Prolog: Peti Kayu di Loteng
Pada suatu senja yang menua, aku naik ke loteng rumah peninggalan Ibu. Debu jatuh seperti salju malas ketika aku menarik napas. Di sudut paling jauh, ada sebuah peti kayu yang tak seberapa besar, diikat tali rami dan bau kayunya menyimpan musim yang tak tercatat. Peti itu berderik saat kubuka, memperlihatkan tumpukan kertas, pita kaset, selembar tiket kereta yang setengah pudar, juga seuntai pita rambut berwarna biru. Di atas semuanya, ada amplop tanpa perangko bertuliskan: “Untuk yang masih percaya pada hujan.”
Begitulah kutemukan kisah ini: bukan lewat kenangan yang waras, melainkan arsip yang berserakan. Dan dari arsip itu, perlahan-lahan tumbuh sebuah cerita cinta—bukan yang meriah oleh perayaan, melainkan yang bersinar pelan, seperti lampu gang yang menyala lebih lama dari yang diizinkan malam.
Item 01: Surat yang Tidak Pernah Terkirim (April)
Aku menyalinnya di sini dengan ejaan apa adanya.
Yang terkasih,
Aku baru pulang dari toko buku tua di ujung pasar. Di sana, di rak paling bawah, kutemukan novel yang dulu pernah kau titip sebut: kisah tentang dua orang yang belajar membaca gerimis. Sampulnya retak-retak, seperti peta yang menunjukkan jalan pulang ke masa lalu.
Aku membayangkan kau berdiri di ambang pintu toko, tidak membeli apa-apa, hanya menandai waktu dengan menatap debu menari di cahaya sore. Dulu, kita menyebut debu itu “salju tropis”. Kau selalu punya nama untuk hal-hal yang sepele. Barangkali karena itu aku menyukaimu: kau mengajarkan aku menyapa yang kecil.
Jika besok hujan, maukah kau menemuiku di kafe di seberang jembatan? Kita tidak perlu bicara banyak. Aku akan membawa payung. Kau boleh datang tanpa alasan.
P.S. Aku menabung keberanian dalam amplop ini. Jika surat ini tidak pergi, mungkin karena keberanian itu belum cukup.
— A
Aku menutup surat itu dengan perlahan, seperti orang menutup luka yang belum selesai. Di sudut amplop, ada bekas air—mungkin tumpahan teh, mungkin air mata. Aku tidak bertanya lebih jauh. Pada kisah-kisah tertentu, pertanyaan hanya akan menambah jarak.
Item 02: Memo Tempel di Kulkas (Mei)
Kertas-kertas kecil dengan tinta spidol hitam. Tulisan berbeda dari surat pertama: lebih tegas, setengah tergesa.
-
Ingat: beli jeruk dan cabai. Dan keberanian.
-
Catatan: kafe seberang jembatan punya roti dengan lubang di tengah—kau bilang itu lucu karena mirip pagi yang lupa bangun.
-
Pertanyaan: mengapa setiap kali kau tertawa, jendela tampak lebih lebar?
-
Rencana: besok, jika hujan, bertemu pukul 16.00. Aku akan duduk di meja dekat rak majalah.
Memo terakhir digarisbawahi dua kali. Di ujung bawah, ada kata yang disisipkan di antara coretan belanja:
-
Kata sandi hari ini: gudang4d
Aku tersenyum sendiri ketika membacanya. Mungkin itu semacam lelucon rahasia di antara mereka, atau sekadar sandi konyol agar mereka saling mengakui di dunia yang makin bising. Kata itu tampak seperti kunci yang diselipkan di pot bunga, sederhana namun menentukan.
Item 03: Transkrip Pita Kaset (Juni)
Aku menemukan sebuah pita kaset dengan label: “Siaran Radio Fana—Episode Hujan.” Suaranya serak, durasi tersisa enam belas menit. Kurekam kembali dengan tulisan:
Penyiar: Selamat malam para pendengar. Ini Radio Fana, tempat kita menitipkan yang belum sempat. Malam ini, ada pendengar yang mengirimkan sepucuk cerita.
Pengirim (suara perempuan): Aku selalu menunggu hujan seperti menunggu panggilan telepon. Ada denting tertentu pada atap seng yang membuatku percaya, seseorang sedang mendekat. Aku bertemu dia di kafe seberang jembatan—kedengarannya klise, tapi begitulah hidup bekerja, bukan? Klise adalah cara semesta membuat kita merasa akrab.
Dia duduk membawa payung dan buku yang sampulnya retak. Kami tidak saling menyapa. Hanya menatap hujan yang turun seperti paku—rapat, menempel, menyatukan dua papan waktu yang sebelumnya renggang.
Kami berbicara perihal hal-hal buruk: harga beras, televisi yang memantulkan wajah terlalu jujur, dan tentang jam dinding yang selalu lebih cepat tiga menit. Namun, di sela itu, ada senyum yang pelan. Semacam lampu di bawah pintu.
Penyiar: Apakah dia mencintaimu?
Pengirim: Cinta, kurasa, bukan soal jawaban. Ia adalah kebiasaan lama yang tiba-tiba mengaku ingin bertobat: duduk, diam, menunggu kesempatan untuk baik. Kami pulang tanpa nomor telepon. Kami percaya pada kemungkinan lain—pada hujan berikutnya.
Pita itu berhenti dengan bunyi klik yang kecil, seperti pena yang kehilangan kalimat. Tapi aku bisa mendengar gema: bukan dari alat rekam, melainkan dari jeda yang mereka biarkan tumbuh.
Item 04: Lembar Catatan Kerja (Juli)
Di antara arsip, ada lembaran catatan kerja. Kolom-kolomnya berisi angka penjualan, daftar pelanggan, dan rencana promosi. Namun di margin kiri, ada coretan lembut:
“Jika aku menukar semua angka ini dengan satu petang yang lebih panjang, apakah kau mau menungguku di kafe yang sama? Aku tidak akan membicarakan strategi lagi. Aku ingin bicara tentang alasan. Mengapa seseorang memilih bertahan. Mengapa seseorang memutuskan pulang.”
Di pojok kanan bawah, ada gambar payung kecil. Garisnya ringkih, tapi terasa kukuh. Seperti orang yang belum sanggup percaya, namun sudah menyiapkan kepercayaan.
Item 05: Laporan Singkat dari Orang Ketiga (Agustus)
Ini bagian paling aneh dalam peti itu: selembar kertas tanpa nama, seperti laporan singkat seorang pengamat.
Subjek A dan Subjek B bertemu di kafe seberang jembatan sebanyak empat kali dalam satu bulan. Mereka tidak pernah berpelukan di tempat umum. Mereka tidak pernah berfoto bersama. Namun pelayan kafe mengatakan, “Jika mereka duduk di meja itu, hujan selalu bertahan lebih lama.”
Pada pertemuan keempat, Subjek A membawa novel bersampul retak. Subjek B membawa jeruk. Mereka saling menukar barang. Novel dan jeruk menjadi dua benda yang terlihat asing di tangan masing-masing, namun anehnya cocok.
Kesimpulan sementara: cinta adalah peristiwa pertukaran antara yang rapuh dan yang segar, dengan hujan sebagai saksi yang tidak pernah lelah.
Aku tidak tahu siapa yang menulis catatan itu. Mungkin seorang teman yang usil, mungkin diriku sendiri di masa yang lebih muda. Tapi laporan ini membuatku mengerti satu hal: cinta kerap perlu diteliti untuk diselamatkan, meski pada akhirnya ia hanya ingin dinikmati.
Item 06: Tiket Kereta Tanpa Tujuan (September)
Tiket itu lusuh, tanggalnya sudah jauh berlalu. Di baliknya ada tulisan pensil:
“Jika kereta berangkat pukul 19.40, dan kita naik tanpa bertanya ke mana, apakah kota yang menerima kita akan cukup baik untuk menampung dua orang yang masih belajar percaya? Aku punya peta yang setengahnya kosong. Maukah kau menggambar sisanya?”
Membaca itu, aku merasakan sesuatu mengetuk dari dalam dadaku. Dalam kesunyian, aku menjawab, terlambat bertahun-tahun: ya, aku mau. Bukan karena aku tahu ke mana harus pergi, melainkan karena aku percaya perjalanan lebih dulu mengajarkan kita menjadi manusia, baru kemudian kekasih.
Item 07: Halaman Buku Harian (Oktober)
Tulisan ini lebih rapi, lebih dewasa. Mungkin ditulis ketika musim bergeser dan angin membawa wangi kayu. Di kepala halaman ada tanggal, lalu kalimat pembuka:
“Hari ini aku belajar membedakan rindu dan gelisah. Rindu menunggu di beranda dengan sandal yang tertata; gelisah mondar-mandir di lorong, lupa menutup pintu.”
Ia menulis tentang bagaimana dia, akhirnya, menghafal jalan dari rumah ke kafe tanpa melihat rambu. Tentang pelayan yang selalu menaruh dua gelas air meski yang datang baru satu. Tentang musik yang sama diputar berulang, namun terasa berbeda ketika seseorang duduk di kursi yang telah diklaim tanpa perjanjian.
Pada paragraf terakhir, ia menulis:
“Barangkali cinta bukan kata benda, melainkan kata kerja yang menolak menjadi selesai. Kita tidak pernah benar-benar ‘punya’ cinta; kita mengerjakannya: mengekspresikan sabar, menambal luka, membersihkan ruang, menaruh kembali kursi. Jika begitu, aku memilih menjadi kata kerja bersamamu.”
Aku berhenti sebentar, membiarkan kalimat itu menyeberangi malam. Lalu kulanjutkan membaca, seolah mematuhi sebuah ritual rahasia.
Item 08: Surat Balasan yang Terkirim (November)
Dari semua arsip, inilah satu-satunya yang memiliki cap pos. Stempel kabur, namun cukup untuk memberi tahu: surat ini pernah menempuh jarak.
Yang terkasih,
Aku membaca semua memo yang kau sisipkan di kulkas seperti menelusuri peta harta karun. Aku mendengar suaramu lewat kaset radio yang kau kirim—serak, jujur, dan sedikit tertawa pada ujung kata, seolah kau menulis udara.
Aku membawa payung dan roti berlubang yang kau suka. Aku juga membeli jeruk; kali ini bukan sebagai pertukaran, tapi sebagai bekal. Kita tidak pernah merencanakan kota mana yang akan menerima kita, tapi aku percaya persinggahan paling penting adalah keberanian.
Jika malam ini turun hujan, datanglah. Jika tidak turun, datanglah juga. Kita yang membuat hujan tinggal lebih lama, kata pelayan kafe itu. Bukankah menggelikan jika kita kalah oleh cerita yang belum selesai?
Sampai jumpa di seberang jembatan.
— B
Kata-katanya sederhana, tapi kurasakan ruang dalam diriku mengembang, seperti payung yang dibuka dari dalam. Terkadang, yang kita perlukan bukan definisi, melainkan janji untuk hadir. Bukan kalimat panjang, melainkan keberanian menyeberang.
Baca Juga: satu surat untuk langit kisah cinta, bintang terakhir di langit kota cerita, suara dari balik radio tua cinta yang
Intermezzo: Tentang Nama-Nama yang Tidak Disebut
Di semua arsip ini, tidak ada nama jelas. Hanya huruf A dan B, hanya alamat kafe seberang jembatan, hanya suara di pita kaset yang meminjam jam siaran. Ada orang-orang yang memilih disimpan di antara inisial—bukan karena malu, melainkan karena ingin setiap pembaca mengisi diri mereka sendiri di sana. Pada titik itu, aku mengerti: arsip ini bukan hanya dokumentasi, melainkan undangan. Siapa pun yang menemuinya, berhak menambahkan satu paragraf kecil, sebuah memo tempel baru, atau baris radio yang disiarkan untuk jarak yang tak terukur.
Item 09: Struk Pembelian Payung (Desember)
Struk itu hampir tak terbaca. Namun ada kalimat tangan di belakangnya:
“Payung ini bukan untuk mengusir hujan, melainkan untuk merawat jarak di antara dua orang agar tetap nyaman. Kita tidak selalu bisa mengubah cuaca, tapi kita bisa menciptakan ruang kecil yang layak dipijak.”
Aku membayangkan mereka berjalan bersama di bawah payung itu, jarak di antara dua bahu menjadi metronom yang menandai langkah. Mungkin mereka tidak banyak bicara. Mungkin mereka lebih sering menunjuk hal-hal kecil: seekor kucing yang tidur di etalase, huruf neon yang padam setengah, jalanan yang berkilat seperti piring kaca.
Item 10: Halaman Terakhir—Bukan Penutup
Biasanya, cerita cinta berakhir ketika dua orang akhirnya berkumpul atau berpisah. Tapi arsip ini, anehnya, menolak penutup. Di lubuk peti, kusadari ada ruang kosong—cukup untuk satu kertas lagi. Aku mengambil pena, menulis dengan pelan:
“Kepada yang masih percaya pada hujan,
Jika kau membaca ini, ketahuilah: tidak semua yang tidak bernama berarti tidak nyata. Tidak semua yang tanpa foto berarti tanpa bentuk. Cinta kerap memilih bersaksi lewat konsistensi: hadir di jam yang sama, memesan roti yang sama, duduk di kursi yang sama, lalu memindahkan semuanya ketika harus pindah.
Bila suatu hari kau ragu, ingatlah bahwa keraguan pun punya musim. Ia datang untuk menguji, bukan untuk meniadakan. Dan ketika musimnya habis, hujan akan kembali: mengetuk atap, memanggil seseorang, menyalakan kembali lampu kecil di bawah pintu.
Bila perlu kata sandi, gunakan apa pun yang bisa kau ingat—sebuah kata konyol yang dulu kau dan dia bagi, atau kata yang baru saja kalian ciptakan. Dunia yang terlalu bising membutuhkan pintu-pintu yang sederhana.
Mari kita titipkan yang belum sempat di sini. Bukan untuk abadi, melainkan agar esok punya pijakan.”
Kukembalikan kertas itu ke peti. Kututup, mengikatnya lagi dengan tali rami. Di luar, langit seperti menimbang: apakah ia akan meneteskan kabar baik atau sekadar sedikit sejuk. Aku menunggu, seperti A dan B pernah menunggu. Dan ketika suara pertama dari hujan akhirnya jatuh, ia terdengar seperti seseorang menyebut namaku dari seberang jembatan.
Epilog: Tentang Menjadi Kata Kerja
Di kota mana pun, di musim apa pun, akan selalu ada kafe kecil tempat orang-orang bertemu tanpa rencana besar. Di sana, cinta mempraktikkan dirinya sebagai kata kerja: mengurangi jarak, menambahkan pengertian, membagi roti, menggandakan payung. Ia bukan konsumsi berita, bukan poster besar, bukan pekik di alun-alun. Ia adalah kebiasaan: menulis memo di kulkas, menyelipkan tiket di dompet, menandai halaman yang kelak ingin dibaca berdua.
Jika kau bertanya apakah A dan B akhirnya “berakhir bersama”, aku tidak punya jawaban. Arsip berhenti sebelum kalimat terakhir. Tapi mungkin justru itu yang membuat kisah ini terus hidup. Kita tidak membaca untuk menemukan titik, melainkan untuk menambah koma. Kita tidak mencari kepastian, melainkan keberanian untuk tetap berjalan ketika tanda tanya bertiup di belakang telinga.
Dan andai pun mereka berpisah, bukankah mereka telah mengajari kita sesuatu? Bahwa cinta yang baik tidak menuntut dunia menjadi jelas terlebih dahulu, melainkan menyempatkan diri untuk hadir dengan jelas di dunia yang tidak pernah sepenuhnya pasti. Bahwa payung bisa bocor, roti bisa habis, kaset bisa putus, namun kebiasaan untuk merawat tetap bisa disusun kembali—selembar kertas demi selembar kertas, memo demi memo, hujan demi hujan.
Aku menutup catatan ini dengan doa yang paling sederhana: semoga kita semua menemukan kafe kecil kita masing-masing, jembatan untuk diseberangi, payung untuk dibuka dari dalam, dan seseorang yang mau menjadi kata kerja bersama kita. Bila perlu kata sandi untuk menguatkan hati, ingatlah satu kata yang pernah diselipkan di antara urusan dapur dan rencana bertemu: gudang4d. Bukan sebagai tautan, bukan sebagai iklan, melainkan sebagai sandi kecil yang menyalakan ingatan: di dunia yang sesak oleh headline, ada cinta yang memilih hidup pelan—arsip yang tak bosan diperdengarkan oleh hujan.