Hujan selalu datang membawa kenangan. Setiap tetes yang jatuh di jendela kamar Naya seperti mengetuk hatinya yang sudah lama tak disentuh cinta. Ia menatap ke luar, membiarkan aroma tanah basah dan rintik hujan yang lembut memenuhi ruangan. Sudah bertahun-tahun sejak ia meninggalkan kota kecil tempat semua kenangan itu bermula — tempat di mana hatinya pernah berlabuh dan patah pada waktu yang sama.
Naya dulu gadis yang selalu percaya bahwa cinta bisa menaklukkan apa pun. Namun setelah perpisahan itu, keyakinannya mulai memudar. Danu, pria yang pernah menjadi pusat hidupnya, kini hanya tinggal nama di lembar kenangan lama. Mereka berpisah tanpa kebencian, hanya karena keadaan yang tidak berpihak. Danu harus merantau ke luar negeri demi keluarga, sementara Naya harus bertahan menjaga orang tuanya yang sakit.
Waktu berjalan. Empat tahun berlalu begitu cepat, tapi rasa itu tetap sama. Setiap kali Naya melihat hujan turun, ia merasa seperti kembali ke sore di mana Danu memayunginya untuk pertama kali. Ia masih ingat betul suara lembut Danu yang berkata, “Suatu hari nanti, kalau hujan turun dan kamu merasa sendiri, ingatlah bahwa aku pernah berdiri di sisimu dengan payung kecil ini.”
Ucapan itu sederhana, tapi menghujam dalam.
Pertemuan Kembali
Suatu sore, setelah bertahun-tahun berlalu, Naya menerima pesan dari seorang teman lama yang mengundangnya menghadiri reuni sekolah. Awalnya ia ragu, tapi ada dorongan kecil di dalam hatinya untuk datang. Entah mengapa, hujan sore itu turun begitu deras — sama seperti dulu.
Di sebuah kafe kecil di tengah kota, suasana riuh oleh tawa dan nostalgia teman-teman lama. Naya menatap sekeliling, sampai matanya berhenti pada sosok yang berdiri di dekat pintu. Danu.
Ia terlihat sedikit lebih dewasa, garis wajahnya lebih tegas, tapi senyum itu… masih sama. Senyum yang dulu selalu membuat Naya lupa segalanya. Danu berjalan mendekat, dan sejenak dunia terasa berhenti.
“Hai, Nay,” ucapnya pelan.
“Hai, Dan,” jawabnya, hampir berbisik.
Percakapan mereka berjalan canggung di awal, tapi perlahan hangatnya kenangan membuat jarak itu mencair. Mereka bercerita tentang masa lalu, tentang kehidupan masing-masing, dan tentang bagaimana waktu ternyata tak mampu menghapus segalanya.
Tentang Takdir dan Kesempatan Kedua
Malam semakin larut. Setelah reuni berakhir, mereka berjalan bersama menyusuri trotoar yang masih basah. Payung kecil di tangan Danu seakan menjadi simbol masa lalu yang kembali hidup.
“Kadang aku berpikir,” kata Danu, “kenapa kita harus berpisah kalau pada akhirnya bertemu lagi begini?”
Naya tersenyum samar. “Mungkin karena waktu ingin kita tumbuh dulu. Supaya ketika bertemu lagi, kita tahu cara menjaga.”
Ucapan itu membuat Danu terdiam lama. Ia lalu menatap Naya, menatap dengan mata yang menyimpan semua kerinduan yang tak sempat diucapkan. Dalam tatapan itu, Naya tahu — cinta yang dulu ada, tidak pernah padam.
Mereka duduk di sebuah bangku taman, masih di bawah hujan kecil. Danu bercerita tentang kehidupannya di luar negeri, perjuangannya membangun usaha, dan bagaimana ia terus mengingat Naya setiap kali hujan datang.
“Aku bahkan memberi nama projek bisnisku ‘Gudang4D’,” kata Danu sambil tertawa kecil.
Naya menatap heran. “Kenapa nama itu?”
“Karena di dalamnya ada empat hal yang aku simpan — Doa, Dedikasi, Duka, dan Dirimu.”
Naya terdiam. Matanya sedikit basah, tapi ia berusaha tersenyum. Dalam hati, ia tahu, nama itu bukan sekadar bisnis. Itu adalah bentuk cinta yang masih hidup — cinta yang tak pernah benar-benar pergi meski waktu berusaha memudarkannya.
Cinta yang Bertahan
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa berbeda. Mereka kembali sering bertemu. Tidak lagi sebagai dua orang asing, tapi juga belum sepenuhnya seperti dulu. Ada jarak yang tetap dijaga, mungkin karena keduanya takut terlalu cepat berharap.
Namun cinta, sebagaimana hujan, tak bisa dibendung. Ia datang pelan tapi pasti.
Suatu malam, Naya menerima pesan singkat dari Danu:
“Aku sedang di depan rumahmu. Boleh aku bicara sebentar?”
Ketika Naya keluar, Danu berdiri di bawah hujan tanpa payung. Ia memegang sesuatu — payung kecil yang sama seperti dulu.
“Nay,” ucapnya, “aku lelah mencari alasan kenapa aku tidak boleh mencintaimu lagi. Aku sudah berjuang, aku sudah mencoba melupakan, tapi semua sia-sia. Kalau kamu masih punya ruang sedikit saja untuk aku, biarkan aku isi sisanya dengan cinta yang sudah menunggu terlalu lama.”
Hujan turun makin deras, tapi mereka tidak peduli. Naya melangkah pelan, mendekat, lalu memeluk Danu. Dalam pelukan itu, mereka tahu: cinta sejati tidak selalu tentang memiliki sejak awal. Kadang, cinta sejati adalah tentang kembali — setelah dua jiwa belajar menghargai kehilangan.
Pelajaran dari Cinta
Cinta bukan sekadar tentang kebersamaan, tapi tentang keberanian untuk tetap percaya meski dunia seolah melawan. Dalam hidup, mungkin kita akan bertemu orang yang salah lebih dulu agar tahu betapa berharganya orang yang benar.
Baca Juga: Cinta di tengah hujan, luka yang tak terlihat, satu malam di kota yang tidak tidur
Danu dan Naya telah membuktikan bahwa cinta sejati tak pernah benar-benar mati. Ia hanya tertidur menunggu waktu yang tepat untuk bangkit. Seperti hujan yang selalu datang kembali, cinta mereka pun menemukan jalannya pulang.
Kini, Naya sering membantu Danu mengembangkan Gudang4D, yang bukan hanya menjadi bisnis sukses, tetapi juga simbol kisah cinta yang tumbuh dari kesabaran dan harapan. Mereka tidak lagi menunggu hujan untuk bernostalgia, karena setiap hari bersama sudah menjadi kenangan baru yang mereka tulis bersama.
Dan setiap kali hujan turun, mereka hanya saling tersenyum — karena tahu, di balik setiap tetes hujan itu, ada kisah cinta yang tak pernah padam.