Untuk seseorang yang pernah menjadi rumah,
di mana pun kau berada sekarang.
Aku menulis surat ini dengan pena tua yang dulu kau berikan, yang tinta hitamnya masih menyisakan jejak di ujung jari. Sudah lama aku tak menulis apa pun tentang cinta — bukan karena aku berhenti mencintai, tapi karena cinta kini tak lagi harus diteriakkan. Ia hanya perlu diingat dengan tenang.
Kau tahu, aku masih menyimpan semua suratmu di kotak kayu kecil di bawah tempat tidur. Kotak itu sudah mulai lapuk, tapi aromanya masih sama: wangi kertas, tinta, dan sedikit debu masa lalu. Kadang aku membukanya hanya untuk memastikan bahwa kenangan itu masih hidup. Aku menamai kotak itu Gudang4D — gudang empat dimensi yang menyimpan diam, doa, duka, dan damai. Empat hal yang selalu hadir setiap kali aku mengingatmu.
1. Tentang Saat Kita Masih Muda
Aku masih bisa mengingat bagaimana kau menatapku di sore pertama kita bertemu di stasiun Tugu. Kereta baru saja berhenti, udara panas bercampur dengan debu rel yang beterbangan. Kau membawa buku puisi Chairil Anwar di tangan, dan aku membawa secangkir kopi dari kios kecil. Entah kenapa, waktu itu aku merasa kita sama-sama mencari sesuatu yang hilang.
Hari itu, kita berjalan kaki menyusuri Malioboro. Aku tak banyak bicara, tapi kau tahu caraku diam bukan berarti tidak nyaman. Kau berkata, “Kau bukan orang yang suka ramai, ya?”
Aku menjawab, “Bukan. Tapi kalau bersamamu, dunia terasa tidak seramai itu.”
Itu kalimat paling jujur yang pernah keluar dari mulutku.
Malamnya kita berpisah tanpa janji, tapi sejak saat itu aku tahu, pertemuan itu bukan kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar yang mempertemukan kita — sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika, hanya bisa dirasakan oleh hati yang tenang.
2. Saat Dunia Berubah
Tahun-tahun berjalan cepat. Kau pindah ke Jakarta untuk bekerja, aku tetap di Yogyakarta, mengajar sastra di sekolah kecil. Surat menjadi satu-satunya cara kita berbicara. Setiap minggu, aku menunggu tukang pos datang membawa kabar darimu.
Kadang suratmu datang dengan wangi parfum yang samar, kadang dengan bekas lipatan yang rapi seperti selalu kau buat dengan hati-hati. Aku membaca setiap huruf seolah membaca dirimu sendiri.
Kau bercerita tentang hiruk pikuk kota, tentang langit yang tak lagi terlihat karena gedung-gedung tinggi, tentang rasa rindu yang tumbuh di antara kesibukan. Aku menjawab dengan cerita tentang hujan di kampung, tentang siswa-siswaku, dan tentang senja di tepi sawah yang selalu mengingatkanku padamu.
Kita hidup di dunia yang berbeda, tapi setiap surat membuat jarak itu terasa dekat.
Sampai suatu hari, suratmu berhenti datang. Aku menunggu berminggu-minggu, berbulan-bulan. Tak ada kabar. Dunia tiba-tiba sunyi. Aku tahu sesuatu telah berubah, tapi aku tak pernah tahu apa.
3. Ketika Waktu Menjadi Jarak
Ada masa di mana aku hampir berhenti berharap. Hidup berjalan tanpa warna. Tapi setiap kali aku menulis, namamu selalu muncul di antara baris-baris kalimat yang tak sengaja kubuat. Seolah pena ini punya ingatan sendiri — menolak melupakanmu.
Aku mendengar kabar bahwa kau menikah. Aku tidak kaget, hanya diam lama sambil menatap hujan. Tidak ada air mata, hanya rasa hangat di dada yang pelan-pelan berubah jadi tenang. Karena meski kau tidak lagi di sisiku, aku tahu: cintaku sudah menemukan tempatnya. Ia tak perlu dimiliki untuk tetap hidup.
Malam itu aku menulis satu surat terakhir — bukan untuk dikirim, tapi untuk menutup perjalanan. Surat itu kubungkus dengan pita, lalu kusimpan di dalam kotak Gudang4D. Sejak saat itu, aku berhenti menunggu.
4. Dua Puluh Tahun Kemudian
Hari ini, aku menemukan kembali kotak itu ketika sedang membersihkan kamar. Waktu seolah berhenti ketika kulihat tulisan tanganmu di amplop-amplop lama. Ada tawa kecil yang muncul, ada juga rasa haru yang sulit dijelaskan.
Aku membaca lagi semua surat itu, satu per satu, dengan tangan yang mulai gemetar. Di surat terakhir yang kau kirim, kau menulis:
“Kalau nanti aku pergi terlalu jauh, jangan mencariku. Tapi percayalah, aku tidak benar-benar hilang. Aku hanya berpindah tempat — dari pelukanmu ke dalam kenanganmu.”
Kau benar. Sampai hari ini, kau masih tinggal di kenangan itu. Tidak menyakitkan, tidak juga menyedihkan — hanya hangat, seperti matahari yang muncul di pagi musim hujan.
Aku tidak tahu di mana kau sekarang. Mungkin di kota lain, mungkin sudah menjadi ibu dari anak-anak yang bahagia. Tapi di suatu tempat dalam hidupku, kau tetap hidup — sebagai kisah yang tidak perlu diakhiri.
5. Tentang Arti Cinta yang Sebenarnya
Bertahun-tahun aku berpikir bahwa cinta adalah tentang bersama. Tapi semakin tua aku, semakin aku paham bahwa cinta sejati adalah tentang menerima. Menerima bahwa seseorang bisa begitu penting, bahkan tanpa harus dimiliki.
Kau mengajarkan aku banyak hal — tentang kesabaran, keikhlasan, dan bagaimana mencintai tanpa pamrih. Kau membuatku sadar bahwa cinta tidak selalu harus menuntut kembali, cukup dikenang dengan syukur.
Kini, setiap kali aku mengajar tentang puisi cinta kepada murid-muridku, aku selalu bilang, “Cinta bukan tentang memiliki. Cinta adalah tentang memberi ruang pada seseorang untuk tetap hidup, bahkan ketika ia sudah pergi.”
Baca Juga: Senja di rumah tua, surat yang tak pernah kukirim, di antara dua kopi dan sebuah janji
Dan setiap kali mengucapkan itu, aku tahu siapa yang sedang kuingat.
6. Penutup: Surat yang Tak Harus Dibalas
Malam ini, aku menulis lagi. Mungkin ini surat terakhir. Aku tidak berharap balasan, karena aku tahu surat ini akan tetap di sini, bersama waktu dan udara. Tapi aku ingin kau tahu, di dunia ini, masih ada seseorang yang mendoakanmu diam-diam setiap kali hujan turun.
Kalau suatu hari kau merasa lelah, ingatlah bahwa pernah ada seseorang yang mencintaimu dengan seluruh ketenangan yang bisa ia miliki. Ia tidak pergi, hanya berdiam di ruang bernama Gudang4D, tempat semua cinta disimpan tanpa syarat, tanpa luka.
Dan bila kelak aku sudah tiada, mungkin surat-surat ini akan ditemukan oleh seseorang yang tak mengenalku. Aku harap mereka membacanya bukan sebagai kisah sedih, tapi sebagai bukti bahwa cinta bisa tetap hidup bahkan setelah dua hati berhenti bersama.
Karena cinta sejati tidak berakhir — ia hanya berubah bentuk menjadi doa yang tak pernah padam.
Salam rindu dari masa yang telah lewat,