Malam itu, hujan turun pelan, membasahi jalanan kota yang sudah mulai sepi. Di sebuah kafe kecil di sudut jalan, seorang pria duduk sendirian di dekat jendela, menatap gelas kopinya yang mulai dingin. Namanya Arga. Sudah hampir dua tahun sejak ia berpisah dengan wanita yang pernah menjadi seluruh dunianya — Naira. Namun, di setiap tetes hujan, kenangan tentangnya selalu kembali, menelusup pelan seperti udara dingin yang menembus kaca.
Arga bukanlah pria yang mudah terbuka. Hidupnya sederhana, rutinitasnya teratur, dan ia jarang menunjukkan sisi emosionalnya. Namun, di balik wajah tenangnya, tersimpan luka yang belum sembuh. Ia mengenal Naira di masa kuliah — seorang gadis ceria, pandai berbicara, dan punya semangat hidup yang seolah tidak pernah padam. Naira datang seperti sinar matahari di hari mendung, membuat segala sesuatu di sekitar Arga terasa lebih hidup.
Mereka bertemu pertama kali di perpustakaan. Arga sedang mencari buku tentang desain komunikasi visual, sementara Naira sibuk mencatat sesuatu di laptopnya. Ketika tangan mereka tak sengaja menyentuh buku yang sama, mata mereka bertemu. Dari sana, percakapan dimulai — singkat, tapi cukup untuk menyalakan percikan yang tak pernah mereka duga akan berubah menjadi cinta.
Hari-hari berikutnya diisi dengan obrolan ringan, tugas kelompok, dan waktu bersama yang semakin sering. Arga yang biasanya pendiam mulai terbiasa mendengar tawa Naira. Ia belajar bahwa cinta tidak selalu harus sempurna, tapi harus tulus. Naira mengajarkan Arga untuk berani bermimpi, sementara Arga mengajarkan Naira arti kesetiaan.
Namun, seperti halnya kisah cinta pada umumnya, kebahagiaan mereka diuji oleh waktu dan keadaan.
Baca Juga: Senja di rumah tua, surat yang tak pernah kukirim, di antara dua kopi dan sebuah janji
Awal dari Perpisahan
Setelah lulus kuliah, keduanya menempuh jalan berbeda. Arga memilih bekerja di kota kecil dekat tempat tinggal orang tuanya, sementara Naira diterima di perusahaan besar di ibu kota. Jarak menjadi musuh diam-diam yang perlahan mencuri kedekatan mereka. Panggilan video menjadi lebih jarang, pesan singkat sering tertunda dibalas, dan setiap percakapan terasa kaku.
Naira semakin sibuk dengan kariernya, sementara Arga tenggelam dalam pekerjaannya sebagai desainer lepas. Mereka sama-sama berusaha menjaga hubungan itu tetap hidup, tetapi seiring waktu, cinta yang dulu hangat mulai terasa dingin.
Suatu malam, Naira menghubunginya. Suaranya terdengar berat, seperti menahan sesuatu.
“Ga, aku nggak tahu harus mulai dari mana,” katanya pelan.
Arga diam, hatinya berdegup kencang. Ia tahu kata-kata itu bukan awal dari kabar baik.
“Aku capek, Ga. Aku merasa kita berjalan di jalan yang berbeda sekarang.”
Tidak ada pertengkaran hebat, tidak ada tangisan berlebihan. Hanya keheningan panjang, diakhiri dengan ucapan “terima kasih” dan “maaf” yang terdengar begitu formal, seolah mereka hanya dua orang asing yang baru berkenalan.
Dan sejak malam itu, segalanya berubah.
Waktu, Luka, dan Kenangan
Dua tahun berlalu, tapi setiap kali Arga lewat di tempat yang dulu sering mereka kunjungi, hatinya seperti ditarik kembali ke masa lalu. Ia mencoba menjalin hubungan baru, namun selalu gagal. Setiap wajah yang ia lihat selalu mengingatkannya pada Naira — pada tawa, pada mata yang menatapnya dengan lembut, dan pada janji-janji yang kini hanya tinggal bayangan.
Arga menyibukkan diri dengan proyek-proyek freelance. Ia mulai menulis, membaca, bahkan mencoba hal-hal baru untuk mengalihkan pikirannya. Di tengah kesibukan itu, ia menemukan sebuah komunitas kecil di dunia daring, bernama Gudang4D — tempat orang-orang berkumpul, berbagi cerita, dan mencari keberuntungan lewat permainan angka. Awalnya Arga hanya iseng bergabung untuk mencari inspirasi menulis, namun dari sana ia belajar tentang filosofi hidup yang sederhana: kadang, keberuntungan datang ketika kita berhenti memaksakan arah hidup.
Bersama komunitas di Gudang4D, Arga mulai belajar arti kesabaran. Ia mengamati bagaimana setiap orang memiliki harapan, strategi, dan keyakinannya masing-masing. Ada yang datang hanya untuk bermain, ada pula yang benar-benar menjadikannya bagian dari perjalanan hidup. Perlahan, Arga menyadari bahwa cinta juga seperti permainan nasib — terkadang kita menang, terkadang kalah, tapi yang terpenting adalah bagaimana kita belajar dari setiap putaran.
Pertemuan Tak Terduga
Suatu sore di bulan November, Arga mendapat undangan reuni kecil dari teman kuliahnya. Ia hampir menolak, tetapi entah mengapa, ada dorongan aneh yang membuatnya datang. Saat tiba di tempat acara, matanya langsung menangkap sosok yang sudah lama tak ia lihat — Naira. Ia tampak sedikit berbeda, lebih dewasa, dengan rambut yang kini lebih pendek. Namun, senyum itu masih sama.
Mereka saling berpandangan, dan seolah waktu berhenti sejenak. Tidak ada lagi amarah, tidak ada lagi jarak. Hanya dua jiwa yang pernah saling mencintai, kini bertemu kembali setelah semua badai berlalu.
Setelah acara usai, mereka berbicara di taman dekat kafe.
“Aku sering baca tulisanmu,” kata Naira. “Beberapa kisahmu terasa… seperti tentang kita.”
Arga tersenyum samar. “Mungkin karena kamu memang bagian dari cerita itu.”
Naira menunduk. “Aku menyesal waktu itu menyerah terlalu cepat.”
“Tidak ada yang salah,” jawab Arga. “Kita berdua cuma belum siap menghadapi waktu.”
Percakapan itu tidak berakhir dengan pelukan atau janji baru. Mereka hanya saling berpamitan dengan tatapan yang tenang. Namun, di dalam hati Arga, ada sesuatu yang berubah — sebuah rasa ikhlas yang akhirnya tumbuh setelah sekian lama.
Cinta Tidak Selalu Harus Memiliki
Malam itu, Arga kembali ke rumahnya. Ia membuka laptop dan mulai menulis, kali ini bukan tentang kehilangan, tetapi tentang kebebasan hati. Ia menulis bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki seseorang, melainkan tentang memberi ruang bagi keduanya untuk tumbuh — bahkan jika itu berarti berpisah.
Ia menulis juga tentang bagaimana hidup bisa membawa kejutan dari tempat yang tak terduga. Siapa sangka, dari rasa sakit yang dulu hampir menghancurkannya, ia bisa menemukan makna baru lewat hal-hal sederhana, bahkan lewat komunitas seperti Gudang4D yang awalnya hanya tempat pelarian. Kini, ia menyadari bahwa semua pengalaman — baik cinta, luka, maupun keberuntungan — hanyalah bagian dari perjalanan yang membentuk siapa dirinya sekarang.
Arga menutup laptopnya dengan senyum kecil. Ia tahu, malam ini, hatinya sudah benar-benar bebas. Tidak ada lagi kenangan yang menahan, tidak ada lagi rasa bersalah yang membayangi. Hanya ketenangan, seperti hujan yang perlahan berhenti setelah badai panjang.
Dan di antara sisa aroma kopi yang dingin, ia berbisik pelan dalam hati,
“Terima kasih, Naira. Untuk cinta yang pernah ada, dan untuk pelajaran yang tak ternilai.”
Kesimpulan
Cinta, seperti kehidupan, selalu penuh kejutan. Kadang kita harus kehilangan untuk belajar menghargai, harus jatuh untuk memahami arti bertahan, dan harus berhenti mencari untuk menemukan diri sendiri. Dalam perjalanan itu, manusia tidak hanya tumbuh lewat kebahagiaan, tapi juga lewat luka dan keikhlasan.
Begitu pula Arga, yang akhirnya menemukan kedamaian bukan karena ia kembali pada cinta lamanya, tetapi karena ia berdamai dengan masa lalu. Dalam setiap langkah, ia tahu bahwa cinta sejati tidak selalu tentang siapa yang kita genggam, tapi tentang siapa yang tetap kita doakan dengan tulus, meski sudah tak lagi bersama.
Dan di dunia yang terus berputar ini, mungkin suatu hari nanti, cinta akan kembali — dalam bentuk yang berbeda, di waktu yang tepat, dan dengan hati yang sudah siap.