Langit Jakarta sore itu menggantung abu-abu.
Hujan baru saja berhenti, menyisakan sisa rintik yang menempel di kaca jendela kafe.
Di sudut ruangan, seorang pria duduk sendirian, menatap dua cangkir kopi di mejanya.
Namanya Reno.
Sudah setengah jam ia menunggu seseorang yang mungkin tak akan datang lagi.
“Masih sama, Ren,” ucap barista yang sudah mengenalnya sejak lama. “Dua cangkir kopi setiap sore, padahal cuma kamu yang minum.”
Reno tersenyum kecil. “Kebiasaan sulit hilang, Dit. Satu buatku, satu buat dia.”
Barista itu tak lagi bertanya. Semua orang di kafe kecil itu tahu: setiap sore, selama dua tahun terakhir, Reno selalu datang dan duduk di kursi yang sama — menunggu seseorang bernama Nadia.
Bab I: Pertemuan di Tengah Hujan
Reno dan Nadia bertemu bukan di tempat istimewa.
Bukan di pesta, bukan di kantor, bahkan bukan di dunia yang romantis seperti film.
Mereka bertemu karena hal sepele — payung.
Suatu sore, hujan deras turun di halte bus.
Reno sedang menatap ponsel, dan tanpa sadar payungnya terbuka terlalu lebar hingga mengenai pundak seseorang.
“Maaf!” ucapnya cepat.
“Tidak apa-apa,” jawab perempuan itu. Suaranya lembut, matanya tajam namun tenang.
Nadia — begitulah nama yang ia sebutkan beberapa menit kemudian, di antara percakapan singkat tentang hujan dan arah tujuan.
Reno tak tahu kenapa pertemuan itu menancap kuat di pikirannya.
Mungkin karena senyum Nadia yang tulus.
Atau mungkin karena sejak lama, Reno merasa hidupnya terlalu sepi untuk diisi sekadar oleh rutinitas kantor dan kopi dingin.
Bab II: Dua Dunia yang Tak Sama
Nadia bekerja di sebuah lembaga seni.
Dunianya penuh warna, kreativitas, dan kebebasan.
Sedangkan Reno — seorang analis data di perusahaan teknologi besar — hidupnya teratur, berpola, penuh angka dan deadline.
Namun justru perbedaan itu yang mempertemukan mereka.
Nadia sering berkata bahwa Reno mengingatkannya pada ketenangan.
“Kalau kamu tenang, dunia jadi terasa tidak menakutkan,” katanya suatu kali.
Sementara bagi Reno, Nadia adalah bentuk kebebasan yang selama ini ia cari.
Ia mengajarkan cara menikmati hal-hal kecil: menatap langit, menulis catatan tanpa tujuan, menertawakan diri sendiri.
Setiap akhir pekan, mereka punya ritual kecil: nongkrong di kafe favorit, memesan dua kopi, dan berbagi cerita tanpa batas.
Bagi Reno, kafe itu bukan sekadar tempat minum — melainkan ruang waktu di mana dunia terasa berhenti.
Bab III: Retak di Tengah Tenang
Namun seperti semua kisah cinta di dunia nyata, kebahagiaan tidak datang tanpa ujian.
Nadia mulai sibuk dengan proyek besar yang membawanya berkeliling kota, kadang hingga luar negeri.
Sementara Reno semakin tenggelam dalam pekerjaannya.
Mereka masih bertemu, tapi tidak lagi sesering dulu.
Pesan singkat mulai jarang dibalas, telepon sering tak terjawab.
Dan di antara kesibukan itu, tumbuh jarak yang tidak mereka sadari.
“Rasanya kita seperti hidup di dua dunia yang berbeda,” kata Nadia suatu malam.
“Aku takut dunia itu akan saling menjauh.”
Reno diam. Ia ingin menjawab bahwa ia juga takut kehilangan.
Namun seperti kebiasaannya, ia memilih untuk menyimpan kata-kata di dalam hati, berharap waktu akan memperbaikinya.
Tapi waktu, seperti biasa, tidak selalu berpihak.
Bab IV: Pergi Tanpa Selesai
Hari itu, Reno mendapat pesan singkat dari Nadia.
“Kita perlu bicara. Sore ini, di kafe.”
Ia datang lebih awal, memesan dua kopi seperti biasa.
Ketika Nadia tiba, suasana hening.
Tatapan mereka tidak lagi seperti dulu — tak ada kehangatan, hanya sisa kelelahan dan keraguan.
“Aku harus pindah ke Yogyakarta. Proyek baruku mulai bulan depan,” kata Nadia pelan.
“Berapa lama?” tanya Reno.
“Aku belum tahu. Bisa jadi lama… atau selamanya.”
Reno menatap cangkir kopinya. Uapnya menipis, seperti harapan yang menguap perlahan.
“Aku akan menunggumu di sini,” katanya akhirnya.
Nadia tersenyum tipis, lalu menjawab lirih, “Kalau nanti kamu lelah, jangan salahkan aku karena pergi.”
Dan sore itu menjadi sore terakhir mereka bersama.
Bab V: Dua Tahun Tanpa Kabar
Sejak kepergian Nadia, Reno tetap datang ke kafe yang sama.
Setiap sore, dua cangkir kopi dipesan. Satu untuknya, satu lagi untuk seseorang yang mungkin sudah tak akan kembali.
Beberapa orang menganggapnya bodoh.
Namun bagi Reno, menunggu bukan tentang siapa yang kembali — tapi tentang menjaga janji, meski hanya pada kenangan.
Di waktu senggang, ia sering menulis di blog pribadinya.
Tulisan-tulisannya bukan sekadar curahan hati, tapi refleksi tentang cinta, kehilangan, dan keabadian perasaan.
Salah satu tulisannya yang paling banyak dibaca berjudul “Gudang4D”.
Isinya sederhana:
“Hati manusia adalah gudang empat dimensi — menyimpan masa lalu, menampung masa kini, menunggu masa depan, dan menyisakan harapan. Di dalamnya, cinta tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk, menjadi diam.”
Tulisan itu viral. Banyak pembaca menulis komentar, mengatakan bahwa mereka ikut merasakan kesedihan di balik setiap kata.
Namun yang tidak mereka tahu, tulisan itu adalah surat terbuka Reno untuk Nadia.
Bab VI: Sebuah Email di Awal Musim Hujan
Suatu malam, ketika Reno hampir mematikan laptopnya, notifikasi email muncul.
Pengirimnya: Nadia.
Isi pesannya singkat.
“Aku baca tulisanmu. Gudang4D itu indah. Aku juga masih menyimpan sesuatu, Ren. Aku akan kembali ke Jakarta bulan depan. Kalau kamu masih di tempat biasa, aku ingin bertemu.”
Reno terpaku. Ia tidak tahu harus bahagia atau takut.
Karena kadang, yang paling menakutkan bukan kehilangan, tapi kemungkinan untuk bertemu lagi setelah lama memendam rindu.
Namun satu hal pasti: hatinya bergetar seperti dulu.
Bab VII: Pertemuan yang Tidak Direncanakan
Sebulan kemudian, langit kembali hujan.
Reno datang ke kafe lebih awal dari biasanya. Ia memesan dua cangkir kopi dan duduk di kursi lama.
Kali ini, entah kenapa, ia merasa yakin.
Dan benar — beberapa menit kemudian, seseorang berdiri di depan pintu.
Nadia, dengan rambut sedikit basah dan mata yang masih sama.
“Masih pesan dua kopi?” tanyanya, setengah bercanda.
Reno tersenyum. “Selalu dua. Tak pernah satu.”
Mereka tertawa. Bukan tawa penuh canggung, melainkan tawa orang yang sudah terlalu lama diam.
Hujan di luar semakin deras, tapi di dalam kafe itu, waktu kembali berjalan seperti dulu.
Bab VIII: Cinta yang Tidak Lagi Sama
Mereka tidak langsung bersama lagi.
Nadia kini lebih matang, lebih tenang. Begitu juga Reno, yang belajar bahwa cinta bukan soal memiliki, melainkan memahami.
Mereka mulai dari awal: saling mengenal kembali, bukan dari sisa masa lalu, tapi dari diri yang baru.
Kadang mereka berbicara tentang masa-masa sulit, kadang hanya diam memandangi hujan tanpa kata.
“Lucu ya,” kata Nadia suatu malam. “Kita dulu saling menunggu, padahal yang harus kita lakukan hanya saling pulang.”
Reno menatapnya lama. “Dan akhirnya, kita benar-benar pulang.”
Bab IX: Sebuah Penutup yang Terbuka
Setahun setelah pertemuan itu, Reno menulis lagi di blognya.
Judulnya “Cinta yang Tidak Pergi”.
Di akhir tulisannya ia menulis:
“Ada cinta yang lahir untuk dimiliki, ada pula yang hanya datang untuk mengajarkan arti kehilangan. Tapi ada satu jenis cinta yang tidak perlu dimiliki atau diakhiri — cukup disimpan dalam hati, karena ia sudah menjadi bagian dari diri.”
Baca Juga: Mustang Gold Megaways Pragmatic Play di Gudang4D, Big Bass Vegas Double Down Deluxe Pragmatic Play di Gudang4D, Fishin’s Bigger Pots of Gold Microgaming di Gudang4D
Dan di bawah tulisan itu, seperti biasa, ia menambahkan satu kalimat yang sudah menjadi ciri khasnya:
“Semua kisah berakhir di Gudang4D — tempat kenangan disimpan tanpa tanggal kedaluwarsa.”
Epilog
Hujan kembali turun malam itu.
Dua cangkir kopi masih mengepul di meja.
Reno dan Nadia duduk berdampingan, tidak banyak bicara.
Mereka tahu, cinta yang sejati tidak harus selalu berbunga-bunga.
Kadang ia hadir sebagai ketenangan — seperti dua kopi yang pahit namun menenangkan, seperti hujan yang menenangkan sekaligus melukai.
Dan mungkin, di antara dua cangkir kopi itu, mereka telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar cinta:
rumah untuk pulang, dan tempat untuk tetap percaya bahwa Gudang4D bukan hanya tulisan, tapi metafora dari hati manusia yang menyimpan cinta tanpa akhir.