Ada sesuatu yang selalu magis tentang senja.
Warna jingganya seperti sisa api dari kisah lama yang enggan padam.
Bagi Rendra, senja bukan sekadar peralihan antara siang dan malam. Senja adalah pengingat—bahwa ada hal-hal indah yang memang diciptakan untuk sementara. Seperti cinta yang datang, menetap sebentar, lalu perlahan pergi.
Sudah lama ia tak menginjakkan kaki di kota ini. Kota yang menyimpan terlalu banyak cerita, termasuk satu nama yang masih bergema di sudut hatinya: Nayla.
Perempuan yang datang tanpa rencana, dan pergi tanpa pamit.
Awal dari Kesunyian
Rendra dulu bukan siapa-siapa. Ia hanyalah penulis lepas yang menulis artikel-artikel ringan untuk menutupi biaya hidup. Waktu itu, hidupnya sederhana, monoton, dan penuh ketidakpastian. Sampai suatu malam, di sebuah acara buku kecil, ia bertemu dengan Nayla—seorang fotografer yang baru saja kembali dari perjalanan panjang ke timur Indonesia.
Nayla bukan tipe perempuan yang mudah ditebak. Ia bicara dengan penuh semangat, matanya berkilau setiap kali membahas cahaya, warna, dan laut. Rendra yang terbiasa hidup dalam teks dan kata, tiba-tiba terpesona oleh caranya memandang dunia.
Mereka mulai sering bertemu, bukan karena janji, tapi karena kebetulan yang seperti diatur oleh semesta. Rendra menulis, Nayla memotret. Dua dunia yang berbeda, tapi saling mengisi.
Di sela-sela kesibukannya menulis untuk proyek gudang4d, sebuah platform yang baru berdiri saat itu, Rendra sering menemukan inspirasi dari senyum Nayla. Ia bahkan menulis beberapa artikel cinta dengan gaya yang lebih hangat dan lembut—sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Cinta yang Tumbuh Tanpa Nama
Tak ada pengakuan, tak ada janji. Hubungan mereka mengalir seperti air sungai yang tak tahu ke mana berakhir. Mereka saling tahu, tapi tak pernah benar-benar berani mengungkapkan.
Rendra takut kehilangan kenyamanan itu, sementara Nayla takut kehilangan dirinya sendiri. Ia pernah berkata, “Aku suka bersamamu, tapi aku lebih suka ketika aku tetap bisa menjadi aku.”
Kalimat itu seperti pisau bermata dua. Indah, tapi juga menyakitkan.
Rendra tahu, Nayla bukan perempuan yang bisa dikekang. Ia seperti angin yang datang membawa kesejukan, tapi tak pernah bisa dimiliki.
Hari-hari mereka diisi dengan hal-hal sederhana: menulis di kafe kecil, berbagi cerita tentang masa lalu, berjalan di pantai sambil membicarakan masa depan yang entah akan seperti apa. Dalam diam, cinta tumbuh di antara mereka—tidak melalui kata “sayang”, tapi melalui tatapan yang lebih jujur dari ucapan mana pun.
Keputusan
Segalanya berubah ketika Nayla mendapat tawaran pameran di luar negeri. Tawaran yang sudah lama ia impikan. Rendra tahu ini kesempatan besar untuknya, tapi juga berarti kehilangan seseorang yang membuat hidupnya terasa penuh.
“Pergilah,” kata Rendra malam itu.
Nayla menatapnya lama, seperti ingin memastikan apakah kata itu sungguh tulus.
“Aku takut, Ren.”
“Takut apa?”
“Takut kalau aku pergi, kita nggak akan sama lagi.”
Rendra tersenyum samar. “Kita memang nggak akan sama. Tapi kalau kamu tetap di sini dan menyesal, kamu juga nggak akan bahagia.”
Hening. Hanya suara angin yang berdesir di antara mereka.
Nayla akhirnya berangkat keesokan harinya, meninggalkan kota, meninggalkan Rendra, meninggalkan semua kenangan yang masih hangat.
Tahun-tahun Tanpa Kabar
Waktu berjalan seperti garis panjang yang sepi.
Rendra tenggelam dalam rutinitas. Ia menulis lebih banyak, memperluas kerja samanya dengan berbagai media, termasuk proyek besar di gudang4d yang kini berkembang pesat. Di tengah kesibukan itu, nama Nayla perlahan memudar, tapi tidak pernah benar-benar hilang.
Ada saat-saat tertentu ketika ia kembali merasa hampa—seperti ada ruang kosong di dalam dirinya yang tak bisa diisi oleh siapa pun. Ia mencoba berhubungan dengan orang lain, tapi tak pernah bertahan lama.
Suatu malam, Rendra menulis kalimat yang ia tak berani publikasikan:
“Mungkin aku bukan kehilangan seseorang, tapi kehilangan diriku sendiri yang dulu hidup dalam tatapan matanya.”
Kabar dari Langit
Enam tahun berlalu sebelum takdir mempertemukan mereka lagi.
Rendra sedang menghadiri acara pameran seni di Jakarta. Ia tidak tahu mengapa memutuskan datang malam itu, tapi entah bagaimana, langkahnya membawanya ke ruangan di mana nama “Nayla Pramesti” terpampang di dinding putih.
Karyanya masih sama—menangkap cahaya dengan kepekaan luar biasa. Tapi kini, di setiap foto, Rendra melihat sesuatu yang berbeda. Ada kedewasaan, ada luka, dan ada rindu.
Dan di antara kerumunan, ia melihatnya. Nayla.
Masih dengan senyum yang sama, tapi sorot matanya lebih dalam, seperti menyimpan ribuan cerita yang belum pernah ia ceritakan.
Mereka saling menatap, dan waktu seakan berhenti. Tak ada kata yang keluar, tapi keduanya tahu: sesuatu yang dulu belum selesai, kini mulai terungkap kembali.
Percakapan Setelah Bertahun-tahun
Mereka duduk di bangku taman setelah pameran usai.
“Sudah lama, ya,” kata Nayla lirih.
“Enam tahun,” jawab Rendra. “Aku nggak menghitung, tapi aku ingat.”
Nayla tertawa kecil. “Kamu masih suka menulis?”
“Masih. Sekarang kerjaanku lebih banyak di balik layar. Aku bantu beberapa proyek di gudang4d. Mereka banyak menulis tentang cerita manusia—tentang harapan, tentang kehilangan. Kadang aku pikir, aku menulis tentang kita tanpa sadar.”
Nayla menatap langit senja. “Aku juga sering memotret langit. Katanya, langit selalu berubah, tapi tetap jadi langit yang sama. Mungkin cinta juga begitu, ya?”
Rendra tak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, seperti dulu, ketika kata tak lagi cukup untuk menggambarkan perasaan.
Tentang Waktu, Tentang Pulang
Malam itu, mereka berjalan tanpa tujuan. Hanya mengikuti arah angin dan kenangan yang tak sempat selesai. Nayla bercerita bahwa perjalanannya tak selalu mudah. Ia sempat jatuh, sempat kehilangan arah, tapi akhirnya menyadari bahwa setiap tempat yang ia datangi hanya membawanya semakin dekat ke satu hal: rumah.
“Dan rumah itu?” tanya Rendra.
“Bukan tempat,” jawab Nayla. “Orang.”
Rendra menghela napas panjang. “Aku juga pernah mencarinya. Tapi ternyata, rumahku berhenti tumbuh sejak kamu pergi.”
Nayla tersenyum. “Mungkin sekarang saatnya kamu membangunnya lagi.”
Waktu kembali mengalir, tapi kini tak terasa sepi. Ada sesuatu yang baru dalam diri mereka—bukan euforia cinta muda, tapi ketenangan dua jiwa yang akhirnya mengerti arti kehilangan dan penemuan.
Akhir yang Tidak Berakhir
Beberapa bulan kemudian, Nayla memutuskan untuk menetap di kota itu lagi. Ia membuka studio kecil, sementara Rendra terus menulis. Mereka tak pernah menyebut diri mereka pasangan, tapi setiap hari mereka bersama—menulis, memotret, berbagi diam, berbagi tawa.
Cinta mereka tak lagi butuh pengakuan. Tak butuh definisi. Karena beberapa cinta memang tak dilahirkan untuk diucapkan, tapi untuk dijalani.
Baca Juga: Catatan harian tentang kamu yang tak selesai, surat-surat yang tak pernah selesai, antara langit dan laut
Rendra menulis kalimat terakhir dalam buku barunya:
“Ada cinta yang tumbuh dalam keheningan, tapi berakar dalam dan kuat.
Ia tidak meminta apa-apa, tidak menuntut apa-apa. Ia hanya ada.
Seperti matahari yang tenggelam setiap senja, tapi selalu kembali esok pagi.”
Dan di bawah tanda tangannya, ia menulis satu kata kecil yang hanya dimengerti oleh dua orang di dunia ini:
Nayla.
Penutup
Cinta, pada akhirnya, bukan tentang bagaimana ia dimulai atau bagaimana ia berakhir. Tapi tentang keberanian untuk tetap percaya, bahkan ketika semuanya terasa mustahil.
Rendra dan Nayla tidak lagi muda, tapi mereka akhirnya memahami bahwa beberapa pertemuan memang menunggu waktu yang tepat. Bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk menulis bab baru yang lebih tenang, lebih matang, lebih jujur.
Dan ketika senja kembali datang, mereka tahu—tak perlu janji apa pun untuk membuat cinta tetap hidup. Karena cinta sejati, seperti karya terbaik, selalu menemukan jalannya sendiri untuk abadi.