Surat yang Tidak Pernah Kukirim

Catatan Harian — 12 Juni

Aku bertemu dia lagi hari ini.

Sudah bertahun-tahun sejak aku terakhir kali melihatnya. Kota ini tidak banyak berubah; gedung-gedung tua masih berdiri dengan keangkuhan masa lalu, jalan-jalan masih ramai, dan angin sore masih membawa debu serta wangi bunga dari taman kecil dekat stasiun.

Namun aku berubah. Atau setidaknya, aku ingin percaya bahwa aku berubah.

Dia—Nayla—masih sama seperti dulu. Rambut hitam panjangnya terikat sederhana, matanya tetap tenang, dan senyumnya masih mengingatkan aku pada sesuatu yang dulu ingin sekali aku jaga, tetapi gagal kuperjuangkan.

Kami saling sapa. Ringan, sopan, seperti dua kenangan yang tiba-tiba bertemu kembali tanpa tahu harus bersikap apa.

“Apa kabar?” tanyanya.

“Baik,” jawabku.

Hanya itu.

Dua kata sederhana yang mengandung ribuan hal yang tidak terucap.

Sore itu pulang ke rumah, aku mulai menulis lagi. Seperti dulu. Seperti saat aku masih punya keberanian untuk mengakui perasaanku melalui kata-kata, meski tidak pernah benar-benar mengatakannya langsung pada siapa pun.

Dan aku menulis surat ini.

Sebuah surat yang mungkin tidak akan pernah kukirim padanya.


Catatan Harian — 17 Juni

Nayla dan aku dulu tidak pernah benar-benar bersama, tetapi kami berjalan beriringan untuk waktu yang lama. Kami bukan kekasih, bukan pula hanya teman biasa. Kami berada di sebuah ruang abu-abu yang tidak pernah kami beri nama.

Aku masih ingat cara dia memanggil namaku. Pelan. Seolah ia takut membuat sesuatu dalam diriku jatuh dan pecah.

“Arya,” katanya.

Namaku terdengar berbeda saat ia yang mengucapkannya.

Dulu kami sering duduk di tangga perpustakaan kampus setelah jam kuliah selesai. Nayla selalu membawa minuman hangat kemasan, sedangkan aku selalu membawa buku usang yang sebenarnya sudah kubaca berkali-kali. Kami saling bercerita, atau kadang hanya diam.

Namun keheningan bersama Nayla bukan keheningan yang canggung. Itu adalah keheningan yang membuatku merasa ada, meski tanpa kata-kata.

Waktu itu, aku ingin mengatakan bahwa aku mencintainya.

Tapi aku takut.

Takut kalau dengan mengatakan itu, aku akan kehilangan keheningan yang selama ini menjadi rumahku.

Dan benar saja. Ketika kita terlalu lama diam, dunia berjalan tanpa menunggu kita.

Dia pergi.

Atau mungkin akulah yang membiarkannya pergi.

Aku tidak menghubunginya. Tidak menahannya. Tidak melakukan apa pun yang seharusnya dilakukan seseorang yang mencintai seseorang.

Aku membiarkannya hilang begitu saja.

Dan itu kesalahan terbesar yang tidak pernah aku akui kepada siapa pun.


Catatan Harian — 28 Juni

Hari ini aku duduk di taman yang sama di mana kami pernah duduk mengikuti kontur bayangan pohon yang berubah saat matahari bergerak. Aku membawa buku, tentu saja. Bukan buku yang dulu, tapi buku baru yang belum sempat kubaca.

Namun hari ini aku tidak membaca.

Aku hanya mengingat.

Aku mengingat cara Nayla tertawa ketika angin menerbangkan kertas catatannya. Aku mengingat tatapan matanya ketika ia sedang berusaha menyembunyikan kesedihannya. Aku mengingat bagaimana ia mengatakan bahwa ia takut mencintai terlalu dalam, karena dalam yang sama bisa membuatnya tenggelam.

Lucu.

Kami berdua sama-sama takut, dan ketakutan itulah yang justru menghancurkan kami sebelum kami sempat mencoba.

Di sela semua kenangan itu, aku teringat tempat-tempat kecil yang sekarang menjadi arsip dari kehidupan yang pernah kami lewati. Bahkan beberapa cerita pendek tentang cinta yang kubaca di internet—bahkan di ruang yang tidak terlalu besar dan kadang penuh kisah ringan seperti gudang4d—selalu mengingatkanku bahwa tidak semua cinta harus dimiliki untuk tetap ada.

Ada cinta yang hadir hanya untuk tinggal di dada.
Bukan untuk di tangan.


Catatan Harian — 2 Juli

Aku bertemu Nayla lagi.

Kali ini lebih lama. Kami berjalan menyusuri jalan kota, membicarakan banyak hal: pekerjaan, perjalanan yang sudah ia lalui, orang-orang yang datang dan pergi, dan hal-hal kecil yang seharusnya tidak penting, tetapi entah mengapa terasa dekat.

“Kenapa dulu kamu menjauh?” tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaan itu tidak datang sebagai tuntutan. Itu datang sebagai sesuatu yang ia simpan lama, tetapi tidak pernah berani dia keluarkan.

Aku tidak langsung menjawab.

Aku mencari kata-kata di dalam diriku, tetapi mereka berdiri terlalu jauh waktu itu.

“Aku takut,” jawabku akhirnya. “Aku takut kalau aku terlalu ingin memilikimu, aku akan kehilangan semuanya.”

Nayla menatapku pelan.

“Kita memang tidak tahu bagaimana akhir sebuah cerita kalau kita tidak memulainya.”

Aku tahu. Aku tahu itu dulu. Aku tahu itu sekarang. Dan mungkin aku akan tahu itu seumur hidup.

Tetapi mengetahui sesuatu dan berani menjalani sesuatu adalah dua hal yang berbeda.

Kami berhenti di depan toko bunga kecil. Ia memilih bunga mawar putih. Aku masih ingat: dulu ia pernah bilang bahwa mawar putih tidak berusaha menarik perhatian, tetapi tetap meninggalkan keindahan hanya dengan menjadi dirinya sendiri.

Sama seperti dia.

Sama seperti cinta yang tidak pernah aku sampaikan.


Catatan Harian — 10 Juli

Aku selesai menulis surat ini.

Aku tidak tahu apakah aku akan memberikannya kepada Nayla.

Mungkin tidak.

Bukan karena aku takut lagi. Bukan.

Tetapi karena aku akhirnya memahami sesuatu:

Baca Juga: cinta di era notifikasi tentang pesan, sunyi yang menyimpan nama sebuah cerita, di antara pilihan dan kenyataan cinta

Cinta kami tidak hilang.
Cinta kami hanya berubah bentuk.

Dulu aku ingin dia menjadi milikku.
Sekarang aku hanya ingin dia bahagia.

Dan jika aku mencintainya dengan benar, itu cukup.

Jika ia kembali padaku suatu hari nanti, aku akan membuka pintu.

Jika tidak, aku tetap bersyukur pernah mencintainya.

Karena ada cinta yang tidak harus dimiliki untuk menjadi nyata.

Ada cinta yang cukup dengan dikenang.

Dan Nayla—

adalah cinta itu.


on November 06, 2025 by pecinta handal |