Cinta di masa sekarang berbeda.
Dulu, cinta butuh keberanian untuk menatap mata seseorang. Sekarang, cukup dengan menekan tombol “follow”, “like”, atau mengirim emoji hati.
Namun anehnya, di balik semua kemudahan itu, cinta justru terasa semakin sulit.
Ini cerita tentang Mara dan Bima, dua orang yang bertemu di tengah dunia yang serba cepat, tapi tenggelam dalam lambatnya perasaan.
Bukan kisah cinta klise, melainkan kisah tentang kehilangan arah di antara notifikasi yang tak pernah berhenti berbunyi.
I. Pertemuan di Dunia yang Serba Digital
Mara bekerja sebagai social media strategist di sebuah agensi kreatif.
Hidupnya penuh layar, jadwal posting, engagement rate, dan deadline.
Cinta? Ia bahkan tak punya waktu untuk bertanya apakah dirinya masih percaya padanya.
Sampai suatu hari, ia bertemu Bima — seorang penulis lepas yang datang ke kantornya untuk proyek kampanye digital.
Mereka berkenalan lewat rapat daring. Tak ada tatapan langsung, hanya suara di balik layar dan nama yang muncul di kotak kecil aplikasi konferensi video.
Namun sejak pertemuan pertama itu, ada sesuatu dalam suara Bima yang membuat Mara merasa hangat.
Bima berbeda. Ia tidak sibuk mengejar viralitas, tapi kejujuran.
Ia menulis seperti orang yang berbicara dari dalam dirinya sendiri, bukan untuk mencari perhatian, melainkan untuk menemukan makna.
“Cinta sekarang seperti konten,” kata Bima suatu kali, dalam obrolan ringan setelah rapat. “Semua orang ingin tampil sempurna, padahal yang paling jujur seringkali tidak laku.”
Mara tertawa kecil. “Dan kita semua terjebak di dalamnya.”
II. Dari Chat Menuju Keintiman yang Tak Terencana
Percakapan mereka berlanjut. Awalnya profesional, lama-lama personal.
Mereka berbagi cerita: tentang kerja yang melelahkan, masa kecil yang tak sempat sembuh, dan impian yang belum sempat diwujudkan.
Setiap malam, notifikasi dari Bima menjadi hal yang paling ditunggu Mara.
Mereka tidak pernah menyebut kata “cinta”, tapi setiap kata membawa kehangatan yang sulit didefinisikan.
Bima sering mengirimkan kalimat sederhana seperti, “Sudah makan?” atau “Jangan lupa istirahat.”
Bagi orang lain mungkin biasa, tapi bagi Mara, itu lebih tulus dari semua kata romantis yang pernah ia baca di media sosial.
Suatu malam, Bima menulis,
“Aku percaya cinta itu seperti peluang. Tidak selalu datang dua kali, tapi kalau kamu berani, mungkin kamu bisa menang sekali seumur hidup. Seperti bermain di Gudang4D — kamu tidak tahu hasilnya, tapi kamu tetap berharap, kan?”
Mara terdiam lama membaca pesan itu. Ia tahu, kalimat itu lebih dari sekadar metafora. Itu perasaan yang mulai tumbuh, tapi belum berani diucapkan.
III. Jarak yang Tidak Terlihat
Seiring waktu, hubungan mereka semakin dekat — tapi hanya lewat layar.
Mara di Jakarta, Bima di Yogyakarta.
Mereka belum pernah bertemu langsung, meski sudah berbagi banyak hal: foto, tulisan, bahkan rencana yang belum sempat diwujudkan.
Namun seperti banyak hubungan digital lainnya, ada batas tak kasat mata yang sulit ditembus.
Ketika Mara mulai berharap lebih, Bima justru mulai menjauh. Pesan-pesan yang dulu cepat dibalas, kini sering dibiarkan lama.
Notifikasi yang dulu membuat Mara tersenyum, kini membuatnya cemas.
Sampai suatu malam, pesan terakhir dari Bima datang.
“Aku harus berhenti, Mar. Aku takut terus menulis hal-hal yang tidak bisa aku wujudkan.”
Setelah itu, sunyi. Tidak ada kabar lagi.
Akun media sosialnya tetap aktif, tapi Mara tahu, ia tak lagi menjadi bagian dari cerita Bima.
IV. Tentang Cinta yang Tersisa di Inbox
Mara mencoba melanjutkan hidupnya.
Ia kembali tenggelam dalam pekerjaan, kampanye digital, dan rapat-rapat tanpa akhir.
Namun di sela semua itu, ada rasa kosong yang sulit dijelaskan.
Ia sering membuka kembali percakapan lama mereka — bukan untuk mengingat, tapi untuk memastikan bahwa semua itu benar-benar pernah terjadi.
Dalam dunia yang serba cepat, cinta mereka terasa seperti jeda.
Dan mungkin, itu yang membuatnya begitu berarti.
Suatu malam, Mara menulis di catatan ponselnya:
“Cinta tidak selalu harus diakhiri dengan kepastian. Kadang, ia hanya hadir untuk mengingatkan kita bahwa hati masih bisa bergetar.”
Ia menutup catatan itu, lalu menatap layar kosong.
Entah kenapa, ia merasa seperti baru selesai menulis bab terakhir dari kisah yang tidak akan diterbitkan.
V. Dunia yang Terus Berputar
Tahun berganti.
Mara naik jabatan, hidupnya terlihat stabil. Namun di dalam dirinya, ada ruang kecil yang tetap kosong — ruang yang tidak bisa diisi oleh siapa pun, karena sudah pernah dihuni oleh sesuatu yang tidak bernama.
Suatu hari, saat menunggu pesawat di bandara, ia melihat seseorang yang familiar.
Bima.
Ia tampak sama — sederhana, tenang, dengan buku catatan di tangan.
Mara terpaku, antara ingin menyapa atau berpura-pura tidak mengenal. Tapi sebelum ia sempat mengambil keputusan, Bima menoleh, dan mata mereka bertemu.
Mereka tersenyum.
Tidak ada pelukan, tidak ada pertanyaan, tidak ada penjelasan.
Hanya dua orang yang pernah saling mengenal, kini cukup dewasa untuk mengerti bahwa beberapa pertemuan tidak butuh kata-kata.
Bima sempat melambaikan tangan, lalu pergi ke arah gerbang keberangkatannya.
Mara duduk kembali. Ia menatap langit-langit bandara yang tinggi, lalu tersenyum kecil.
Mungkin memang begini cara cinta bekerja — datang tanpa permisi, pergi tanpa penjelasan, tapi meninggalkan sesuatu yang abadi di dalam diri kita.
VI. Refleksi: Tentang Keberanian Mencintai
Cinta di era modern bukan hanya tentang siapa yang kita temui, tapi juga tentang siapa yang berani kita perjuangkan di tengah ketidakpastian.
Di antara notifikasi, algoritma, dan kebisingan dunia digital, masih ada ruang untuk perasaan yang tulus.
Namun tak semua cinta harus dimiliki.
Kadang, cinta hanya datang untuk mengajarkan arti keberanian — keberanian untuk berharap, untuk percaya, dan untuk melepaskan.
Seperti hidup yang terus berputar, seperti roda keberuntungan di Gudang4D, kita tidak pernah tahu hasil akhirnya.
Tapi selama kita berani mencoba, selalu ada kemungkinan bahwa cinta akan menemukan jalannya sendiri.
VII. Penutup
Cinta bukan algoritma. Ia tidak bisa diprediksi atau diukur dengan data.
Cinta adalah kesalahan yang indah, kekacauan yang kita izinkan, dan harapan yang tak mau mati.
Mara mungkin tidak pernah benar-benar memiliki Bima, tapi ia belajar sesuatu yang jauh lebih penting:
bahwa mencintai seseorang, meski hanya sebentar, bisa mengubah cara kita memandang dunia selamanya.
Dan di dunia yang penuh suara, cinta seperti itu adalah bentuk keheningan yang paling indah.