Cerita Cinta: Antara Janji, Waktu, dan Kenangan yang Tak Pernah Padam

Malam itu, langit tampak penuh bintang, seperti biasa. Namun bagi Raka, malam itu terasa berbeda. Ia duduk di bangku taman yang dulu menjadi saksi pertemuannya dengan Dara. Angin malam membawa aroma bunga kenanga yang lembut, mengingatkannya pada senyum gadis itu — senyum yang dulu mampu menenangkan segala resah dalam dirinya. Sudah dua tahun berlalu sejak perpisahan mereka, namun setiap kenangan masih terpatri jelas, seolah baru kemarin mereka berbagi tawa di tempat yang sama.

Raka dan Dara bertemu di sebuah perpustakaan kampus. Saat itu, Raka sedang mencari buku lama tentang sastra klasik Indonesia. Ia terkejut ketika melihat seorang gadis dengan rambut panjang tergerai duduk di sudut ruangan, menunduk dalam diam sambil menulis sesuatu di buku catatannya. Ada ketenangan yang memancar dari wajah gadis itu. Dalam hati, Raka tahu, ia baru saja melihat seseorang yang akan mengubah hidupnya.

Hari demi hari, mereka mulai sering berpapasan. Kadang di perpustakaan, kadang di kafe kecil depan kampus. Dari sekadar senyum, berlanjut menjadi percakapan singkat, lalu tumbuh menjadi kebiasaan untuk duduk bersama setiap sore. Mereka berbicara tentang banyak hal — puisi, hujan, mimpi, dan arti dari kehilangan. Dara memiliki cara tersendiri dalam memandang dunia. Bagi Raka, setiap kata yang keluar dari bibirnya seperti melodi yang tak pernah ia bosan dengar.

Baca Juga: ketika cinta datang terlambat, cinta di antara dua dunia, senja terakhir di kafe kota sebuah

Suatu sore, di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga, Raka mengungkapkan perasaannya. Dengan gugup, ia berkata bahwa kehadiran Dara telah membuat hidupnya lebih berarti. Dara terdiam sejenak, lalu menatapnya lembut. “Kau tahu, Raka,” ucapnya pelan, “aku tidak pernah percaya cinta akan datang pada waktu yang tepat. Tapi mungkin, denganmu, aku ingin percaya sekali lagi.”

Sejak saat itu, mereka resmi bersama. Hari-hari terasa penuh warna. Setiap pagi, Raka menjemput Dara ke kampus dengan sepeda motornya yang tua, dan setiap sore mereka pulang sambil tertawa, berbagi cerita tentang dosen yang terlalu serius atau teman yang lucu. Hidup terasa sederhana, namun bahagia.

Namun, kebahagiaan tak selamanya abadi. Setelah kelulusan, Dara menerima tawaran kerja di kota lain. Awalnya mereka sepakat untuk menjalani hubungan jarak jauh. Raka berjanji akan datang setiap akhir pekan, meski jarak ratusan kilometer memisahkan. “Cinta tak diukur dari jarak,” kata Raka waktu itu, “tapi dari seberapa kuat kita menjaga janji.” Dara mengangguk, dan dengan air mata yang tertahan, mereka berpisah di stasiun.

Bulan-bulan pertama terasa baik-baik saja. Mereka masih sering bertelepon, saling mengirim pesan panjang sebelum tidur. Namun, seiring waktu, jarak mulai mengikis segalanya. Kesibukan Dara di kantor membuatnya jarang membalas pesan Raka. Sementara Raka, yang sibuk mencari pekerjaan di kota asalnya, mulai merasa kehilangan arah. Ia rindu, tapi tak tahu bagaimana mengekspresikannya tanpa membuat Dara merasa terbebani.

Sampai suatu malam, pesan dari Dara datang. “Raka, mungkin kita harus berhenti dulu. Aku lelah menjaga sesuatu yang terasa semakin jauh. Aku masih sayang, tapi aku tak lagi tahu apakah ini masih cinta.”

Kalimat itu seperti pisau yang menembus hati Raka. Ia membaca berulang kali, berharap ada kata maaf di ujung pesan, tapi tak ada. Sejak malam itu, Dara menghilang dari hidupnya — tanpa kabar, tanpa perpisahan yang pantas. Raka sempat mencoba menghubungi, tapi pesannya tak pernah dibalas lagi.

Waktu berjalan lambat setelah itu. Raka mencoba mengisi hari-harinya dengan berbagai hal. Ia bekerja, bertemu teman lama, bahkan mencoba menulis cerita seperti dulu yang sering ia baca bersama Dara. Tapi setiap kali pena menari di atas kertas, bayangan Dara selalu muncul. Ia menulis untuk melupakan, tapi semakin banyak menulis, semakin dalam kenangan itu menancap. Ia belajar bahwa cinta tak selalu harus dimiliki; kadang cukup dikenang, seperti lagu lama yang tak pernah benar-benar dilupakan.

Suatu malam, ketika hujan turun deras, Raka membuka buku catatan lama. Di dalamnya, ia menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan Dara: “Jika suatu hari aku tak lagi di sampingmu, jangan berhenti percaya pada cinta. Karena cinta sejati tak pernah benar-benar pergi, ia hanya berdiam di tempat yang tenang — menunggu untuk ditemukan kembali.”

Air matanya jatuh tanpa suara. Ia tahu, mungkin Dara sudah bahagia dengan kehidupannya sekarang. Tapi bagi Raka, cinta itu masih hidup — bukan karena ia tak bisa move on, tapi karena rasa itu tulus sejak awal. Cinta, baginya, bukan tentang siapa yang akhirnya tinggal, tapi siapa yang pernah membuatnya percaya pada keajaiban perasaan itu.

Waktu berlalu cepat. Lima tahun kemudian, Raka sudah menjadi penulis terkenal. Ia menulis banyak kisah cinta yang lahir dari luka masa lalunya. Dalam setiap bukunya, selalu ada satu kalimat yang sama: “Untuk seseorang yang pernah mengajarkanku bahwa cinta bisa seindah senja.” Pembaca tak pernah tahu siapa yang dimaksud, tapi bagi Raka, itu selalu tentang Dara.

Suatu hari, ia menerima undangan menghadiri peluncuran buku di kota lain. Di sana, di antara kerumunan, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Dara — dengan senyum yang sama, meski waktu telah banyak mengubah. Mereka saling berpandangan tanpa kata, hanya ada keheningan yang penuh makna. Setelah acara selesai, Dara menghampirinya. “Raka,” katanya lembut, “aku baca semua bukumu. Aku tahu, semua itu tentang kita.”

Raka hanya tersenyum. “Mungkin,” jawabnya singkat. “Tapi yang pasti, semua itu tentang cinta yang tak pernah salah datang, hanya datang di waktu yang berbeda.”

Mereka berbincang lama malam itu. Tak ada dendam, tak ada penyesalan. Hanya dua orang yang pernah saling mencintai, kini berdiri dewasa dengan hati yang sudah belajar menerima. Dara bercerita bahwa ia sudah menikah dan punya satu anak. Raka mendengarkan dengan tulus, tanpa rasa iri. Ia tahu, hidup memang tak selalu memberi kita akhir yang kita inginkan, tapi selalu memberi pelajaran yang kita butuhkan.

Sebelum berpisah, Dara berkata, “Terima kasih, Raka. Karena pernah mencintaiku dengan begitu dalam. Mungkin kalau bukan karena kamu, aku takkan tahu apa arti cinta yang sesungguhnya.”

Raka menatapnya, lalu berkata pelan, “Terima kasih juga, Dara. Karena sudah membuatku percaya bahwa cinta, meski berakhir, tak pernah benar-benar mati.”

Malam itu, Raka berjalan sendiri di bawah lampu jalan yang temaram. Di tangannya, ia menggenggam buku catatan kecil — tempat ia menulis ide-ide baru untuk cerita selanjutnya. Dan di halaman pertama, ia menulis satu kalimat yang mungkin hanya dia sendiri yang mengerti:
“Dalam setiap cinta yang pergi, selalu ada kenangan yang tetap tinggal. Seperti jejak hujan di kaca jendela yang tak bisa dihapus begitu saja.”

Hidup terus berjalan. Raka tahu, suatu hari nanti, mungkin ia akan menemukan seseorang lagi. Tapi cinta pada Dara akan selalu menjadi bagian dari dirinya — bukan sebagai luka, melainkan sebagai kisah yang membentuk siapa dirinya sekarang.

Di dunia ini, cinta datang dengan cara yang aneh. Kadang terlambat, kadang terlalu cepat, tapi selalu meninggalkan jejak yang abadi. Seperti halnya Raka dan Dara, dua jiwa yang pernah saling bertemu, mencinta, lalu berpisah, tapi tak pernah benar-benar saling melupakan. Dan di balik semua itu, Raka menyadari satu hal penting: bahwa setiap rasa yang tulus akan selalu menemukan jalannya — entah melalui waktu, kenangan, atau bahkan melalui tulisan-tulisan yang ia bagikan ke dunia.

Dan di akhir kisahnya, Raka menulis kalimat penutup yang menjadi pengingat bagi semua pembacanya:
“Cinta sejati bukan tentang siapa yang datang pertama atau bertahan paling lama, tapi tentang siapa yang membuatmu menjadi dirimu yang terbaik.”

Cinta, seperti hidup, selalu bergerak. Ia tidak butuh kepastian, hanya keikhlasan. Dan selama hati masih mampu mencintai dengan tulus, maka cinta itu akan selalu hidup — bahkan di antara kata-kata yang tak pernah diucapkan.

Begitulah kisah cinta Raka dan Dara. Sebuah cerita yang tak sempurna, namun indah dalam ketidaksempurnaannya. Sebuah kisah yang lahir dari kejujuran, tumbuh dari kehangatan, dan abadi dalam kenangan. Sama seperti kehidupan, cinta selalu memberi ruang untuk belajar, untuk memaafkan, dan untuk terus melangkah — meski hati pernah patah.

Dan di sela-sela pekerjaannya menulis, Raka kadang membuka situs gudang4d hanya untuk mencari inspirasi dari kisah-kisah kehidupan orang lain yang penuh warna. Karena bagi seorang penulis sepertinya, setiap pengalaman, sekecil apa pun, bisa menjadi bahan untuk memahami makna cinta yang sejati.


on November 04, 2025 by pecinta handal |