Janji di Balik Pintu Kamar Rumah Sakit – Kisah Cinta yang Bertahan Dalam Ujian

Semua orang bilang cinta itu indah. Tapi tidak ada yang benar-benar menyiapkan Adit untuk hari ketika ia harus belajar bahwa cinta juga bisa menakutkan.

Hari itu, bau obat-obatan menyengat, suara mesin monitor berdetak pelan, dan lampu putih rumah sakit membuat semuanya terasa dingin. Di atas ranjang, ada seseorang yang tidak pernah ia bayangkan akan terbaring selemah itu: Dara.

Dara bukan tipe perempuan yang mudah jatuh. Ia keras kepala, cerdas, dan selalu terlihat kuat bahkan di saat orang lain sudah menyerah. Dara adalah perempuan yang bisa pulang tengah malam setelah lembur, membuka laptop lagi, dan masih sempat bercanda. Dara adalah perempuan yang bisa membuat Adit percaya diri hanya dengan satu kalimat sederhana, “Kamu itu lebih hebat dari yang kamu pikir.”

Tapi malam itu, perempuan sekuat itu terbaring dengan selang infus di tangan, wajah pucat, napas pelan.

Adit duduk di kursi kecil, menahan kantuk. Sudah dua malam ia tidak pulang. Kemejanya kusut, rambutnya berantakan. Tapi matanya tidak pernah pergi dari wajah Dara.

“Dit,” suara Dara pecah, pelan sekali. “Kamu ngapain di sini terus? Pulang sana. Kerja besok pagi, kan?”

“Kerja bisa nyusul,” jawab Adit datar. “Kalau kamu, aku nggak mau ketinggalan satu detik pun.”

Dara tersenyum lemah. “Kamu drama banget sekarang, ya.”

Adit hanya menghela napas. “Iya. Salah satu efek samping sayang sama kamu.”

Keheningan jatuh sebentar. Hening yang bukan kosong, tapi hening yang dipenuhi banyak hal yang tidak sempat terucap.

Lalu Dara berkata lagi, kali ini lebih serius. “Dit, kalau aku kenapa-kenapa—”

“Berhenti.” Adit langsung memotong. “Jangan lanjut.”

Dara menatapnya. “Aku serius.”

“Aku juga.”

Adit mendekat, menggenggam tangan Dara, hangatnya tipis tapi masih ada. “Denger aku ya,” katanya pelan. “Aku tidak pernah mau hidup di kalimat ‘kalau aku kenapa-kenapa’. Aku cuma mau hidup di kalimat ‘pas kita nanti…’ Mengerti?”

Dara menatapnya lama. Ada sesuatu yang bergerak di sorot matanya. Bukan air mata. Bukan kesedihan. Lebih dalam dari itu. Keyakinan.

“Kita nanti?” gumam Dara.

Adit mengangguk. “Kita nanti, pulih. Kita nanti, pulang bareng. Kita nanti, duduk di dapur kecil apartemen kamu sambil sarapan roti gosong. Kita nanti, berantem lagi soal siapa yang harus nyuci piring. Kita nanti, jalan berdua sore-sore, belanja sayur, debat merek sabun cuci piring paling murah. Kita nanti. Tidak ada versi lain.”

Dara menutup mata sebentar. Senyumnya muncul lagi, kali ini lebih hangat. “Kamu masih inget ya soal roti gosong?”

“Mana bisa lupa. Itu pertama kalinya aku sadar kamu nggak sempurna.”

Dara terkekeh kecil. “Padahal aku sengaja gosongin biar kamu kasihan sama aku.”

Adit pura-pura terkejut. “Serius?”

“Enggak lah,” jawab Dara. “Emang salah setelan toaster.”

Mereka tertawa kecil, tenang, normal. Seakan mereka tidak sedang berada di ruangan dengan suara mesin detak jantung elektronik.

Dan di situlah, di tengah kelelahan, kecemasan, dan rasa takut yang tidak pernah ia akui, Adit sadar sesuatu: ia tidak lagi sekadar mencintai Dara. Ia memutuskan.

Ini bukan rasa yang datang dan pergi. Ini adalah keputusan.

Keputusan untuk tetap ada.

Keputusan untuk tetap tinggal.

Keputusan untuk tidak lari ketika hidup jadi sulit.

Keputusan untuk berkata “kita” bahkan di saat dunia memaksa mereka pakai kata “kamu” dan “aku”.

Karena buat Adit, cinta bukan cuma perasaan hangat di dada. Cinta adalah komitmen yang dibangun ulang setiap hari dari hal-hal kecil. Dari roti gosong, dari ucapan selamat pulang, dari pesan “sampai rumah kabarin”, dari tatapan mata yang bilang “aku peduli” bahkan saat mulut bilang “aku sibuk.”

Dan malam itu komitmen itu bernama Dara.

Malam itu, cinta punya bentuk yang sangat nyata.

Bukan pelukan.
Bukan ciuman.
Bukan janji manis.

Cinta malam itu punya bentuk sederhana: laki-laki yang tidak mau pulang.


Di luar kamar, perawat datang, memeriksa kondisi, mencatat angka di tablet. Setelah itu kamar kembali sepi.

Dara memandang Adit lama-lama. “Kamu capek, Dit?”

“Capek banget,” jawab Adit jujur.

“Kenapa nggak tidur?”

“Aku takut bangun tanpa kamu.”

Kali ini, Dara tidak bisa menahan air mata. Satu tetes jatuh di sudut mata, menuruni pipi. Pelan. Diam. Jujur.

“Aku minta satu hal,” katanya setelah beberapa saat.

“Apa?”

“Apa pun yang terjadi, kamu harus lanjut hidup. Janji sama aku.”

Adit menghela napas panjang. “Aku juga minta satu hal.”

“Hmm?”

“Kamu jangan ngomong kayak gitu lagi. Janji sama aku.”

Dara menatapnya. “Dit…”

“Aku serius, Da.”

Keadaan kembali hening. Tapi bukan hening kosong seperti tadi. Hening ini justru penuh pertarungan sunyi di dalam diri masing-masing.

Karena mereka sama-sama tahu: rasa sakit paling besar dalam cinta bukan kehilangan. Rasa sakit paling besar adalah tidak berdaya. Menyaksikan orang yang kamu sayang terluka, dan kamu tidak bisa mengalihkan rasa sakit itu ke dirimu sendiri.

Kalau bisa, Adit sudah melakukannya sejak kemarin.


Dara tertidur.

Adit menggenggam tangan itu sepanjang malam.

Dan di tengah rasa lelah yang menumpuk, pikirannya pergi ke belakang. Ke masa ketika semuanya masih mudah. Ke hari pertama mereka bertemu.

Bukan di restoran mewah.
Bukan di acara romantis.
Bukan di momen sinematik.

Mereka bertemu di ruang rapat kantor, di mana proyektor ngadat dan presentasi harus mulai lima menit lagi.

Dara waktu itu masuk dengan langkah cepat, rambut diikat seadanya, kemeja biru muda sedikit kusut, wajah tegang. “Siapa yang ngerti colokan HDMI ini?” katanya cepat.

Tidak ada yang jawab.

Lalu Adit berdiri, mengambil kabel, tekan satu tombol di laptop, layar langsung muncul.

Dara memandangnya seperti baru saja diselamatkan dari bencana nasional. “Kamu penyelamat banget. Nama kamu siapa?”

“Adit.”

“Mulai hari ini, Adit, kamu orang paling penting di tim marketing.”

Padahal Adit bukan orang marketing.
Dia anak IT.

Dari situ semuanya jalan sendiri. Ngobrol. Ketawa. Pulang bareng. Makan malam ‘kebetulan satu arah’. Lalu hari di mana tanpa sadar, mereka berubah dari teman jadi sesuatu yang lebih. Tanpa deklarasi, tanpa “mau gak jadi pacarku”, tanpa drama.

Cinta mereka tidak pernah meledak.
Cinta mereka tumbuh diam-diam.

Dan karena itu, cinta mereka terasa nyata.

Adit ingat percakapan yang paling ia suka, beberapa bulan setelah mereka dekat.

“Aku takut nyakitin kamu,” kata Dara waktu itu, di balkon apartemennya, malam yang lembut.

“Kok gitu?”

“Karena aku orangnya keras. Aku kalau lagi stres kerjaan, aku bisa dingin. Bisa nutup diri. Bisa kelihatan kayak nggak peduli. Aku takut kamu salah paham.”

Dan jawaban Adit malam itu adalah sesuatu yang bahkan sekarang, duduk di kursi rumah sakit, masih jadi keyakinan yang sama.

“Aku nggak butuh kamu jadi selalu kuat,” katanya. “Aku cuma butuh kamu jujur.”

Bukan manis. Bukan puitis. Tapi tulus.

Itu yang bikin Dara jatuh.

Dan itu juga yang bikin Adit tidak bisa meninggalkan kursi itu malam ini. Karena bagaimana mungkin kamu pergi dari seseorang yang pernah begitu jujur memperlihatkan rapuhnya hanya kepadamu?

Baca Juga: Catatan harian tentang kamu yang tak selesai, surat-surat yang tak pernah selesai, antara langit dan laut


Pukul dua lewat tiga belas.

Dara terbangun pelan. Matanya mencari. “Dit?”

Adit langsung bangkit. “Aku di sini.”

Dara mengangguk kecil. “Aku haus.”

Adit menuang air mineral ke gelas kecil, memeganginya, membantu Dara minum perlahan. Hati-hati. Sabar. Penuh rasa sayang yang tidak diucapkan keras-keras.

Setelah itu, Dara bersandar lagi. Nafasnya lebih stabil.

“Aku takut,” bisik Dara. Ini pertama kalinya ia mengaku.

Adit menempelkan dahinya ke dahi Dara. Mereka menutup mata bersama. “Aku juga,” jawabnya. “Tapi kita takut bareng-bareng. Itu bedanya.”

Dara mengangguk. Air mata lagi-lagi jatuh, tapi kali ini bukan karena sedih.

Kali ini karena lega.

Karena tidak sendirian.

Lalu Dara mengangkat tangan perlahan, menyentuh wajah Adit, mengusap dagunya yang mulai dipenuhi jenggot tipis. “Kamu tau nggak,” katanya lirih, “kalau besok aku sembuh, aku mau minta satu hal.”

“Apa?”

“Aku mau kita berhenti pura-pura nggak serius.”

Adit membuka mata.

“Maksudnya?” tanyanya.

Dara menatapnya dalam-dalam. “Aku mau rumah. Bukan rumah besar. Rumah kecil juga nggak apa-apa. Aku mau pagi ketemu kamu, malam ketemu kamu. Aku mau ada foto kita di dinding dapur. Aku mau ada kalender bulanan kita yang penuh coretan. Aku mau ada tumpukan cucian karena kita sibuk. Aku mau berantem soal hal-hal kecil yang cuma terjadi kalau dua orang hidup bareng.”

Adit menatapnya lama.

Lalu ia tersenyum, pelan, tulus, seolah semua lelah di tubuhnya habis hanya karena kalimat itu.

“Da,” katanya. “Itu bukan ‘kalau besok aku sembuh’.”

Dara berkedip.

“Itu rencana,” lanjut Adit. “Dan rencana harus dikerjain. Bukan ditunggu.”

Dara hampir tertawa sambil menangis di waktu yang sama. “Kamu selalu kayak gini ya.”

“Kayak gimana?”

“Kayak orang yang yakin semuanya mungkin.”

“Bukan semuanya,” jawab Adit sambil mengecup punggung tangan Dara. “Cuma hal-hal yang layak diperjuangkan.”

Dara menahan napas satu detik.

Lalu berkata pelan, hampir tidak terdengar, “Aku sayang kamu.”

Ada banyak kalimat di dunia. Tapi buat Adit, tidak ada yang sekuat itu.

Ia menunduk, menempelkan keningnya lagi ke kening Dara, dan menjawab, tanpa ragu sedikit pun, “Aku lebih.”


Pagi nanti mungkin masih ada rasa sakit. Mungkin masih ada obat, pemeriksaan, hasil analisis, dan semua kecemasan yang belum selesai.

Tapi malam ini, sesuatu berubah.

Malam ini, cinta mereka naik kelas dari rasa nyaman menjadi janji.

Janji bahwa mereka tidak akan lagi berpura-pura “hanya dekat”. Janji bahwa rasa takut bukan alasan untuk lari. Janji bahwa setiap kelemahan akan ditopang, bukan dihakimi.

Dan janji itu punya saksi: ruangan kecil rumah sakit, suara detak mesin pemantau, udara dingin, dan dua hati yang memilih untuk tetap saling menggenggam.

Di luar sana, dunia akan tetap berjalan. Kantor akan tetap ribut. Target kerja akan tetap mengejar. Hidup akan tetap tidak gampang. Tapi mereka kini punya sesuatu yang bahkan rasa takut tidak bisa sentuh.

Mereka punya satu sama lain.

Itu cukup.

Itu selalu cukup.

Dan di dalam hati Adit, satu hal menguat seperti batu fondasi di Gudang4D: apa pun yang terjadi setelah malam ini, Dara bukan lagi “bagian hidupnya”.

Dara adalah hidupnya.


on October 25, 2025 by pecinta handal |