Namaku Dira. Aku tak pernah menyangka bahwa cinta yang sempat kutinggalkan akan kembali dalam bentuk yang begitu tenang — bukan seperti badai yang dulu mengacaukan hidupku, melainkan seperti angin sore yang lembut, membawa aroma nostalgia yang menenangkan.
Sudah lima tahun sejak aku berpisah dengan Rendra, pria yang dulu mengisi setiap ruang dalam hidupku. Saat itu, aku berpikir perpisahan adalah akhir segalanya. Namun, ternyata perpisahan hanyalah jeda — sebuah ruang hening yang memberi waktu bagi kami untuk belajar tentang diri masing-masing.
Aku masih ingat dengan jelas hari ketika kami bertemu pertama kali. Di sebuah seminar kecil tentang bisnis digital, aku duduk di barisan kedua, mencoba memahami materi yang terasa asing bagiku. Rendra adalah pembicara tamu hari itu — tenang, karismatik, dan penuh percaya diri. Aku bukan tipe perempuan yang mudah tertarik, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku ingin mendengarkan lebih lama.
Setelah acara berakhir, aku mendekatinya untuk bertanya tentang strategi pemasaran daring yang ia sebutkan. Dari satu pertanyaan sederhana, perbincangan kami mengalir panjang. Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang tak pernah kuduga: sebuah hubungan yang tumbuh dari rasa kagum dan berubah menjadi cinta yang dalam.
Awal yang Indah
Cinta kami tumbuh sederhana. Kami bukan pasangan yang gemar menunjukkan kasih di depan banyak orang. Cukup dengan secangkir kopi dan percakapan di malam hari, kami sudah merasa punya dunia sendiri.
Rendra punya cara berbicara yang menenangkan. Ia tidak pernah menjanjikan hal muluk-muluk, tapi setiap kata-katanya terasa nyata. “Cinta bukan tentang siapa yang paling sering bersama, tapi siapa yang paling sabar menunggu,” katanya suatu malam, sambil menatap bintang.
Namun, seperti banyak kisah lainnya, kebahagiaan kami tak bertahan lama. Ketika bisnisnya mulai berkembang, waktunya semakin tersita. Aku yang dulu menjadi tempatnya bercerita kini mulai merasa asing. Kami masih saling menyapa, tapi percakapan kami kehilangan kedalaman.
Perlahan, aku merasa tak lagi menjadi bagian dari hidupnya, melainkan hanya penonton di tepi panggung kesuksesan yang ia bangun.
Retak yang Tak Terdengar
Tak ada pertengkaran hebat, tak ada tangisan. Hanya keheningan yang semakin lama semakin panjang. Aku berusaha bertahan, mencoba memahami bahwa setiap orang punya fase sulit. Tapi saat rasa rindu tak lagi terbalas, aku tahu cinta kami sedang berjalan di jalan buntu.
Pada akhirnya, aku yang menyerah lebih dulu.
“Aku lelah, Ren,” kataku waktu itu.
Ia hanya diam. Tak ada jawaban, tak ada upaya menahan.
Dan mungkin di situlah letak kesalahan kami: terlalu tenang menghadapi kehilangan.
Setelah berpisah, aku menutup diri dari cinta. Hidupku hanya diisi pekerjaan, membaca, dan menulis. Aku menghindari kenangan, tapi setiap hal kecil selalu membawaku kembali padanya — aroma hujan, secangkir kopi hitam, bahkan lagu-lagu lama yang dulu sering kami dengarkan bersama.
Sampai suatu hari, dalam kebosanan yang panjang, aku menemukan sebuah forum daring bernama Gudang4D. Awalnya aku hanya tertarik pada diskusi komunitasnya yang aktif. Ada banyak orang di sana, masing-masing membawa cerita hidupnya sendiri. Sebagian besar membicarakan strategi, angka, dan peluang. Namun di sela-sela itu, aku menemukan sisi lain dari mereka: harapan.
Ada yang bermain bukan hanya untuk menang, tapi untuk mengalihkan diri dari kesepian. Ada yang mencari keberuntungan, tapi diam-diam juga mencari teman bicara. Di sinilah aku belajar bahwa hidup selalu punya cara untuk menautkan orang-orang yang sedang kehilangan arah.
Tentang Rendra dan Takdir
Tiga tahun setelah perpisahan itu, aku mendapat pesan singkat dari nomor tak dikenal.
“Halo, Dir. Aku Rendra. Kamu masih suka kopi tanpa gula?”
Aku membaca pesan itu berkali-kali. Tanganku gemetar, tapi bibirku tersenyum. Setelah sekian lama, nama itu muncul lagi, seperti bayangan masa lalu yang menepuk bahu dengan lembut.
Kami kembali berbicara, awalnya canggung, tapi kemudian hangat. Tidak lagi seperti sepasang kekasih, melainkan dua orang sahabat yang berbagi cerita.
Rendra sudah berubah. Ia tak lagi sesibuk dulu, dan suaranya terdengar lebih tenang. Ia bercerita bahwa kesuksesan yang dulu dikejarnya ternyata tidak seindah yang ia bayangkan. “Aku kehilangan banyak hal, termasuk kamu,” katanya.
Aku tidak langsung menjawab. Ada bagian dari diriku yang ingin marah, tapi ada pula bagian lain yang merasa lega. Kadang, waktu memang dibutuhkan untuk menyadarkan kita tentang arti kehilangan.
Sejak saat itu, kami mulai bertemu kembali. Tidak sering, tapi cukup untuk menyadari bahwa rasa itu belum benar-benar hilang. Kami tidak lagi bicara tentang masa lalu, melainkan tentang masa depan — tentang bagaimana hidup bisa terus berjalan meskipun pernah hancur berkeping-keping.
Cinta yang Dewasa
Kini aku tahu, cinta yang matang tidak lagi menuntut, tidak lagi memaksa. Ia tumbuh perlahan seperti akar pohon yang mencari air di dalam tanah — tenang, tapi pasti.
Aku belajar bahwa mencintai seseorang bukan tentang seberapa lama kamu bisa menahannya, melainkan seberapa tulus kamu bisa melepaskannya jika memang harus.
Dari Rendra, aku belajar arti ketulusan. Dari kesepian, aku belajar arti kedewasaan. Dan dari Gudang4D, aku belajar arti keberuntungan — bukan sekadar menang atau kalah, tapi keberuntungan untuk bisa menemukan makna hidup di tempat yang tak terduga.
Hidup, pada akhirnya, adalah tentang keseimbangan. Antara kehilangan dan menemukan, antara mencintai dan melepaskan. Tak ada cinta yang benar-benar sia-sia, karena setiap cinta selalu meninggalkan pelajaran.
Kini, ketika aku menulis kisah ini, aku tidak lagi merasa sedih. Aku hanya merasa bersyukur pernah mencintai seseorang seindah Rendra. Mungkin kami tidak ditakdirkan untuk bersama, tapi aku tahu, sebagian dari diriku akan selalu mendoakannya — dari jauh, dalam diam, dan dengan hati yang sudah damai.
Baca Juga: Fragmen cinta di dalam gudang4d, di antara waktu dan cinta, malam yang tidak pernah benar-benar usai
Epilog
Cinta tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk. Kadang menjadi doa, kadang menjadi kenangan, dan kadang menjadi kekuatan untuk melangkah maju.
Aku tidak lagi mencari akhir yang bahagia, karena aku tahu, kebahagiaan sejati bukan tentang akhir cerita, melainkan tentang bagaimana kita menjalani setiap babnya dengan tulus.
Dan jika suatu hari nanti aku bertemu Rendra lagi, aku akan menatapnya dengan senyum yang sama — bukan karena aku ingin kembali, tapi karena aku sudah berdamai.
Aku telah menemukan versi terbaik dari diriku sendiri, versi yang tumbuh dari luka dan disiram oleh cinta yang tulus.