Cinta di Tengah Lampu Kota

Kota ini tak pernah tidur.
Lampu-lampu jalan berkelap-kelip seperti bintang yang tak sabar menunggu malam. Klakson mobil, langkah orang-orang yang terburu, suara musik dari kafe di sudut gang—semuanya berpadu menjadi simfoni kehidupan yang sibuk.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Riko duduk di depan laptopnya di sebuah kamar kos sempit lantai tiga belas. Pekerjaannya sebagai content writer membuatnya terbiasa menatap layar selama berjam-jam. Malam itu, ia sedang menulis artikel untuk sebuah proyek besar di gudang4d, platform digital yang sedang naik daun. Tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sana.

Di sisi meja, secangkir kopi sudah dingin. Dan di layar ponselnya, sebuah pesan belum terbaca dari seseorang yang dulu pernah mengubah hidupnya: Mira.


Pertemuan yang Tidak Direncanakan

Riko dan Mira pertama kali bertemu di sebuah acara startup networking di Jakarta. Saat itu, Mira adalah desainer UI muda yang baru pindah dari Bandung, sedangkan Riko datang mewakili tim konten dari gudang4d. Mereka berbicara singkat, hanya bertukar nama dan kartu nama. Tapi malam itu, Riko merasa ada sesuatu yang lain—sebuah energi lembut dalam cara Mira bicara dan tertawa.

Seminggu kemudian, mereka kembali bertemu secara kebetulan di coffee shop yang sama. Dari situlah semuanya dimulai.

“Lucu, ya. Jakarta segede ini, tapi kita ketemunya lagi di tempat yang sama,” kata Mira sambil tersenyum.
“Kadang semesta punya algoritma yang lebih canggih dari mesin pencari mana pun,” jawab Riko setengah bercanda.

Mereka tertawa, dan sejak hari itu, tawa itu jadi bagian dari rutinitas.


Antara Ambisi dan Rasa

Mereka cepat akrab. Dua orang muda di kota besar yang berjuang untuk mimpi masing-masing. Riko sibuk mengejar target tulisan dan deadline, sementara Mira sering lembur membuat desain klien. Tapi di tengah kelelahan itu, mereka saling menemukan ketenangan.

Di malam-malam panjang, Riko sering datang ke apartemen Mira hanya untuk berbagi cerita. Tentang tekanan kerja, klien yang susah, atau tentang ketakutannya terhadap masa depan. Mira mendengarkan tanpa banyak bicara. Kadang hanya duduk di balkon sambil menikmati angin kota yang dingin.

“Kamu tahu,” kata Riko suatu malam, “aku kerja keras bukan cuma buat uang. Aku cuma pengen bisa punya sesuatu yang bisa kubanggakan. Sesuatu yang bikin orang ingat aku pernah ada.”

Mira menatapnya lama. “Mungkin kamu nggak sadar, tapi kamu udah punya itu. Tulisanmu. Kata-katamu.”

Ucapan itu sederhana, tapi sejak malam itu, Riko menulis dengan semangat baru. Ia mulai menulis lebih jujur, lebih personal. Dalam banyak tulisannya—baik di blog pribadinya maupun proyek besar seperti gudang4d—selalu ada jejak Mira di antara baris kalimat.


Hujan Pertama

Hubungan mereka tak pernah didefinisikan. Tak ada kata “pacaran,” tak ada status. Tapi semua orang yang melihat mereka tahu bahwa di antara mereka ada sesuatu yang nyata.

Hingga malam itu, hujan turun deras di tengah kota. Riko menjemput Mira di depan kantor, setelah ia mendapat pesan pendek: “Aku nggak tahan lagi di sini.”

Saat masuk mobil, Mira langsung menangis. Ia baru saja kehilangan proyek besar karena kesalahan kecil yang bukan sepenuhnya salahnya. “Mereka bilang desainku nggak punya arah, padahal aku kerja mati-matian buat itu.”

Riko hanya diam, membiarkannya menangis sampai tenang.
“Denger, Mir. Orang bisa bilang apa aja. Tapi yang tahu nilai dari hasil kerja kerasmu cuma kamu sendiri.”

Mira menatapnya dengan mata yang masih basah. “Kamu selalu tahu harus ngomong apa.”
“Aku cuma belajar dari seseorang yang ngajarin aku percaya sama diri sendiri.”

Dan malam itu, di tengah derasnya hujan, mereka berciuman untuk pertama kali. Tanpa rencana, tanpa kata, hanya dua jiwa yang sama-sama lelah tapi saling menemukan rumah.


Saat Cinta Diuji

Semakin lama mereka bersama, semakin banyak hal yang harus dihadapi. Pekerjaan di gudang4d semakin menuntut. Riko mulai sering lembur, bahkan harus ke luar kota. Mira juga mendapat tawaran kontrak besar di Singapura, kesempatan langka yang tak bisa ia abaikan.

Pertengkaran kecil mulai muncul. Tentang waktu, tentang kehadiran, tentang perasaan yang mulai terasa berat.

“Kita sama-sama sibuk, tapi kamu bahkan nggak sempat bilang selamat pagi lagi,” protes Mira suatu malam.
Riko menghela napas. “Aku berusaha, Mir. Tapi aku juga capek. Aku nggak bisa terus-menerus hadir setiap saat.”
“Aku nggak butuh kamu setiap saat, Riko. Aku cuma butuh kamu tetap peduli.”

Keheningan menggantung lama di antara mereka.
Riko menatap wajah Mira yang mulai letih. Ia ingin memeluknya, tapi entah kenapa tangan itu tak bergerak.

Malam itu menjadi malam pertama mereka berpisah tanpa pesan.


Perpisahan yang Tak Sempat Didefinisikan

Beberapa minggu setelahnya, Mira benar-benar menerima kontrak kerja di Singapura. Ia tidak bilang langsung pada Riko. Hanya sebuah pesan singkat di pagi hari:

“Aku berangkat hari ini. Terima kasih sudah jadi bagian dari perjalananku.”

Riko membaca pesan itu berkali-kali. Ia tidak tahu harus marah atau sedih. Yang ia tahu, ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya.

Hari-harinya kembali sunyi. Ia mencoba menulis, tapi setiap kata terasa kosong. Bahkan saat proyek di gudang4d berjalan sukses besar dan tulisannya viral di berbagai media, ia tak merasa bahagia.

Ada kalimat yang terus berputar di kepalanya:

“Cinta itu sederhana, sampai waktu membuatnya rumit.”


Bertahun-tahun Kemudian

Empat tahun berlalu. Riko kini bekerja sebagai creative director di perusahaan yang dulu hanya ia impikan. Ia berhasil. Tapi di tengah semua pencapaian itu, masih ada bagian dari dirinya yang belum selesai.

Suatu sore, saat menghadiri seminar desain di Jakarta, ia mendengar suara yang sangat familiar dari arah panggung. Suara yang dulu ia dengarkan setiap malam.
Mira.

Ia berdiri di depan layar besar, berbicara tentang perjalanan kariernya, tentang kegigihan, dan tentang cinta terhadap pekerjaan. Tidak ada yang tahu, tapi di balik kalimatnya, Riko bisa merasakan ada sesuatu yang masih tertinggal di antara mereka.

Setelah acara selesai, mereka bertemu di belakang panggung.
“Empat tahun, dan kamu masih suka datang tanpa rencana,” kata Mira sambil tersenyum.
Riko tertawa kecil. “Kamu juga masih suka ngomong tanpa basa-basi.”

Mereka berjalan keluar bersama, seperti dua orang lama yang lupa bagaimana caranya jadi asing.

Baca Juga: Catatan harian tentang kamu yang tak selesai, surat-surat yang tak pernah selesai, antara langit dan laut


Bicara Tentang Masa Lalu

“Kenapa dulu kamu nggak bilang kalau mau pergi?” tanya Riko pelan saat mereka duduk di bangku taman dekat gedung.
“Aku takut,” jawab Mira. “Takut kamu menahanku. Dan aku nggak mau membenci kamu karena itu.”
“Padahal aku nggak akan menahanmu, Mir.”
“Aku tahu. Tapi aku juga tahu kamu akan tetap membuatku ragu. Dan aku butuh waktu untuk benar-benar percaya pada diriku sendiri.”

Hening. Angin malam meniup daun-daun yang berguguran.
Riko menatap langit, lalu berkata, “Aku pikir aku sudah melupakanmu. Tapi ternyata aku cuma menyembunyikanmu di antara kalimat-kalimat yang aku tulis.”

Mira tersenyum. “Dan aku juga memotret setiap tempat yang mengingatkanku padamu, tanpa pernah sadar bahwa aku sedang mencarimu.”


Akhir yang Lebih Tenang

Waktu tak bisa diulang, tapi ia bisa mempertemukan dua orang di saat yang berbeda dengan hati yang lebih siap. Mereka tidak berbicara tentang masa depan, tidak berjanji akan bersama. Mereka hanya menikmati malam itu, dengan kesadaran bahwa cinta tak harus dimiliki untuk bisa dirayakan.

Ketika Riko mengantar Mira kembali ke hotelnya, ia berkata pelan, “Kalau suatu hari kamu butuh tempat untuk pulang, kamu tahu di mana harus mencari aku.”

Mira hanya mengangguk. “Dan kalau suatu hari kamu menulis lagi tentang cinta, tulis yang nyata. Tulis tentang kita.”

Riko tersenyum, lalu berjalan pergi tanpa menoleh.
Kota masih berisik, lampu masih berkedip, tapi di antara hiruk-pikuk itu, ia merasa tenang.

Cinta mereka tak sempurna, tapi nyata.
Dan kadang, yang nyata itulah yang paling berharga.


on October 17, 2025 by pecinta handal |