Senja di Rumah Tua

(Sebuah cerita tentang kehilangan, kenangan, dan cinta yang bertahan meski tak diucapkan)


1. Datang ke Rumah Itu Lagi

Rumah itu masih sama.
Cat dindingnya pudar, jendela kayunya berderit, dan aroma tanah basah masih memenuhi halaman setiap kali hujan turun.
Sudah delapan tahun aku tidak menginjakkan kaki di sini, sejak hari pemakaman seseorang yang dulu mengisi setiap detak waktu di hidupku: Dara.

Kini aku berdiri di depan rumah tua peninggalan keluarganya, membawa sekotak surat yang dulu tidak pernah sempat kukirim.
Kotak itu kecil, terbuat dari kayu jati, dengan ukiran burung merpati di tutupnya. Di dalamnya, tersimpan potongan kenangan yang kukumpulkan seperti pecahan kaca — tajam, indah, dan menyakitkan.


2. Saat Kami Masih Dua Anak Muda

Aku dan Dara tumbuh di kota kecil di pinggir laut.
Ia anak dari seorang guru, sementara aku putra nelayan.
Setiap sore kami duduk di pantai, menunggu matahari jatuh ke laut, sambil menulis puisi di pasir.

Dara selalu berkata, “Kamu tahu, laut itu seperti cinta. Indah, tapi kalau tidak hati-hati, bisa tenggelam di dalamnya.”
Aku hanya tertawa. Saat itu aku belum mengerti maknanya.

Kami tumbuh bersama, belajar bersama, jatuh cinta diam-diam tanpa pernah berani menyebutnya cinta.
Lalu, seperti ombak yang tiba-tiba berubah arah, semuanya berlalu begitu saja.


3. Tentang Surat yang Tak Pernah Selesai

Ketika Dara memutuskan pergi ke kota untuk melanjutkan kuliah, aku hanya bisa menatap perginya dari terminal.
Ia melambaikan tangan, tersenyum, dan berteriak, “Tulis surat, ya!”

Dan aku memang menulis.
Bukan satu, tapi puluhan surat.
Namun tak satu pun kukirim.

Entah kenapa, setiap kali hendak mengirimnya, aku takut.
Takut ia sudah berubah, takut cintaku hanya jadi beban, takut dunia kota sudah menghapus jejakku dari hidupnya.

Jadi surat-surat itu kusimpan, satu per satu, hingga jumlahnya menjadi seperti tumpukan musim yang tak pernah berpindah.


4. Ketika Waktu Tidak Menunggu

Empat tahun kemudian, kabar itu datang.
Dara sakit.
Bukan penyakit yang bisa disembuhkan dengan doa atau waktu.

Aku pergi menjenguknya ke rumah sakit kota.
Tubuhnya kurus, kulitnya pucat, tapi matanya masih sama — penuh cahaya.
“Kenapa kamu baru datang?” tanyanya dengan suara yang nyaris berbisik.

Aku tidak menjawab. Aku hanya menggenggam tangannya, takut jika aku bicara, air mata akan lebih dulu berbicara.

Dara tersenyum tipis.
“Kamu tahu? Aku masih suka menulis. Tapi kali ini bukan puisi di pasir. Aku menulis di buku kecil, tentang semua hal yang tidak pernah kita ucapkan.”

Beberapa minggu kemudian, ia pergi.
Tanpa sempat membaca surat-suratku, tanpa sempat tahu bahwa aku mencintainya sejak kami menulis puisi pertama di pantai itu.


5. Delapan Tahun Setelahnya

Kini aku kembali ke rumah tuanya.
Rumah yang sudah kosong, tapi masih menyimpan aroma masa lalu.
Di meja kayu di ruang tengah, masih ada buku catatan bergambar burung camar di sampulnya.

Kuperhatikan dengan hati-hati.
Tulisan tangan Dara — miring dan rapi.
Di halaman pertama tertulis:

“Untuk seseorang yang menulis surat tapi tidak pernah mengirimnya. Aku tahu kamu ada di luar sana, dan itu cukup.”

Tanganku gemetar saat membaca kalimat itu.
Aku tidak tahu dari mana ia tahu.
Tapi mungkin, cinta yang tulus memang tidak butuh disampaikan. Ia hanya butuh diakui — bahkan tanpa kata.


6. Cinta yang Hidup di Antara Kenangan

Malam itu aku duduk di teras rumah tua itu.
Hujan turun, memukul genting seperti nada-nada yang tak beraturan.
Aku menyalakan lampu minyak, membuka kotak kayu yang kubawa, dan mulai membaca ulang semua surat yang dulu tak pernah sempat terkirim.

Setiap lembar terasa seperti pintu menuju masa lalu — tawa kami, debat kecil di tepi pantai, dan semua hal yang kini hanya bisa kupeluk lewat ingatan.

Di surat terakhir aku menulis:

“Aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Cinta ini seperti rumah tua — mungkin rapuh, tapi tetap berdiri karena fondasinya bukan waktu, melainkan kenangan.”

Aku menutup surat itu dengan perlahan.
Lalu, entah kenapa, aku tersenyum.


7. Sebuah Nama dalam Kenangan Digital

Beberapa bulan kemudian, aku membuat sebuah halaman tulisan di internet.
Bukan untuk terkenal, hanya untuk menyimpan kisah yang tak mungkin kusampaikan secara langsung.
Halaman itu kuberi nama Gudang4D.

Bukan tanpa alasan.
Gudang” karena tempat itu menjadi ruang untuk semua kenangan yang kusimpan — baik yang indah maupun yang menyakitkan.
“4D” karena aku percaya cinta punya empat dimensi: waktu, rasa, kehilangan, dan harapan.

Setiap kali menulis di sana, aku merasa seolah berbicara dengan Dara.
Tentang bagaimana hidup terus berjalan, tentang laut yang kini tak lagi sama tanpanya, dan tentang bagaimana cinta ternyata bisa tetap hidup, bahkan setelah orangnya pergi.


8. Tentang Laut yang Tak Pernah Lelah

Beberapa minggu lalu, aku kembali ke pantai tempat kami dulu sering menulis.
Pantai itu masih sama — pasirnya lembut, ombaknya pelan, dan langitnya seakan selalu tahu kapan harus berwarna oranye.

Aku menulis sesuatu di pasir, dengan ranting kecil di tangan:

“Cinta tidak mati. Ia hanya berubah bentuk menjadi kenangan yang tidak bisa tenggelam.”

Angin laut menyapu tulisan itu, seperti dulu.
Tapi kali ini aku tidak merasa kehilangan.
Karena kini aku tahu, bahkan ketika tulisan itu hilang, maknanya tetap tertinggal — di hati, di udara, di waktu.


9. Epilog: Tentang Keberanian untuk Mengingat

Bertahun-tahun aku mencoba melupakan Dara.
Namun malam itu, di bawah langit yang sama, aku menyadari sesuatu:
melupakan bukan berarti menghapus, tapi berdamai.

Baca Juga: Amazon Kingdom Microgaming di Gudang4D, Wizard Winfall Skywind di Gudang4D, Banished Souls Skywind di Gudang4D

Kini aku menulis bukan untuk mengenangnya, tapi untuk menjaga sesuatu yang dulu membuatku hidup.
Karena cinta, seaneh dan sesakit apa pun, adalah satu-satunya hal yang membuat manusia tidak kehilangan dirinya sendiri.

Aku menatap laut sekali lagi sebelum pergi.
Di kejauhan, matahari perlahan tenggelam.
Dan di antara cahaya jingga yang mulai pudar, aku membisikkan kata terakhir yang hanya laut yang tahu cara menyimpannya:

“Terima kasih, Dara. Untuk cinta yang tidak selesai, tapi juga tidak pernah hilang.”


Penutup

Setiap manusia memiliki rumah tua di dalam dirinya — tempat menyimpan segala yang pernah ia cintai, termasuk yang tak pernah dimiliki.
Dan di rumah tua itulah, waktu berhenti berlari.
Di sana, cinta tidak lagi menuntut balasan, hanya butuh diingat.

Aku menyebut tempat itu Gudang4D,
karena di sanalah aku menyimpan segalanya:
dirinya, kisahnya, dan bagian dari diriku yang dulu pernah hidup bersamanya.


on October 13, 2025 by pecinta handal |