Hidup kadang menulis cerita yang tak pernah kita rencanakan. Seperti halnya kisah Rendra dan Sinta — dua orang yang seharusnya tidak pernah bertemu, tapi dipertemukan oleh waktu yang salah.
Rendra adalah seorang arsitek sukses, berusia tiga puluh lima tahun. Hidupnya tampak sempurna di luar: karier gemilang, rumah besar, istri yang lembut, dan seorang putri kecil yang selalu memanggilnya dengan tawa. Tapi jauh di dalam dirinya, ada ruang kosong yang tidak pernah bisa ia isi.
Sinta datang tanpa rencana. Seorang jurnalis muda yang sedang menulis liputan tentang proyek sosial di mana Rendra terlibat. Cerdas, sederhana, penuh semangat — dan berani berkata jujur di saat orang lain memilih diam.
Pertemuan mereka di ruang proyek itu biasa saja. Tapi percakapan pertama mereka — itu yang mengubah segalanya.
“Pak Rendra,” kata Sinta sambil menatap catatan di tangannya. “Apa Bapak percaya kalau setiap bangunan punya jiwa?”
Rendra tersenyum kecil. “Kalau tidak punya, orang tidak akan mau tinggal di dalamnya.”
Sinta mengangguk. “Saya pikir begitu juga tentang cinta.”
Rendra terdiam. Kalimat itu terdengar sederhana, tapi baginya, menimbulkan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Ketika Cinta Menyelinap Pelan
Hari-hari berikutnya membawa mereka pada banyak pertemuan. Awalnya profesional, lalu beralih jadi pribadi. Mereka mulai berbagi cerita di sela jam kerja, tentang hidup, cita-cita, dan hal-hal kecil yang tidak penting tapi hangat.
Rendra mulai menunggu pesan singkat dari Sinta setiap pagi. Sesuatu yang dulu biasa, kini menjadi candu. Sementara Sinta tahu, ada batas yang tidak boleh ia lewati. Tapi semakin ia mencoba menjaga jarak, semakin dalam ia terperangkap.
Mereka tidak pernah merencanakan jatuh cinta. Tapi cinta tidak pernah peduli pada rencana.
Malam itu, setelah presentasi proyek selesai, mereka duduk berdua di teras hotel yang menghadap ke kota. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang jatuh yang terjebak di bumi.
“Sinta,” kata Rendra pelan, “kadang aku berharap kita tidak pernah bertemu.”
“Kenapa?”
“Karena sekarang, setiap kali aku pulang, aku merasa sedang berkhianat hanya dengan mengingatmu.”
Baca Juga: Sebuah janji di balik kopi, kala senja di ujung jalan cinta, kisah cinta di balik hujan
Sinta menatap langit, mencoba menahan air mata. “Kalau begitu, jangan ingat aku.”
Rendra menunduk, tersenyum getir. “Aku sudah mencoba.”
Dan malam itu, dalam diam, mereka tahu — cinta mereka bukan cinta yang bisa diteriakkan. Ia harus hidup di antara bisikan dan rahasia.
Rahasia yang Menjadi Luka
Waktu berjalan. Hubungan mereka menjadi semakin dalam. Pesan-pesan yang dulu hanya tentang pekerjaan, berubah menjadi kata rindu. Tatapan yang dulu sekadar hormat, berubah menjadi pengakuan tanpa suara.
Rendra mulai kehilangan kendali atas dirinya. Ia merasa bersalah setiap kali menatap istrinya di meja makan. Tapi di sisi lain, ia tak bisa berhenti mencari wajah Sinta dalam pikirannya.
Suatu malam, ia menatap kaca kamar mandi dan berkata pada dirinya sendiri, “Aku bukan orang jahat. Aku hanya mencintai orang yang salah.” Tapi kata-kata itu tidak cukup menenangkan.
Dan hari itu datang. Hari ketika istrinya, Lila, menemukan pesan di ponsel. Satu pesan pendek yang meruntuhkan segalanya.
“Aku rindu, tapi aku tahu kita tidak seharusnya.”
Tidak ada amarah di wajah Lila. Hanya kecewa yang terlalu dalam untuk diucapkan.
“Berapa lama?” tanyanya.
Rendra tidak menjawab.
“Kalau kamu diam, artinya lebih lama dari yang aku kira,” kata Lila dengan suara pecah.
Malam itu, Rendra tidak bisa tidur. Ia mencoba menghubungi Sinta, tapi ponselnya mati. Mungkin Sinta sudah tahu semuanya. Mungkin ia pergi, menyelamatkan apa yang tersisa dari harga dirinya.
Dan benar. Keesokan paginya, Sinta mengirim pesan terakhir:
“Aku tidak ingin jadi alasan seseorang kehilangan keluarganya. Aku pergi, Ren. Jangan cari aku.”
Rendra membaca pesan itu berulang-ulang, berharap ada kata lain yang tersembunyi di antara huruf-hurufnya. Tapi tidak ada. Hanya keheningan yang tersisa.
Waktu yang Menghukum
Tiga tahun berlalu. Rendra kini hidup sendiri. Istrinya pergi membawa anak mereka. Kariernya hancur karena skandal yang bocor ke media.
Ia mencoba memperbaiki diri, tapi hidup sudah tak lagi sama. Kadang ia masih datang ke proyek lama tempat ia pertama kali bertemu Sinta, hanya untuk merasakan kembali sesuatu yang pernah membuatnya hidup.
Dan di suatu sore hujan, di sebuah kafe kecil di sudut kota, ia melihat seseorang duduk sendirian. Rambut panjang, wajah yang dulu ia hafal luar kepala.
Sinta.
Waktu tidak menghapus keindahan itu, hanya membuatnya lebih tenang.
Mereka saling menatap lama. Tak ada kata. Hanya tatapan yang menyimpan berjuta cerita yang tidak akan pernah selesai ditulis.
Rendra ingin bicara. Tapi sebelum ia sempat melangkah, Sinta berdiri, tersenyum kecil, dan meninggalkan kafe.
Tidak ada salam. Tidak ada perpisahan.
Hanya tatapan terakhir yang mengatakan segalanya:
“Kita pernah salah, tapi kita pernah sungguh-sungguh.”
Pelajaran dari Sebuah Cinta yang Salah
Cinta tidak selalu datang pada waktu yang tepat. Kadang ia datang untuk mengajarimu tentang kehilangan, bukan tentang kebahagiaan.
Rendra belajar, bahwa rasa bersalah tidak bisa ditebus dengan penyesalan. Dan Sinta belajar, bahwa cinta yang indah sekalipun, bisa menjadi luka bila lahir di tempat yang salah.
Namun jauh di lubuk hati mereka, keduanya tahu — cinta itu nyata.
Seperti nama Gudang4D yang dulu mereka ucapkan dalam gurauan — “tempat menyimpan empat dimensi kehidupan: doa, duka, dosa, dan damai.” Kini, hanya kenangan yang tinggal di sana.
Dan dari balik hujan yang turun sore itu, dua jiwa yang pernah menyatu di waktu yang salah, akhirnya belajar melepaskan di waktu yang tepat.