat berbeda.
Mereka tidak pernah saling menamai hubungan itu.
Tapi di antara huruf-huruf, cinta mulai tumbuh — diam, samar, tapi nyata.


Fragmen 5 — Tahun 2021

Sera menulis lagi:

“Kalau suatu hari dunia pulih, aku ingin bertemu di pantai tempat langit jatuh ke laut.”

Juno membalas:

“Aku akan datang. Aku janji.”

Namun janji adalah benda rapuh.
Sebelum mereka sempat bertemu, Juno kehilangan ayahnya karena pandemi. Ia berhenti memotret selama berbulan-bulan.
Sera tak tahu harus berkata apa; jarak membuat kata-kata terasa sia-sia.
Hanya satu pesan yang ia kirim:

“Kalau kamu tak sanggup menatap dunia sekarang, tatap saja kenangan yang masih hangat. Aku akan tetap di situ, di antara cahaya dan laut.”


Fragmen 6 — Tahun 2023

Mereka akhirnya bertemu.
Di pameran foto bertema “Waktu yang Tak Bisa Kembali.”
Juno menampilkan serangkaian foto langit di berbagai kota.
Sera datang tanpa memberi tahu.
Ia berdiri di depan foto bertuliskan: “Stasiun Laut, 2015.”

“Ini kamu?” katanya pelan ketika Juno mendekat.
Juno mengangguk.
“Dan kamu Sera?”
Ia tidak menjawab, hanya tersenyum — senyum yang dulu nyaris tak berubah sejak kereta sore itu.

Mereka berbicara lama malam itu, tentang hal-hal kecil yang tak sempat dijelaskan lewat surat elektronik: tentang kehilangan, tentang perjalanan, tentang bagaimana dua orang bisa saling mengenal tanpa pernah saling menyentuh.

Tapi hidup, seperti biasa, tidak berhenti di momen yang sempurna.
Sera sudah bertunangan.
Dan Juno tahu, beberapa cinta memang hanya dimaksudkan untuk mengembalikan bagian diri yang pernah hilang, bukan untuk dimiliki.

Sebelum berpisah, Sera berkata,
“Terima kasih sudah menepati janji, meski sudah terlambat.”
Juno menjawab,
“Beberapa janji memang baru indah kalau datang setelah semua luka sembuh.”


Fragmen 7 — Tahun 2025

Sera menikah, menulis buku berjudul “Langit yang Menunggu Laut.”
Ia mencantumkan satu kalimat di halaman persembahan:
Untuk seseorang yang mengajari aku bahwa cinta tidak harus berakhir agar bisa berarti.

Juno membuka pameran baru di Bali.
Ia memajang foto laut, langit, dan kursi kosong di tepi dermaga.
Di dinding, ia menulis kutipan pendek:
“Ada cinta yang tidak selesai karena memang ditakdirkan untuk jadi puisi.”


Fragmen 8 — Tidak Bertanggal

Mungkin cinta mereka tidak pernah lahir di waktu yang sama.
Tapi di semesta yang diam, di antara buku dan foto, mereka masih saling menyapa — melalui karya, melalui kenangan.
Sera masih menulis, Juno masih memotret.
Mereka tidak pernah kembali bersama, tapi tetap berjalan dengan arah yang saling beririsan.

Baca Juga: musim yang tak pernah selesai cerita, langit di atas reruntuhan hati kisah, lembah kenangan kisah cinta yang hilang

Jika cinta adalah waktu, mungkin mereka hanya menit dan detik yang tidak pernah sejajar, tapi terus berdetak dalam irama yang sama.

Dan di sela-sela perjalanan, setiap kali Juno membaca tulisan di gudang4d, ia masih mencari namanya di antara baris-baris anonim.
Tidak untuk menemukan kembali, hanya untuk memastikan bahwa cinta itu masih hidup — di tempat yang paling tenang: di antara kata dan cahaya.


Penutup

Beberapa cinta tidak butuh kepemilikan untuk menjadi abadi.
Cukup dua jiwa yang saling mengenal di waktu berbeda, dan dunia pun tak lagi terasa sunyi.
Sera dan Juno tidak gagal mencintai — mereka hanya lahir di menit yang berbeda dari jam yang sama.


on November 05, 2025 by pecinta handal |