Ada pepatah yang mengatakan: “Waktu bisa menyembuhkan luka, tapi tidak bisa menghapus kenangan.”
Kalimat itu adalah kenyataan bagi Keisha — seorang fotografer yang hidupnya selalu dikelilingi oleh momen yang tak bisa diulang. Ia bisa membekukan waktu dengan kameranya, tapi tidak bisa membekukan cinta yang telah pergi.
Lima tahun lalu, Keisha meninggalkan kota kecil tempat ia tumbuh bersama Arga, kekasihnya sejak SMA. Mereka berjanji untuk saling menunggu, tapi hidup tidak pernah sesederhana janji di bawah langit sore.
Keisha mendapat tawaran karier besar di Jakarta, sementara Arga harus tinggal untuk menjaga usaha keluarga. Awalnya mereka mencoba bertahan dengan jarak, dengan pesan-pesan larut malam dan panggilan singkat setiap akhir pekan. Tapi perlahan, jarak bukan lagi soal kilometer. Ia berubah jadi jarak hati.
Sampai akhirnya, satu pesan dari Arga menghancurkan segalanya.
“Kita berhenti di sini saja, Keish. Aku nggak mau terus bikin kamu nunggu.”
Dan seperti itu saja, cinta mereka berakhir.
Kembali ke Awal
Lima tahun kemudian, Keisha kembali ke kota itu. Ia diminta meliput sebuah festival budaya di lembah tempat dulu ia dan Arga sering berfoto bersama. Tempat itu kini berubah. Dulu hanya padang rumput dan pepohonan liar, sekarang sudah menjadi tempat wisata yang ramai dengan spot foto dan kafe kecil.
Namun bagi Keisha, setiap sudut lembah itu tetap sama. Masih ada batu besar tempat mereka dulu duduk sambil makan siomay. Masih ada jalan tanah berdebu yang dulu mereka lalui dengan motor tua Arga yang sering mogok.
Keisha mengambil kameranya, mencoba mengambil beberapa gambar. Tapi setiap kali menekan tombol shutter, bayangan Arga muncul di pikirannya. Ia bahkan masih ingat aroma tanah setelah hujan yang selalu membuat Arga bilang, “Harumnya kayak kamu.”
Ia tertawa kecil mengingatnya. Tapi tawa itu cepat berubah jadi isak yang tertahan.
Pertemuan yang Tak Direncanakan
Ketika senja mulai turun, Keisha duduk di bangku kayu dekat tebing, menatap langit oranye keemasan. Ia tidak tahu kalau seseorang sedang berdiri di belakangnya.
“Masih suka ngejar cahaya matahari, ya?”
Suara itu membuatnya membeku. Ia tahu suara itu.
Perlahan ia menoleh, dan waktu seolah berhenti.
Arga.
Masih dengan senyum yang sama, tapi wajahnya kini lebih dewasa, lebih matang, dan entah kenapa — lebih menenangkan.
“Arga?” suaranya nyaris tidak keluar.
“Udah lama banget, Keish,” jawabnya pelan.
Mereka terdiam lama. Hanya suara angin dan desir lembah yang mengisi ruang di antara mereka.
“Gimana kabarmu?” tanya Keisha akhirnya.
“Baik. Aku buka usaha kecil, Gudang4D namanya,” jawab Arga sambil tersenyum. “Tempat aku jual karya seni dari daur ulang barang lama. Kayak cinta lama yang dikasih kesempatan kedua.”
Keisha menatapnya, mencoba menahan senyum yang pelan-pelan muncul. “Kamu masih suka bikin perumpamaan aneh, ya.”
“Dari dulu kamu suka ketawa tiap aku ngomong begitu,” kata Arga.
“Sekarang aku cuma takut ketawa nanti kangen lagi,” jawab Keisha spontan.
Keduanya tertawa pelan, tapi dalam tawa itu ada banyak hal yang tidak mereka ucapkan. Rasa yang belum selesai, kenangan yang masih hidup, dan luka yang diam-diam belum sembuh.
Waktu Tidak Pernah Benar-Benar Menghapus
Mereka menghabiskan sore itu dengan berbicara panjang. Tentang hidup, tentang pilihan, tentang hal-hal yang dulu mereka tinggalkan. Arga bercerita tentang bagaimana ia hampir menjual motornya tapi tidak jadi, karena itu satu-satunya hal yang masih mengingatkannya pada masa Keisha.
Keisha bercerita tentang kariernya, tentang kesendirian yang menemaninya di tengah hiruk-pikuk kota besar. Dan tentang bagaimana setiap kali ia memotret matahari terbenam, ia selalu merasa sedang memotret kenangan mereka.
“Kadang aku pikir, cinta itu kayak foto,” kata Keisha. “Kamu bisa simpan, tapi kamu nggak bisa hidup di dalamnya.”
Arga menatap Keisha lama. “Tapi kalau kamu simpan di tempat yang tepat, foto itu bisa terus hidup. Sama kayak cinta.”
Keisha menatapnya balik. “Kamu masih percaya cinta, Ga?”
Arga tersenyum. “Aku nggak tahu. Tapi kalau kamu nanya apakah aku masih percaya sama kita, jawabannya iya.”
Cinta yang Tak Harus Dimiliki
Malam mulai turun. Lampu-lampu kafe di lembah mulai menyala. Mereka berjalan berdua menyusuri jalan tanah yang dulu sering mereka lalui. Tidak banyak kata. Hanya langkah yang beriringan dan kenangan yang menuntun.
Di depan pintu mobil, Keisha menatap Arga. “Aku nggak tahu harus bilang apa.”
“Bilang aja makasih,” jawab Arga. “Karena kamu datang.”
Keisha menarik napas dalam. “Aku takut kalau datang lagi, aku nggak bisa pulang.”
Arga tersenyum. “Mungkin karena rumahmu memang bukan tempat. Tapi rasa.”
Keisha diam. Dalam hati, ia tahu: cinta mereka tidak perlu dimiliki lagi. Ia hanya perlu diingat — dengan cara yang damai.
Ia meraih kameranya, menatap Arga sekali lagi, lalu mengambil satu foto. Klik.
“Mungkin ini foto terbaik yang pernah aku ambil,” katanya pelan.
Baca Juga: Cinta di tengah asap dan lampu kota, fragmen yang tersisa di antara hari, di antara hujan dan lampu kota
“Kenapa?” tanya Arga.
“Karena kali ini, aku nggak ingin mengulangnya.”
Arga tersenyum, menatap Keisha dengan tatapan yang penuh ketulusan. “Kalau suatu hari kamu kangen, datanglah ke Gudang4D. Di sana aku simpan semua hal yang tidak bisa dibuang, termasuk kenangan kita.”
Keisha tersenyum kecil. “Baiklah, kalau begitu jangan pernah tutup tempat itu.”
“Aku nggak akan,” jawab Arga pelan. “Selama masih ada cahaya, aku akan terus menyimpan semuanya.”
Malam itu mereka berpisah tanpa janji baru, tapi juga tanpa penyesalan.
Hujan mulai turun ringan — seperti restu dari langit untuk cinta yang pernah hidup dan kini beristirahat dengan damai.
Pelajaran dari Sebuah Perpisahan
Cinta sejati tidak selalu harus dimiliki. Kadang ia hanya datang untuk mengajarkan kita arti ketulusan.
Keisha belajar, bahwa tidak semua yang hilang harus dicari kembali. Dan Arga belajar, bahwa yang benar-benar mencintai tidak akan menahan — cukup menjaga dalam doa.
Lembah itu kini menjadi tempat kenangan yang tidak menyakitkan lagi. Sebuah bukti bahwa cinta bisa berubah bentuk, tapi tidak pernah benar-benar mati.