Sudut Pandang 1 – Arka
Aku tidak tahu kenapa hari itu aku datang ke pameran fotografi itu. Aku bukan pecinta seni, bahkan kamera di ponselku masih penuh foto dokumen kerja. Tapi ada sesuatu di dalam diriku yang menuntun untuk datang.
Dan di sanalah aku melihatnya — perempuan dengan rambut terurai, berdiri di depan foto hitam putih bertema “Waktu yang Diam.”
Namanya Dira. Aku tahu karena tertulis di kartu identitas yang menggantung di lehernya — fotografer utama. Ia terlihat tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kebanggaan atas karya. Aku tidak tahu kenapa, tapi saat itu, waktu berhenti.
Ketika akhirnya kami berbicara, percakapan itu terasa alami. Ia bicara tentang cahaya, aku bicara tentang bayangan. Ia menyukai senja, aku lebih memilih malam. Tapi entah bagaimana, dua perbedaan itu justru membuat kami saling memahami.
Aku tidak jatuh cinta saat itu juga, tapi aku tahu: aku baru saja menemukan seseorang yang akan membuat hidupku berbeda.
Sudut Pandang 2 – Dira
Aku tidak tahu apa yang membuat lelaki itu tertarik pada fotoku. Banyak orang memuji teknisnya, tapi dia berbeda. Ia tidak bicara soal komposisi atau pencahayaan. Ia hanya berkata, “Foto ini seperti memotret kenangan yang menolak pergi.”
Aku menatapnya, terkejut karena kalimat itu seolah ia tahu isi pikiranku. Padahal ia hanya orang asing. Tapi kadang, orang asing justru paling jujur menilai sesuatu yang kita sembunyikan dari diri sendiri.
Sejak hari itu, kami sering bertemu. Tidak ada kesepakatan, tidak ada janji. Kami hanya mengikuti keinginan waktu. Kadang di kafe kecil, kadang di taman kota. Ia suka diam, aku suka bicara. Tapi dalam diamnya, aku selalu merasa aman.
Aku tidak tahu apakah itu cinta atau hanya rasa nyaman, tapi aku tahu, setiap kali ia tersenyum, ada sesuatu di dadaku yang bergetar pelan, seperti daun yang disentuh angin sore.
Sudut Pandang 1 – Arka
Aku pernah mencintai seseorang sebelumnya — dan gagal. Sejak itu, aku berhati-hati. Aku tidak percaya pada cinta yang datang cepat. Tapi bersama Dira, semua teori itu runtuh.
Cinta tidak datang seperti badai. Ia datang seperti embun di pagi hari, pelan-pelan tapi pasti.
Kami mulai berbagi cerita tentang masa lalu, tentang mimpi, tentang ketakutan. Ia berkata pernah hampir berhenti memotret karena kehilangan seseorang yang sangat ia cintai. Aku tidak bertanya siapa. Aku hanya mendengarkan, dan di matanya kulihat luka yang belum benar-benar sembuh.
Malam itu aku menulis di catatan pribadiku:
“Mungkin cinta sejati bukan tentang menemukan yang sempurna, tapi tentang berani mendekati seseorang yang masih berantakan.”
Sudut Pandang 2 – Dira
Arka bukan lelaki yang romantis. Ia tidak pandai berkata manis, tidak suka memberi kejutan, dan tidak pernah mengirim pesan panjang. Tapi setiap kali ia datang, dunia seolah lebih tenang.
Ia punya cara sendiri untuk menunjukkan perhatian — sederhana, tapi tulus.
Suatu sore, saat aku stres karena pameran gagal, ia datang membawa roti dan teh hangat. Ia tidak banyak bicara, hanya duduk di sampingku dan berkata, “Kau boleh gagal, tapi kau tak pernah sendirian.”
Dan entah kenapa, kalimat itu lebih menenangkan daripada semua kata semangat yang pernah kudengar.
Sudut Pandang 1 – Arka
Cinta, bagiku, adalah proses belajar memahami diam orang lain. Dan bersama Dira, aku belajar itu setiap hari.
Tapi semakin dekat kami, semakin aku sadar bahwa ia masih terikat oleh masa lalu. Ada satu nama yang tidak pernah ia sebut, tapi bayangannya terasa setiap kali Dira berbicara tentang kehilangan.
Aku tidak cemburu, hanya takut — takut tidak bisa bersaing dengan seseorang yang sudah tiada.
Suatu malam, aku bertanya, “Apa kau masih mencintainya?”
Dira menatapku lama, lalu berkata pelan, “Aku tidak tahu. Tapi kalau aku berhenti mengenangnya, aku takut kehilangan sebagian diriku sendiri.”
Aku diam. Aku tahu cinta tidak bisa memaksa seseorang untuk melupakan. Aku hanya berharap suatu hari, ketika ia membuka hatinya lagi, aku masih ada di sana.
Sudut Pandang 2 – Dira
Hubungan kami tidak mudah. Aku masih sering menutup diri, dan Arka terlalu sabar untuk seseorang yang terus ditinggalkan di ambang pintu.
Suatu malam, aku menangis karena mimpi buruk — mimpi tentang masa lalu yang kembali. Arka hanya menggenggam tanganku dan berkata, “Kau tidak harus kuat setiap hari. Aku cukup kuat untuk dua orang malam ini.”
Aku tak menjawab apa-apa, tapi malam itu untuk pertama kalinya aku merasa ingin hidup lagi, bukan sekadar bertahan.
Keesokan harinya, aku memotret Arka diam-diam di taman. Ia sedang membaca buku, sinar matahari jatuh di wajahnya. Foto itu kusimpan dengan nama file sederhana: “Cahaya di Tengah Bayangan.”
Sudut Pandang 1 – Arka
Dira pernah bertanya, “Kalau suatu hari aku pergi, apa kau akan menungguku?”
Aku menjawab, “Tidak. Aku tidak ingin menunggu. Tapi aku akan tetap di sini, karena mungkin di suatu waktu, jalan kita akan berpotongan lagi.”
Dan ternyata, kalimat itu menjadi nyata. Enam bulan kemudian, Dira pergi — ke luar negeri, mengejar proyek fotografi yang sudah lama ia impikan. Kami tidak berpisah dengan drama, hanya pelukan singkat dan senyum yang menahan air mata.
Setiap kali aku melihat fotonya di media, aku bangga, tapi juga sepi. Ada ruang kosong yang tidak bisa diisi siapa pun.
Sudut Pandang 2 – Dira
Aku meninggalkan Arka bukan karena ingin pergi, tapi karena ingin menemukan diriku sendiri. Tapi semakin jauh aku berjalan, semakin aku sadar — diriku yang sebenarnya mungkin ada di dekatnya.
Aku menulis banyak catatan selama di perjalanan. Tentang kota-kota yang indah tapi dingin, tentang laut yang luas tapi sunyi. Semua catatan itu kusebut Gudang4D, ruang kecil tempat aku menyimpan empat hal: gambar, gumam, getar, dan doa.
Dan di setiap doa itu, ada namanya.
Sudut Pandang 1 – Arka
Dua tahun berlalu. Aku tak lagi menulis tentang cinta. Tapi sore itu, ketika langit berubah jingga, aku menerima amplop tanpa nama. Di dalamnya ada satu foto — foto aku sedang membaca di taman, dengan cahaya senja di wajah.
Di balik foto itu tertulis:
“Terima kasih sudah menjadi cahaya di tengah bayanganku. Aku pulang.”
Aku tidak tahu kapan ia akan datang. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa damai.
Cinta tidak selalu harus datang tepat waktu. Kadang ia hanya perlu datang ketika dua hati sudah siap menerima.
Sudut Pandang 2 – Dira
Baca Juga: Catatan harian tentang kamu yang tak selesai, surat-surat yang tak pernah selesai, antara langit dan laut
Aku kembali ke kota itu dengan langkah pelan. Jalanan masih sama, pohon-pohon masih menua di tempatnya. Dan ketika aku melihat sosok Arka di taman yang sama, dengan buku di tangan dan senyum di wajah, aku tahu: tidak semua yang pergi harus hilang.
Beberapa cinta hanya butuh waktu untuk pulang.
Penutup
Kisah kami bukan kisah besar. Tidak ada janji abadi, tidak ada kata “selamanya.” Tapi cinta kami tumbuh dari hal-hal kecil — dari diam, dari sabar, dari keberanian untuk menunggu tanpa mengikat.
Dan di antara semua hal yang pernah kami lalui, aku tahu satu hal pasti:
Cinta sejati tidak pernah hilang. Ia hanya bersembunyi di ruang kecil bernama Gudang4D, tempat di mana semua kenangan, doa, dan rasa kembali menemukan jalannya.