Surat yang Tak Pernah Kukirim

Aku sering bertanya pada diri sendiri — bagaimana mungkin seseorang yang tak lagi hadir masih bisa begitu hidup di dalam pikiranku? Mungkin karena kenangan tak pernah benar-benar mati, ia hanya berdiam diri, menunggu dipanggil oleh sepi.

Sudah lama aku tidak menulis surat. Tapi malam ini, entah kenapa, tanganku kembali ingin menulis. Bukan untuk dikirim, bukan untuk dibaca siapa pun, tapi untuk menenangkan diri. Mungkin ini caraku berdamai dengan masa lalu, atau mungkin hanya cara hatiku mengingat bahwa aku masih bisa merasakan sesuatu.


1. Tentang Cinta yang Tak Usai

Aku masih ingat hari itu, hari ketika kau pergi tanpa banyak kata. Langit sore tampak datar, dan aku berdiri di antara bayangan hujan yang tak jadi turun. Kau menatapku lama, seolah ingin berkata sesuatu, tapi akhirnya hanya diam. Kadang diam memang lebih kejam dari kata perpisahan.

Sejak itu, waktu berjalan tanpa arah. Hari-hari terasa seperti salinan satu sama lain. Aku bekerja, tertawa, bercanda dengan orang lain, tapi di ujung setiap hari, ada ruang kosong yang selalu menunggu namamu.

Aku tak lagi marah. Aku sudah melewati tahap itu. Kini yang tersisa hanyalah rindu yang tak tahu harus ditaruh di mana. Mungkin di dalam tulisan ini, atau di dalam hatiku yang mulai tenang.


2. Kenangan sebagai Rumah

Aku sering membayangkan kenangan seperti rumah tua di pinggir kota — berdebu, berantakan, tapi tetap kukunjungi diam-diam. Di dalam rumah itu, setiap benda punya cerita: secangkir kopi yang tak sempat habis, selendang yang pernah kau tinggalkan, buku puisi yang masih menyimpan lipatan di halaman tengah.

Kadang aku takut kalau rumah itu akan runtuh. Tapi di sisi lain, aku juga takut kalau suatu hari aku benar-benar berhenti datang ke sana. Karena mungkin saat itulah aku akan benar-benar kehilanganmu.

Aku menamai rumah itu Gudang4D — bukan karena angka, tapi karena empat dimensi yang ada di dalamnya: diam, doa, duka, dan daya. Diam untuk hal-hal yang tak terucap, doa untuk yang belum selesai, duka untuk yang tak bisa dilupakan, dan daya untuk bertahan meski hati nyaris menyerah.


3. Tentang Waktu yang Mengubah Segalanya

Waktu tidak pernah menunggu siapa pun, tapi ia juga tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berputar, kembali membawa kita pada hal-hal yang dulu kita tinggalkan.

Aku masih berjalan di jalan yang sama setiap pagi, melewati taman kecil tempat dulu kita sering duduk sambil berbagi cerita. Bangku kayunya kini mulai lapuk, catnya terkelupas, tapi di sanalah aku belajar satu hal — bahwa cinta tak harus selalu berakhir dengan kebersamaan. Kadang cinta justru lebih indah ketika hanya tinggal kenangan.

Lucunya, setiap kali aku duduk di sana, aku merasa kau masih ada. Entah di angin yang lewat, entah di bayangan pepohonan. Seolah dunia ingin bilang bahwa beberapa kehilangan memang diciptakan agar kita belajar menghargai kehadiran yang dulu sering kita abaikan.


4. Tentang Aku yang Kini Berbeda

Dulu aku takut sendirian. Tapi sekarang, kesendirian justru terasa seperti tempat pulang. Di sana aku bisa jujur, bisa rapuh, bisa marah, dan bisa diam tanpa perlu berpura-pura kuat.

Aku belajar mencintai diriku lagi, dengan cara yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Belajar bahwa cinta tidak harus selalu punya dua nama; kadang cukup satu — dirimu sendiri.

Kau tahu? Ada hari-hari ketika aku bangun tanpa rasa sakit, tanpa bayanganmu. Di hari-hari seperti itu, aku merasa bersalah. Seolah aku sedang mengkhianati kenangan. Tapi kemudian aku sadar, melupakan bukan berarti menghapus; melupakan hanyalah cara hati memberi ruang untuk hal baru.


5. Tentang Surat yang Tak Pernah Terkirim

Aku menulis surat ini bukan untuk meminta kembali, tapi untuk mengucapkan terima kasih. Karena dari semua hal yang pernah hilang dalam hidupku, kau adalah yang paling indah untuk diingat.

Kau membuatku mengerti bahwa cinta tidak harus abadi untuk bermakna. Kau mengajarkanku bahwa kehilangan bukan kutukan, tapi bagian dari perjalanan manusia. Bahwa setiap pertemuan, betapapun singkat, punya alasan untuk terjadi.

Jika suatu hari kau membaca ini — entah lewat takdir, entah kebetulan — ketahuilah bahwa aku baik-baik saja. Aku tak lagi menunggumu, tapi aku juga tak pernah menyesal pernah mencintaimu.


6. Tentang Rasa yang Tetap Ada

Malam-malam masih panjang, tapi kini aku tak lagi takut. Aku menulis puisi, mendengarkan musik, membaca buku, dan sesekali menatap langit. Aku tidak tahu apakah itu bentuk penyembuhan atau sekadar kebiasaan lama yang sulit hilang.

Baca Juga: Fragmen cinta di dalam gudang4d, di antara waktu dan cinta, malam yang tidak pernah benar-benar usai

Yang pasti, di antara semua hal yang berubah, satu hal tetap sama — aku masih percaya pada cinta. Bukan cinta yang sempurna, bukan cinta yang selalu bahagia, tapi cinta yang tumbuh dari ketulusan, yang berani datang meski tahu bisa terluka.

Dan mungkin, di suatu tempat, kau pun sedang melakukan hal yang sama: memelihara kenangan dengan tenang, tanpa penyesalan, tanpa kebencian.


7. Penutup: Tempat Semua Kenangan Pulang

Aku menulis ini di meja kayu tua yang sudah mulai goyah. Di sebelahku ada secangkir teh, buku catatan, dan bayanganmu yang samar-samar masih tinggal di sudut mata.

Aku tahu, aku tak akan mengirim surat ini. Dunia tidak perlu tahu bahwa aku masih menulis untuk seseorang yang mungkin sudah lupa. Tapi aku menulis bukan untuk ditemukan, melainkan untuk merasa hidup.

Dan jika kelak aku pergi, aku ingin surat-surat seperti ini disimpan di satu tempat: Gudang4D, ruang sunyi tempat semua kenangan disimpan dengan tenang. Karena di sanalah, semua cinta yang pernah ada akan tetap hidup — tidak membakar, tidak melukai, hanya menerangi.


Cinta, pada akhirnya, bukan tentang memiliki. Ia tentang keberanian untuk tetap merasa, bahkan ketika yang dicintai telah pergi.
Dan jika ada kehidupan lain setelah ini, mungkin aku tak akan memintamu untuk kembali. Aku hanya ingin duduk bersamamu sekali lagi, di sore yang tenang, tanpa kata-kata, hanya keheningan yang saling mengerti.


on October 21, 2025 by pecinta handal |