Hujan selalu punya cara untuk mengembalikan kenangan. Setiap tetesnya seperti mengetuk jendela waktu, membuka lembaran lama yang mungkin telah lama kita lipat rapi. Begitulah yang terjadi pada Arga sore itu, ketika ia tanpa sengaja melewati taman tempat ia dan Dinda dulu sering menghabiskan waktu bersama. Rintik hujan turun perlahan, membawa aroma tanah basah dan nostalgia yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Sudah hampir tiga tahun berlalu sejak terakhir kali ia bertemu Dinda. Waktu berjalan cepat, namun di hati Arga, bayangan perempuan itu tetap tinggal. Ada sesuatu dalam diri Dinda yang tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan—cara ia tersenyum, cara ia marah dengan manja, hingga caranya menatap dunia dengan penuh harapan.
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Saat itu, Dinda sedang sibuk menulis sesuatu di laptopnya, sementara Arga—yang baru saja kehilangan pekerjaannya—datang hanya untuk menenangkan diri. Tak ada yang istimewa di awal, hanya tatapan singkat dan senyum sopan. Namun dari pertemuan sederhana itu, sebuah cerita panjang pun dimulai.
Awal yang Tak Direncanakan
Dinda adalah sosok yang ceria dan berani. Ia mencintai kehidupan seperti anak kecil yang baru mengenal dunia. Sedangkan Arga, seorang lelaki yang lebih banyak berpikir daripada berbicara. Ia berhati-hati dalam mengambil keputusan, mungkin terlalu berhati-hati. Namun perbedaan itulah yang membuat mereka saling melengkapi.
Mereka mulai sering bertemu—kadang tanpa janji, kadang hanya kebetulan. Dari obrolan ringan tentang kopi, film, dan cuaca, hubungan mereka tumbuh menjadi sesuatu yang lebih hangat. Arga menemukan ketenangan dalam keberadaan Dinda, sementara Dinda menemukan alasan untuk lebih percaya pada masa depan.
“Kalau kamu punya satu kesempatan untuk memulai ulang hidup, kamu mau jadi apa?” tanya Dinda suatu malam di bawah langit penuh bintang.
Arga tersenyum. “Aku nggak tahu. Tapi kalau boleh jujur, aku ingin tetap di titik ini. Bersamamu.”
Dinda tertawa kecil, tapi dalam hatinya, kalimat itu ia simpan baik-baik. Ia tahu Arga bukan tipe pria yang mudah berbicara soal perasaan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya pasti sudah melalui banyak pertimbangan.
Antara Mimpi dan Kenyataan
Hubungan mereka berjalan dengan penuh warna. Ada tawa, ada air mata, ada perdebatan, tapi juga banyak pembelajaran. Namun seperti banyak kisah cinta lainnya, kehidupan tak selalu memberi mereka jalan yang mudah.
Dinda mendapat tawaran pekerjaan di luar negeri—sebuah kesempatan besar yang sudah lama ia impikan. Di sisi lain, Arga baru saja memulai bisnis kecil bernama gudang4d, sebuah platform yang ia bangun dari nol dengan harapan bisa menjadi sumber penghidupan baru setelah masa-masa sulit. Ia bekerja siang malam, berjuang agar usaha itu bisa berjalan stabil.
Dilema pun muncul. Dinda tak ingin meninggalkan Arga, tapi juga tak bisa mengabaikan impian yang telah ia kejar bertahun-tahun. Sementara Arga, di balik wajah tenangnya, menyimpan rasa takut kehilangan yang tak terucap.
“Kalau aku pergi, kamu bakal marah nggak?” tanya Dinda pelan suatu sore di taman yang sama.
“Tidak,” jawab Arga setelah diam cukup lama. “Aku nggak punya hak untuk menahan seseorang yang punya mimpi. Aku cuma ingin kamu bahagia, Din.”
Jawaban itu terdengar dewasa, tapi di dalamnya ada luka yang dalam. Arga tahu, ketika Dinda benar-benar pergi, hidupnya tak akan sama lagi.
Kepergian
Hari keberangkatan itu tiba. Bandara penuh dengan hiruk-pikuk manusia yang berpamitan. Dinda menatap Arga dengan mata yang berkaca-kaca.
“Jaga dirimu baik-baik, ya,” katanya.
Arga mengangguk. “Kamu juga. Jangan lupa makan, jangan terlalu keras sama diri sendiri.”
Mereka berpelukan lama, mencoba menyimpan semua kenangan dalam satu genggaman. Dan ketika Dinda melangkah pergi, Arga merasa separuh dirinya ikut terbawa.
Hari-hari setelah itu berjalan pelan dan sepi. Arga menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan di gudang4d. Ia membangun situsnya, mengembangkan sistem, memperbaiki setiap detail agar usahanya tetap hidup. Setiap keberhasilan kecil yang ia raih selalu mengingatkannya pada semangat Dinda—penuh dedikasi dan cinta pada apa yang dikerjakan.
Namun di malam-malam tertentu, terutama ketika hujan turun, kenangan itu datang lagi. Tentang Dinda yang suka menyanyikan lagu lama, tentang tawa mereka di bawah payung, tentang hal-hal kecil yang kini terasa begitu besar.
Surat dari Jarak Jauh
Tiga bulan kemudian, Arga menerima surat dari luar negeri. Tulisan tangan Dinda yang rapi membuat hatinya bergetar.
“Hai, Arga.
Di sini semuanya berjalan cepat. Aku belajar banyak hal, tapi tetap ada yang terasa kosong. Mungkin karena aku terbiasa punya seseorang yang menatapku dengan sabar setiap kali aku bercerita.
Aku tahu kamu sibuk dengan gudang4d, dan aku bangga banget dengan usahamu. Kamu selalu bilang ingin membangun sesuatu yang bisa kamu percaya, dan sekarang kamu benar-benar melakukannya.
Tapi Arga, tolong jangan lupa bahagia. Dunia ini luas, tapi hati yang tenang cuma bisa ditemukan di tempat yang kamu cintai.”
Arga membaca surat itu berulang kali. Ia tak membalas, tapi ia tahu bahwa kata-kata Dinda itu menjadi bahan bakar baginya untuk terus maju. Ia mulai menulis lagi, menata ulang hidupnya, dan perlahan belajar berdamai dengan kenyataan bahwa cinta sejati tak selalu harus dimiliki untuk dirayakan.
Pertemuan Kembali
Waktu berlalu. Dua tahun kemudian, gudang4d berkembang pesat. Arga berhasil membangun tim kecil, dan bisnisnya mulai dikenal luas. Ia lebih matang, lebih tenang, meski di hatinya masih tersimpan ruang kecil yang belum tergantikan.
Baca Juga: Cinta di tengah hujan, luka yang tak terlihat, satu malam di kota yang tidak tidur
Suatu sore, ia kembali ke kafe tempat segalanya bermula. Dan di sana, tanpa rencana, ia melihat sosok yang sangat familiar sedang duduk sendirian, menatap jendela seperti dulu.
“Dinda?” panggilnya ragu.
Perempuan itu menoleh, tersenyum, dan berdiri. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan pertemuan itu. Mereka hanya saling menatap, seolah waktu berhenti di antara mereka.
“Aku pulang,” kata Dinda akhirnya.
Arga tersenyum. “Aku tahu kamu bakal balik.”
Mereka berbicara lama. Tentang perjalanan hidup masing-masing, tentang apa yang telah berubah, dan apa yang tetap sama. Dinda bercerita bahwa pekerjaannya di luar negeri berjalan baik, tapi ia merasa ada yang hilang—rasa kedekatan yang tak bisa digantikan oleh apa pun.
“Aku pikir mimpi itu cuma bisa kucapai kalau aku pergi,” katanya pelan. “Tapi ternyata, sebagian dari mimpiku ada di sini.”
Arga tak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan tenang. Kadang, keheningan lebih jujur daripada seribu kata.
Arti Sebuah Cinta
Cinta bukan hanya tentang memiliki seseorang. Kadang cinta adalah tentang memberi ruang bagi orang itu untuk tumbuh, meskipun itu berarti kita harus belajar melepaskan. Arga dan Dinda akhirnya memahami hal itu dengan cara yang paling nyata.
Mereka tak langsung kembali bersama. Ada waktu untuk menyesuaikan diri, untuk memastikan bahwa keputusan mereka bukan karena rindu semata, tapi karena benar-benar ingin berjalan di jalan yang sama.
Dan ketika akhirnya mereka memutuskan untuk bersama lagi, semuanya terasa berbeda. Lebih dewasa, lebih tulus, lebih siap menghadapi dunia bersama.
“Kalau dulu aku pergi untuk mencari diriku,” kata Dinda suatu hari, “mungkin sekarang aku kembali untuk menemukan rumahku.”
Arga hanya menggenggam tangannya. “Selamat datang pulang, Din.”
Penutup
Hujan kembali turun malam itu, tapi kini tak ada lagi kesedihan di antara mereka. Tetes air yang dulu mengingatkan pada kehilangan, kini menjadi saksi kebahagiaan baru. Di luar jendela, dunia terus bergerak, namun di dalam hati Arga dan Dinda, waktu seperti berhenti sejenak—memberi ruang bagi cinta yang tak pernah benar-benar hilang.
Dan di antara semua perjalanan panjang, Arga tahu satu hal: bahwa cinta sejati bukan tentang seberapa lama seseorang bertahan, tapi seberapa dalam seseorang berani percaya, bahkan ketika jarak dan waktu mencoba memisahkan.