Ruang yang Kita Simpan" — Sebuah Naskah Cinta

EKSTERIOR – TEPI KOTA – SORE HARI

Langit jingga. Angin sore membawa debu dan aroma laut.
Seorang perempuan berdiri di halte tua, menunggu bus yang tak kunjung datang.
Namanya MAYA (29) — wajahnya tenang tapi matanya menyimpan lelah yang dalam.
Ia memegang sebuah buku catatan berwarna coklat dengan tulisan tangan di sampulnya: Gudang4D.”


CUT TO:

INTERIOR – KAFE TUA – 10 MENIT KEMUDIAN

Kafe itu setengah kosong. Lampu kuning temaram memantulkan cahaya hangat di meja kayu yang sudah kusam.

Di sudut ruangan duduk RAKA (32), mengenakan jaket denim lusuh dan menatap ke luar jendela.
Kopi di hadapannya sudah dingin.

Raka menulis sesuatu di tisu kafe:

“Beberapa kenangan terlalu berat untuk dilupakan, tapi terlalu berharga untuk dibuang.”


MAYA (V.O.)

(lirih, introspektif)
Tiga tahun.
Tiga tahun sejak terakhir kali aku melihatnya.
Dan sekarang, semesta seolah ingin bermain-main lagi.


SCENE 1 — PERTEMUAN KEMBALI

PINTU KAFE TERBUKA.
Suara lonceng kecil menggema.

Raka menoleh, dan waktu berhenti.

Maya berdiri di ambang pintu, masih dengan senyum lembut yang dulu selalu datang terlambat.
Mereka bertukar pandang, tanpa kata.

Beberapa detik, dunia terasa sunyi.


RAKA
(berusaha tenang)
Maya… kau masih suka datang tanpa pemberitahuan, ya?

MAYA
(tersenyum samar)
Kau tahu aku tidak pandai mengatur waktu. Tapi sepertinya waktu masih menyisakan sedikit keberpihakan hari ini.

Mereka duduk. Dua cangkir kopi hitam dipesan.
Hening panjang menggantung di antara mereka.


SCENE 2 — KENANGAN YANG TAK HILANG

MAYA
Aku masih sering membaca puisi-puisimu.
Yang terakhir tentang “cahaya di dalam gelas kopi.” Aku suka kalimat itu.

RAKA
Padahal itu bukan tentang kopi. Itu tentang seseorang yang selalu aku lihat di antara kepulan uapnya.

Maya menunduk. Ada senyum, tapi juga getir.


MAYA
Kau masih sama. Masih pandai menyembunyikan rindu di balik kata.

RAKA
Dan kau masih pandai membuatku kehabisan kata.


CUT TO:
Mereka tertawa kecil. Tawa yang terasa seperti memutar kembali waktu ke masa lalu — masa ketika cinta masih sederhana, belum diserang jarak dan ambisi.


SCENE 3 — KILAS BALIK (FLASHBACK)

INTERIOR – APARTEMEN KECIL – MALAM

Dua tahun sebelumnya.
Raka menulis di meja kecil sementara Maya menggambar di lantai dengan pensil arang.

MAYA
Kau percaya bahwa cinta bisa bertahan tanpa selalu bertemu?

RAKA
Percaya. Tapi kadang, yang membuat cinta tetap hidup justru rindu yang tak terjawab.

Mereka saling berpandangan lama.
Hening yang indah.

Lalu adegan membeku, memudar dalam cahaya jingga.


KEMBALI KE MASA KINI

KAFE TUA – SORE MENJELANG MALAM

Hujan turun pelan di luar jendela.
Maya menatap ke arah hujan — seperti sedang membaca rahasia dari langit.


MAYA
Aku pergi dulu karena takut.
Takut kalau kita akan saling kehilangan di tengah keinginan untuk bertahan.
Tapi ternyata, kehilanganmu tidak pernah terasa selesai.

RAKA
Kau tahu, aku tidak pernah marah karena kau pergi.
Aku hanya takut kalau aku berhenti mencintai, aku juga berhenti menjadi diriku sendiri.


MAYA
Dan kau? Sudah ada yang menemani?

RAKA
Ada. Tapi bukan seseorang. Hanya waktu.

(diam sejenak)
Waktu yang terlalu lama kuajak bicara tanpa jawaban.


SCENE 4 — PENGAKUAN

Maya mengeluarkan buku catatan dari tasnya dan mendorongnya ke arah Raka.
Sampulnya bertuliskan Gudang4D.

MAYA
Aku menulis semuanya di sini.
Empat hal tentang kita: gerak, gumam, doa, dan duka.
Kau satu-satunya orang yang pantas membacanya.

Baca Juga: Saat rasa menemukan waktu, cinta yang tak terduga, frekuensi yang masih mencarimu

Raka membuka halaman pertama.
Tulisan tangan Maya memenuhi halaman dengan kalimat-kalimat yang bergetar antara cinta dan kehilangan.

Ia berhenti di satu halaman.
Di sana tertulis:

“Cinta yang sejati tidak perlu pulang. Ia cukup tahu jalan kembali.”

Raka menatap Maya, matanya basah tapi hangat.


RAKA
Aku kira aku sudah berhenti menulis puisi.
Tapi ternyata, setiap kata yang kutulis selalu berputar ke arah yang sama — ke arahmu.

MAYA
(lirih)
Mungkin karena beberapa cinta tidak ditulis untuk dibaca orang lain.
Hanya untuk diingat.


SCENE 5 — KEHENINGAN YANG JADI AKHIR

Mereka duduk lama tanpa bicara.
Hujan di luar semakin deras.
Lampu-lampu kafe mulai diredupkan.


MAYA
Raka, aku tidak tahu apakah kita masih punya waktu untuk mulai lagi.

RAKA
Mungkin tidak. Tapi kita punya waktu untuk mengakhiri dengan tenang.

Maya menatap ke luar jendela, lalu kembali pada Raka.
Ia tersenyum lembut — senyum yang dulu membuat Raka jatuh cinta pertama kali.


MAYA
Kalau suatu hari kau merasa kehilangan lagi, buka halaman terakhir buku itu.

Raka mengangguk. Maya berdiri, merapikan rambutnya, dan berjalan menuju pintu.
Hujan masih turun.

Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi.
Mata mereka bertemu — singkat, tapi cukup untuk menenangkan semua luka.


CUT TO:

EKSTERIOR – KAFE TUA – MALAM

Maya melangkah pergi dalam hujan.
Raka menatap dari balik kaca.
Ia membuka halaman terakhir buku Gudang4D.

Tertulis di sana:

“Jika kelak kita berpisah lagi, jangan biarkan kenangan kita jadi beban.
Biarkan ia jadi cahaya kecil — yang menerangi langkah, bukan menahan kaki.”

Raka menutup buku itu. Ia tersenyum, lalu menatap hujan.


FADE OUT:

NARASI PENUTUP (V.O.) – RAKA

Cinta kami tidak berakhir.
Ia hanya berpindah bentuk — dari keinginan menjadi keikhlasan, dari penantian menjadi pengertian.
Dan di ruang sunyi bernama Gudang4D, aku menyimpannya dengan tenang.
Bukan untuk dikenang, tapi untuk dipahami.


THE END


on October 21, 2025 by pecinta handal |